Melihat Surabaya dan Malang Melalui Kacamata Historis

R.N. Bayu Aji *
oase.kompas.com

Problematika perkotaan sangat menarik apabila dikaji melalui pendekatan historis. Mulai Hindia Belanda hingga kemerdekaan, sebuah kota merupakan penggerak penting, baik dalam industrialisasi maupun pertukaran barang dan jasa. Saat ini, studi mengenai kota merupakan suatu kajian tersendiri sebagai dampak dari perubahan desa yang semakin maju seiring perkembangan zaman.

Peter J.M. Nas membagi pertumbuhan kota-kota di Indonesia menjadi tiga fase yakni kota pada periode awal, kota periode kolonial, dan periode modern. Seiring dengan pembagian fase tersebut, tidak bisa dipungkiri bahwa peran pemerintah kolonial Belanda banyak memberikan pembaharuan kota-kota di Indonesia, baik secara fisik dan non-fisik.

Pembangunan tersebut tidak bisa terlepas dari berbagai kebijakan yang dirancang oleh pemerintah kolonial. Wilayah-wilayah perkotaan mendapatkan perhatian intens sehingga perkembangan perekonomian dan industrialisasi daerah semakin dinamis. Secara umum kota-kota yang berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 didesain sedemikian rupa hingga menjadi kota yang bercirikan dan berfungsi sebagai kota kolonial.

Menurut Lehman, kota-kota di Indonesia pada masa kolonial juga dapat dikarakterisasikan sebagai kota-kota tripartit karena melibatkan tiga pihak terkait, yaitu unsur pribumi yang terdiri dari kraton dan kampung-kampung, unsur Cina dengan rumah-rumah tokonya, dan unsur Barat dengan benteng dan rumah kolonialnya. Ketiga unsur pembentuk kota tersebut secara bersama-sama membentuk sebuah konfigurasi sebagai ciri khas kota kolonial di Indonesia.

Buku yang berjudul Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan karya Purnawan Basundoro ini membahas bagaimana perkembangan dua kota tersebut melalui pendekatan historis dengan alat bantu ilmu sosiologi serta ekonomi-politik. Surabaya dan Malang melalui buku ini dapat kita ketahui perannya ketika era kolonial, Jepang, dan setelah kemerdekaan Indonesia.

Sejak awal Surabaya disiapkan oleh pemerintah kolonial Belanda menjadi kota industri yang berkedudukan di Jawa bagian timur sebagai penyeimbang Batavia yang berada di Jawa bagian barat. Sebagai kota industri, Surabaya memiliki persoalan yang lebih kompleks. Problematita Surabaya dari dulu hingga sekarang tidak terlepas dari tata ruang kota, industrialisasi serta persoalan sosial.

Sedangkan Malang yang secara geografis terletak di ketinggian dan perbukitan begitu nyaman untuk tempat peristirahatan dan untuk hunian. Pemerintah kolonial Belanda dengan tepat mengembangkan Malang sebagai kota hunian yang nyaman dan teratur untuk warga Eropa. Perlakuan yang cukup istimewa dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan dilibatkannya para perancang kota dalam pembangunannya.

Oleh sebab itu, kita dapat melihat perbedaan yang cukup signifikan antara kedua kota tersebut pada saat ini. Surabaya berkembang menjadi kota metropolitan yang tidak terkendali dan semrawut, sementara Malang masih menyisakan citra sebuah kota yang teratur, tertib dan terarah.

Perbedaan itu terkait erat dengan dua hal yakni aspek geografis dan berbagai keputusan politik tentang kota. Di Asia Tenggara sebuah kota dapat diklasifikasikan menurut letak geografisnya sebagai kota pedalaman (the inland city) serta kota pesisir (the coastal city) yang memiliki keterkaitan erat dengan tipologi kerajaan pedalaman (the inland kingdom) dan kerajaan pesisir atau kerajaan maritim (the maritime kingdom).

Dalam kategori ini, kota Surabaya dapat dikategorikan sebagai the coastal city, sedangkan kota Malang termasuk sebagai the inland city. Sisa-sisa keteraturan kota Malang pada saat ini dapat dilihat di kawasan sekitar Alun-alun Bunder (balaikota) serta kawasan Jalan Ijen (hal. 38).

Selanjutnya, Purnawan melalui buku ini menjelaskan bagaimana relasi antara tanah dengan kekuasaan beserta simbolisasinya. Tanah di wilayah perkotaan sering kali dipandang sebagai penyebab kontradiksi-kontradiksi sosial serta konflik-konflik yang menyertainya.

Hal itu semakin lengkap apabila ditambah dengan campur tangan pemerintah dan turut bertindak seirama dengan hubungan antara kekuatan-kekuatan golongan serta kelompok-kelompok sosial dominan. Ditinjau dari sudut sosial-ekonomi dan sosial-politik, masalah pertanahan di Indonesia bisa menjadi sumber pokok keresahan sosial, secara terselubung atau terbuka, jika tidak ditangani secara tuntas.

Sebagai contoh di Surabaya banyak sekali tanah partikelir (Particuliere Landerijen) bermunculan sebagai akibat dari penjualan daerah tertentu oleh VOC kepada orang asing, baik Eropa maupun orang Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) untuk menutup kebutuhan keuangannya yang mendesak. Selanjutnya, pemilik tanah partikelir memiliki kekuasaan untuk memungut penghasilan dan pelayanan jasa dari penduduk yang tinggal di wilayahnya.

Sedangkan untuk kota Malang, sejarah membuktikan bahwa keberadaan tata kota memiliki simbol kekuasaan. Alun-alun kota Malang dan alun-alun Bunder ternyata bukan hanya ruang kosong yang bisa diisi dengan berbagai aktifitas profan. Alun-alun pada periode sejarah tertentu adalah simbol yang sarat makna, atau simbol yang sering dimaknai dengan makna tertentu yang sangat kuat.

Alun-alun Bunder secara konsisten diposisikan sebagai kawasan resmi yang tertutup, baik secara fisik maupun secara simbolik. Sementara itu, alun-alun kota Malang berkembang menjadi kawasan ruang publik (public space) yang bisa diakses oleh siapa saja. Alun-alun kota Malang akhirnya berfungsi sebagai kawasan terbuka umum yang bisa diinterpretasikan dan diakses secara bebas oleh siapapun.

Permasalahan kota Surabaya dan Malang juga dapat dilihat melalui berbagai hal. Kedua kota yang lahir dari Undang-Undang Desentralisasi Tahun 1903 (Decentralisatie Wet) ini juga menyisakan masalah urbanisasi yang belum terselesaikan, prostitusi, serta proses industrialisasi yang setengah hati.

Secara historis buku ini menghasilkan suatu tinjauan kritis yang unik terhadap masalah perkotaan. Tentu saja tinjauan kritis ini sejalan dengan kajian yang mengedepankan interdispliner sebagai ujung tombaknya. Buku ini begitu bermanfaat bagi dosen dan mahasiswa ilmu sejarah, ekonomi, peneliti serta siapa saja yang tertarik menekuni permasalahan perkotaan.

Judul Buku : Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang Sejak Zaman Kolonial sampai Kemerdekaan
Penulis : Purnawan Basundoro
Penerbit : Penerbit Ombak
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : xxii + 297

*) Alumni Departemen Ilmu Sejarah Unair Peneliti HISTra (History Institute for Society Transformation). Alamat : Manyar Sabrangan 135, Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *