http://www.lampungpost.com/
Suatu Sore dengan Perempuan Bernama Istri
Kalender berguguran dan kepastian bahwa cinta
dan air mata adalah kisah: yang senantiasa
tercatat dalam kenangan.
maka selalu kuingat, hujan sore hari
engkau dan aku berangkulan di beranda sore
kita bersemayam di kalautan kabut dan basah.
Hari ini, engkaulah perempuanku
hingga hujan reda dan malam di rajam kesunyian
gulita tanpa bintang di langit.
Kekal. kekallah impian kita
walau takdir seperti wabah
mengoyak-ngoyak tembok peradaban cinta.
Hari ini, meski sunyi mengabar duka
engkau tetap perempuanku
Taman Gunter, 3 Januari 2010
Perempuan yang Membuat Kangen
Tiba-tiba langit yang mendung bocor!
kangen ini, menjelma hujan yang meletup-letup
di atap rumah. aku serupa air selokan di pekarangan rumah.
mampet. pada siapa kederasan ini kualirkan
sebab kangen yang memerah ini, semakin tajam
semakin runcing melukai kemanusianku
serupa ujung belati menorehkan
rasa pisau di tulang-belulangku.
barangkali cinta hari ini
deras tenggelam dalam hujan, adik.
dan kangen ini, terasa tajam
menggoresi urat-uratku
Taman Gunter, 3 Januari 2010
Ketika Amarah Istri Menjelma Hujan
Sungguh, kenistaan ini
telah mengalahkan kesabaranku
pada langit mendung. ketika engkau
datang juga sore itu. membawa seikat
kembang matahari. oleh-olehmu dari dunia sunyi
yang cuma memberimu perih.
Gerimis jatuh di kota kita.
kota tua. daunan kering luruh
dari tangkainya. lalu kau nikmati
trotoar itu. ada kupu-kupu
terbang di atas kepalamu
membuatmu berteriak sambil memandang
lusuhnya langit.
Ya. sejak lama telah kau pelihara
cuaca hari ini. dan wajahmu menjelma hujan
Taman Gunter, 4 Januari 2010
Kegelisahan, Perkawinan 11 Tahun
Aku tak mengenalimu lagi
semenjak kecemasan mulai tumbuh
menjadi tanaman kegelisahan
yang mengikuti kemanapun kita pergi.
Perkawinan ini menempatkan kita
di kegelapan. aku tak tahu
sebab tiba-tiba tubuh kita dingin. di sudut kamar
ada suara yang pecah. bagai bunyi peluit kereta api
Istriku. mari kita meluncur
dalam jurang peradaban ranjang
Taman Gunter, 4 Januari 2010
Keping Cahaya di Mata Istri
(tetapi aku masih angin, sebab perkawinan tidak menjadikan aku sebagai suami)
aku mengejarnya terus ke arah barat, ketengah tanah lapang
kedunia perkawinan
aku terus mengejarnya, istriku yang terhampar di spring bad
ia kering, dihisap masa lalu dan kemiskinanku yang melarat.
Oh, istriku yang tidak paripurna!
senyummu nyembelih urat-uratku
keyakinanku padamu adalah kepercayaan seutas perjaka
yang telah binasa di malam pertama.
Apakah akan lahir anakku, dari serat-serat perutmu yang kulit itu?
aku telah mendakimu
terjun ke dalam kolammu yang kemerahan itu.
sebab airku, biasa mengalir melalui parit-parit menuju
laut lepas.
Istriku adalah layar televisi, yang mengabarkan darah
di matanya. ia menangis di malam buta dan menulis catatan harian.
dan tak henti bertanya:
kapankah engkau menjelma lelaki?
yang bisa menyulap sepotong pelangi menjadi rumah.
Ah, istriku
tak henti engkau meminta rumah
padahal aku sedang membangun perumahan
dari keping cahaya di matamu.
Taman Gunter, 8 Januari 2010
*) Lahir di Hajimena, Lampung, 24 Oktober 1974. Memublikasikan puisi sejak 1994 di berbagai media dan antologi bersama. Peneliti Agri Andalas (member Japan Foundation sejak 1994). Kini pemimpin redaksi mingguan Dinamika News.