Surahmat*
http://suaramerdeka.com/
BERAWAL dari kegelisahan Richard Oh, yang menulis artikel berjudul ?Dari Nietzsche ke Olimpiade Sastra? (Kompas, 11 Oktober 2008), kegelisahan mengenai peran sastra dalam pendidikan mulai terkuak.
Selanjutnya diketahui bahwa masalah yang dihadapi antara lain kurangnya minat siswa terhadap kajian sastra, kurangnya buku-buku sastra di sekolah, dan kemampuan guru dalam hal mengajar sastra.
Dalam sebuah diskusi bersama Ahmad Tohari ?saat itu juga hadir Putu Wijaya? akhir pertengahan Juni 2008, seorang siswa SMA bertanya bagaimana kedua sastrawan itu menguras ide. Pertanyaan itu tampak sederhana. Kang Tohari menjawab, agar bisa melahirkan karya sastra, sastrawan harus hamil kegelisahan. Tanpa kegelisahan, kepala dan dada sastrawan akan tetap kosong.
Kekosongan ide, yang berujung kepada stagnifikansi produksi karya sastra, ternyata melanda sastrawan Banyumas, daerah asal Kang Tohari. Lembaga pendidikan menempatkan pendidikan sastra seperti karon (nasi jagung setengah matang). Siswa bingung, jadi kritikus tidak, sastrawan pun enggak. Akibatnya, geliat sastra di Banyumas mati padam dan menyembul melalui komunitas independen di luar sekolah.
Senang Bertutur Kultur masyarakat Banyumas yang senang bertutur, mau tidak mau, memengaruhi derap langkah kesusastraan di daerah itu. Masyarakat lebih senang menelaah pernyataan dan data yang dilontarkan secara lisan daripada sumber literer. Akhirnya, sastra berkembang sebagai akomodasi dari bentuk lisan yang dikemas dalam bentuk literatur. Padahal, ada perbedaan besar antara bentuk tuturan dan tekstual.
Dalam budaya bicara dan menyimak, mobilitas informasi memang sangat cepat. Namun dalam kebiasaan itu masyarakat cenderung akan menerima tanpa menelaah informasi yang diterimanya. Akibatnya, budaya mengkaji dan mengidentifikasi perlahan hilang karena penutur tidak memberikan kesempatan kepada penyimak untuk melakukan klarifikasi. Kondisi itu berbeda dari kebiasaan membaca. Komunikasi tidak langsung antara penulis dan penikmat karya sastra, mengajak pembaca menelaah pesan dalam teks secara cermat. Dengan demikian, akan terbentuk kebiasaan mengoreksi, dan kalau perlu, menggugat. Kebiasaan itu yang belum dilakukan masyarakat sastra Banyumas.
Sejauh ini, kajian mengenai kesusastraan Banyumas memang tak bisa lepas dari kritik tajam. Salah satu sebabnya adalah konflik tua-muda yang berkepanjangan. Penggunaan istilah sastrawan muda sendiri sebenarnya tidak tepat. Jika ditanggapi secara skeptis, istilah itu bisa menjadi bentuk pelecehan. Jika ada sastrawan muda, lantas apa ada sastrawan tua, kolot, atau bangkotan? Mestinya tidak. Sastrawan muda akan lebih tepat diistilahkan dengan para pendatang atau pemula.
Saya pernah menghadiri sebuah acara bernama ?Sama-sama Belajar Teater Sastra dan Puisi (Sambel Terasi)? di sebuah radio pemerintah di Purwokerto. Dulu, acara itu mengudara empat puluh lima menit tiap Minggu malam. Dari acara itu saya melihat geliat kesusastraan yang hebat. Banyak sekali pendengar yang sukarela terlibat aktif dengan mengirimkan karya sastranya, bahkan dengan prinsip ora mbayar dan tidak dibayar. Saya berasumsi, keusasteraan Banyumas akan segera menemukan bentuk aslinya. Namun asumsi tersebut tak bertahan lama.
Sejatinya, Banyumas bukan tidak memiliki sastrawan potensial. Nama-nama besar sempat lahir dari daerah itu. Pentas sastra kulon (Banyumas) sempat dihiasi oleh kiprah sederet nama seperti Bambang Set, Edhi Romadlon, Surya Esa, Haryono Soekiran, Basuki Balasikh, Nanang Anna Noor, Herman Affandi, Dharmadi, Mas?ut, dan Badrudin Emce.
Belakangan publik mengenal Drajat Nurangkoso, yang meluncurkan kumpulan puisi Perjalanan Sunyi 2004 silam. Jelas mereka telah membuktikan esksistesinya. Karya mereka ada, sekaligus diakui. Masalahnya, apa mereka dapat terus eksis dan mampu mewariskan geliat sastra Banyumas kepada generasi berikutnya?
Regenerasi Tertunda Saat ini, dan beberapa tahun ke depan, isu tua-muda tampaknya akan menjadi penyebab stagnifikansi sastra Banyumas. Terjadi benturan pemikiran antara para pemula dengan generasi sebelumnya. Keduanya seperti menciptakan kubu-kubu sendiri sehingga berkesan bersebarangan. Kaum pemula coba melahirkan gagasan kontekstual sastra kontemporer, sedangkan generasi tua dianggap belum siap menerimanya.
Tampaknya sudah menjadi tradisi, dalam kesusastraan Banyumas dicoba dilakukan revolusi terhadap dimensi yang sudah ada dengan dinamika baru. Namun demikian, pada kenyataannya, setiap gerak dinamika transisi pemikiran di Banyumas masih belum mampu memunculkan respek positif yang jelas dan pasti.
Kondisi itu diperparah dengan fragmentasi visi antara Dewan Kesenian Banyumas dengan pelaku aktivitas seni, termasuk sastrawan. Meminjam kalimat Teguh Tri Anton dalam artikel berjudul Dewan Kesenian dan Jejak Sastra Banyumas (Suara Merdeka, 31 Juli 2008), selain intens dalam hajatan budaya yang lebih bersifat seremonial dan laku ?dijual?, Dewan Kesenian mestinya juga menggarap atau setidaknya memperhatikan kehidupan sastra kontemporer di Banyumas. Bisa jadi, kedua hal itu yang mesti menjadi pekerjaan rumah para pegiat sastra Banyumas agar regenerasi tak tertunda lebih lama.
Adapun secara sosial budaya, harus diakui, sastrawan Banyumas belum mampu lepas dari ketidakberdayaan menghadapi kultur setempat. Iklim sastra di daerah itu memang tak terlalu menjanjikan. Salah satu sebabnya, belum terbangun kritik progresif antara sastrawan dengan pengamat. Hal itu yang tidak dapat saya mengerti.
Di Banyumas, setidaknya ada dua perguran tinggi yang membuka jurusan sastra. Kalau pun tidak menghasilkan sastrawan, mestinya kedua lembaga tersebut mampu menjadi kantong kritikus sastra.
Kaum muda memang punya motivasi lebih untuk mendobrak dan melakukan pembaruan. Tanpa harus melanggar pakem-pakem lama, mereka bisa segera bangkit. Kasihan Ahmad Tohari, namanya sudah terlalu lama disinonimkan dengan istilah sastra Banyumas. Harus ada yang lahir menggantikannya, entah dari Sambel Terasi atau tempat lain.
*) Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes), bergiat di Komunitas Bawor Banjarnegara.