Bandung Mawardi*
http://www.surabayapost.co.id/
Gambaran seni dan peradaban di Barat memang pelik dan ikut menentukan kondisi kesusastraan dan peradaban di negeri ini. Babak menentukan terjadi pada tahun 1950-an dengan pemunculan risalah kritis dari Soedjatmoko dalam pengantar untuk majalah Konfrontasi (No. 1 Tahun I, Juli-Agustus 1954). Soedjatmoko menulis risalah ?Mengapa Konfrontasi? untuk mewartakan tentang krisis dalam kesusastraan Indonesia modern. Krisis kesusastraan adalah tanda eksplisit atas krisis kebudayaan, krisis politik, dan krisis kepemimpinan pada tahun 1950-an. Soedjatmoko kentara memahami sastra sebagai fondasi signifikan dalam mengonstruksi Indonesia. Sastra pada masa itu adalah identitas dan motor untuk mengatakan Indonesia dalam pertaruhan intelektual, politik, dan kebudayaan.
Soedjatmoko dengan lugas mengungkapkan bahwa krisis politik di Indonesia (1950-an) merupakan gambaran dari realitas kebudayaan dan kesusastraan. Relasi antara sastra, politik, dan kebudayaan pada masa itu tidak sekadar pada ranah wacana tapi pada pergulatan fakta dan makna. Situasi itu mengalami reduksi pada kisah politik hari ini. Sastra terpencil dan terabaikan dalam pergulatan politik. Situasi ini menjadi keganjilan dalam proses transformasi kebudayaan dan politik di Indonesia. Politik menjelma lokomotif besar dan beringas. Konfrontasi adalah istilah dan tindakan untuk penyadaran dan perubahan.
Risalah Soedjatmoko memang fenomenal dan terbuktikan dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern. Sastra harus mempertanyakan diri dan meletakkan diri dalam posisi apa dalam proyek menjadi Indonesia. Sastra mungkin hanya memiliki peran kecil tapi tetap menentukan. Pertanyaan dan gugatan terus diarahkan pada sastra kendati kurang memiliki jalur strategis pada mekanisme pengambilan kebijakan oleh negara dan pemunculan sebagai opini publik. Sastra ikut menyelesaikan krisis atau suntuk dengan krisis sendiri dan mengimbuhi krisis di luar ranah kesusastraan?
Pertanyaan itu mungkin klise ketika merunut jejak-jejak sastra Indonesia modern sejak masa Balai Pustaka sampai hari ini. Publik mungkin masih percaya bahwa sastra memberi kesadaran untuk memberi tanggapan dari krisis nasionalisme sampai krisis identitas kultural. Orang-orang bakal fasih menyebutkan puisi-puisi Muhamad Yamin, novel Sitti Nurbaya, novel-novel Sutan Takdir Alisjahbana, novel-novel Hamka, puisi-puisi Chairil Anwar, esai-esai Asrul Sani, drama-drama Usmar Ismail, puisi-puisi Rendra, novel Atheis, dan lain-lain. Daftar ini ikut menentukan wajah dan ruh Indonesia dalam periode tahun 20-an sampai 1950-an.
Kehadiran sastra dalam konstruksi Indonesia itu memeng memberi andil untuk ikut menyelesaikan krisis dalam batas-batas tertentu. Sastra membuat orang mafhum dengan kondisi diri mulai dari abstraksi sampai pilihan tindakan. Akumulasi dari pengaruh sastra untuk mengatasi krisis ditentukan oleh iklim politik dan kebudayaan sehingga terkesan sekadar sebagai instrumen penyadaran atau perubahan. Soedjatmoko mengingatkan bahwa krisis sastra pada tahun 1950-an justru membuktikan bahwa sastra memiliki peran penting dalam sebaran nasionalisme dan identitas kultural di Indonesia. Soedjatmoko pun mengeluarkan konklusi: ?Masalah pokok untuk 10 tahun pertama bagi Indonesia adalah masalah kebudayaan.? Konklusi ini sudah terlupakan sebab sampai hari ini agenda kebudayaan tak pernah masuk dalam desain besar kekuasaan mulai dari rezim Orde Lama sampai rezim Susilo Bambang Yudhoyono. Begitu.
*) Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai.