Potret Pragmatisme Seorang Politikus

Achmad Nurhasim*
http://www.jawapos.co.id/

TIDAK ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik. Yang abadi hanya kepentingan. Ada?gium politik yang sudah mendarah-da?ging dalam diri politisi ini tam?pak pada Taufiq Kiemas (TK), politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Langkah-langkah politiknya selalu diukur dengan kepentingan, baik kepentingan pribadi, partai politik, ataupun kepentingan yang lebih besar. Aneka kepentingan ini se?ringkali bercampur-aduk dan saling tumpang tindih. Bagi politisi, republik ini adalah panggung sandiwara untuk bermain sebaik mungkin baik sebagai tokoh protagonis, antagonis, atau hanya pe?main figuran.

Buku ini bukan sebuah autobio?grafi yang ditulis untuk menokohkan TK, tapi lebih tepat disebut sebagai catatan seorang wartawan ter?hadap sepak terjang TK sebagai politisi papan atas. Derek Manangka mencermati TK dalam banyak kesempatan dan momentum politik baik sebelum Megawati Soekar?noputri -istrinya– menjadi presiden kelima atau setelahnya. Ada banyak catatan yang membuka selubung abu-abu yang selama ini menyelimuti sikap Mega, PDI-P, dan TK. Ketiga entitas politik itu tidak bisa dipisahkan karena saling terkait dan saling mempengaruhi.

Dari buku ini tampak bahwa TK berperan besar baik sebagai petinggi partai sekaligus pelobi pada saat-saat menentukan dan kritis bagi PDI-P, seperti saat menjelang dan sesudah Gus Dur dilengserkan dari kursi kepresidenan. Selain itu juga pada keputusan PDI-P mendukung Sutiyoso menjadi gubernur DKI Jakarta pada 2002 dan mengangkat Susilo Bambang Yudhoyono dalam kebinet Megawati. Padahal, kata Derek, dua to?koh ini (Sutiyoso dan SBY) se?ring disebut sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam kasus 27 Juli 1996. Sikap ini membingungkan, tidak hanya kalangan internal PDI-P, tapi juga orang luar partai. Untuk keputusan ini TK punya alasan sendiri, ”Kalau bicara soal penindasan, tidak ada manusia di Indonesia yang merasa paling ditindas oleh rezim Soeharto, kecuali keluarga kami, keluarga Soekarno. Tapi apa kita harus terus-menerus dendam? Forgive, but not forget,” kata TK (hlm. 37).

Derek Manangka, wartawan se?nior yang banyak malang-melintang di industri media nasional dan kawan dekat TK, mencatat bahwa jurus dan manuver politik TK, se?jak awal menjadi politisi pada 1987 sampai kini menjadi ketua MPR, tidak lebih dan tidak kurang adalah pelaksanaan dari adagium kaum politisi di atas. Langkah-langkah po?litiknya selalu punya alasan dan ra?sionalisasi walaupun tidak selalu se?arah dengan opini publik. Pengamat politik Sukardi Rinakit menilai TK cenderung menggunakan taktik gertakan dan provokasi dalam membangun relasi dan positioning partai.

TK di kalangan internal PDI-P dituding sebagai ”Ketua Umum Ba?yangan” PDI-P. Itu pula yang me?nyebabkan beberapa kader PDI-P seperti Eros Jarot, Laksmana Sukardi, Dimyati Hartono, keluar dan membentuk partai baru. Bagi TK, tudingan itu tidak prinsipil se??hingga tidak perlu dianggap serius. Saat Mega menjadi presiden, ia juga dituding sebagai ”Presiden Ba?yangan” karena dianggap ”mengendalikan” Presiden Megawati. Dalam kultur patriarkhi, tudingan-tudingan itu memperoleh tempat yang tepat. Lalu apa kata TK terhadap semua tudingan itu? ”Jangan kira Mbak Mega itu bisa didekte,” kata TK.

Bagi TK, perbedaan kawan dan lawan dalam politik sangat tipis. Kawan belum tentu bukan lawan politik, dan sebaliknya. Ada kawan yang sudah menjadi musuh dan ada juga musuh yang berubah menjadi kawan. Pada pilpres 2004 TK ber?ucap bahwa SBY seperti anak kecil. Ucapan itu membuat hubungan TK-SBY renggang selama kurun 2004-2009. Apalagi Mega kalah bertarung pada pilpres 2004 dan PDI-P mengambil peran sebagai oposisi. Tapi, sebenarnya tidak sepenuhnya renggang, sebab selama kurun waktu itu TK berjumpa SBY tiga kali di Palembang dan Jakarta. Dalam kaitan ini, bisa jadi ”musuh” TK justru Mega sendiri karena sikap partai yang bertolak-belakang dengan keinginan dan sikap pribadi TK.

Saat Mega-Prabowo kalah dalam satu putaran di pilpres 2009, TK sempat melontarkan wacana agar PDI-P bergabung dalam koalisi Partai Demokrat di pemerintahan. Saat itu banyak kalangan memprediksi demokrasi Indonesia akan mundur karena PDI-P yang selama lima tahun terakhir me?ng?ambil sikap oposisi bergabung de?ngan pemerintah.

Meski koalisi itu tidak pernah terjadi, tapi TK tetap berupaya un?tuk mendulang dukungan dari Par?tai Demokrat dan SBY untuk po?sisinya sebagai ketua MPR. Me?nurut Derek, dengan mengutip petinggi Demokrat, untuk obsesi?nya ini TK melakukan audiensi de?ngan SBY di Cikeas. Dan, terbukti, meski banyak orang menya?takan tidak setuju ia menjadi ketua MPR, toh TK terpilih menjadi ke?tua MPR.

Satu hal yang menjadi kontroversi setelah Orde Baru runtuh adalah pengadilan terhadap Soeharto dan keluarga Cendana. Saat Megawati menjadi presiden kelima Indonesia, desakan untuk mengadili Soe?harto dan keluarga Cendana cukup keras. Sampai akhir kekuasaan Mega, Soeharto tidak pernah divonis pengadilan. Tapi, TK punya per?timbangan sendiri yang berbeda de?ngan arus umum. Bagi TK, apa pun tindakan yang pernah dilakukan Soe?harto terhadap keluarga Bung Karno, Soeharto tidak pernah berniat membunuh keluarga Bung Karno. Padahal, kata TK, kalau Soeharto mau mudah saja ia melakukannya.

Satu hal yang pokok menurut TK, ”Selama 32 tahun berkuasa Soehar?to tetap melanjutkan hasil perjua?ngan Bung Karno, yakni mempertahankan NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Meski untuk dua yang terakhir ini lebih banyak hanya bersifat formal daripada substansial.”

Alasan lainnya, selama Soeharto menjadi presiden setiap lima tahun sekali di akhir masa jabatannya selaku mandataris MPR ia selalu mempertanggungjawabkannya dan tak satu pun pertanggungjawabannya ditolak MPR. Tapi ada alasan yang berbau demi keluarga: keluarga Bung Karno tidak mau dituding ingin balas dendam terhadap Soeharto (hlm. 41).

Jika Megawati dianggap sebagai sayap dan simbol ”idealisme” PDI-P, maka TK adalah sayap dan sim?bol ”pragmatisme” partai tersebut. Bisa jadi keduanya sedang bermain peran dan saling meleng?kapi untuk kepentingan partai, seperti di atas panggung sandiwara. Tepat sekali anak judul buku ini: Memang Lidah Tidak Bertulang. Li?dah yang bisa mengubah dan mem?bolak-balik ucapan dan argumentasi untuk sebuah pilihan politik. (*)

Judul Buku: Jurus dan Manuver Politik Taufiq Kiemas Memang Lidah Tak Berulang
Penulis: Derek Manangka
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, 2009
Tebal: xix + 175 halaman
Peresensi: Mahasiswa Magister di Institut Teknologi Bandung.

Leave a Reply

Bahasa ยป