Puisi-Puisi Handoko F. Zainsam

http://www.jawapos.co.id/
Nubuat Cinta Kurusetra

I
gaung sangkakala menidurkan tubuh-tubuh berserak tak bertuan
di tengah kepungan ratusan kondor di ruah amis darah Kurusetra
berkibar panji-panji menyiar luka
darah melulur kereta kencana menyeret kuasa dan cinta
ke tepian sengketa takdir epos bharatayudha

II
ibu suci mendakwahkan kasih sayang pada anak-anaknya yang saling tikam
legalkan cara memetik nyawa, ”oh, ke manakah hilangnya jiwa anak-anakku!?”
ibu suci bertimpuh di kaki jasad putranya. ia terus terpejam
menikmati detak jantung sendiri memetik kerelaan atas pedang
dan anak panah menancap tepat di ulu hati anaknya. Ia tak menangis
ibu suci bertimpuh puja rambut terurai, mulut berdendang,
”om… namah sidam! om… namah sidam!”

III
ibu suci, aku kisahkan padamu. aku melihat saudara ayahku di seberang sana. karna
merentangkan gendewa dan busur panah terpasang. kuntawijaya
aku melihatnya! aku memperhatikannya!
ibu suci, aku kisahkan kematianku. aku melihat saudara ayahku di seberang sana. karna
merentangkan gendewa dan busur panah terpasang. kuntawijaya
maka aku berikan dadaku, aku persembahkan dadaku untuknya
ibu suci, aku kisahkan cintaku. aku melihat saudara ayahku di seberang sana. karna
merentangkan gendewa dan busur panah terpasang. kuntawijaya
maka aku menyambutnya dengan senyum dan tangan tengadah terbuka
seperti dia menyambutku ketika aku kecil berlari ke pelukannya. hangat
ibu suci, aku kisahkan haruku. Aku melihat saudara ayahku di seberang sana. karna
duduk-menekuk. meratap menangisi jasadku.

Jakarta, Desember 200

Kidung Sunyi Sang Bima
–Kayu Gung Susuhing Angin

Aku memanjat pohon besar sarang angin di goa sunyi; belantara reksamuka. Menjalar akar pohon kehidupan. Menyerang hati dan dada kiriku. Menerobos gorong-gorong gelap suara, menekan-desak berkalirupa hingga sesak napas. Nyaris terkapar.

Rasa mengurai gerak, O…udara terhampar menyerang aorta dan isi kepalaku. Menjebloskan degub sel-sel darah yang tak lagi merah. Menderak-retak labirin kesadaran. Adalah aku dan aku yang tak lagi berseberangan lantaran hidup tak lagi pertaruhan.

Kayu gung susuhing angin. menjamah tengkuk melepas berahi. Mengalir peluh berderak nadi.

Di puncak suci tubuh mengejang dalam napas-napas kerelaan lepas gelap goa garba sang ibu.

Oh… Kayu gung susuhing angin. bersangkarlah aku di sana!

Jakarta, Desember 2009

Kidung Sunyi Sang Bima
–Tirta Perwita Suci

Om… Om…

Surem-surem diwangkara kingkin

lir manguswa kang layon. Om…

Sendhon tlutur membelah sunyi, pada pemakaman malam di tengah hujan doa atas rencana kematian saat menjalankan titah; resi Dorna.

Di istana pesta musik dan cinta. Menari di tengah suara-suara. Atas nama kegelapan sang raja buta. Destarastra!

Siapa yang ingin kau musnahkan

Meski bukan kau!

Om… Di samudera purnama langit. Bima di tepinya. Pasir tersisir ombak menepirapi, mengantar buih menyentuh kaki. Melangkah tetap. Keyakinan mengemuka Tersibak samudra biru kesadaran. Bulan meringis ujung alang-alang. Terluka. Kering kerontang darah mengering. Menjalar ke pelosok isi kepala.

Bulan terapung di lautan!

Perintah kematian adalah nyanyian tanpa nada hanyalah mantra tanpa syarat.

”Ya, akulah Bima, murid resi Dorna!”

Om… Cermin retak muka terbelah. Rupa teraba sama. Mencipta dan menjelma. Maka masuklah! Kematianku adalah hilangnya aku. Melabur menjadi aku yang tanpa batas. Menemu ke mana arah dan tujuan kehendak. Pada cahaya yang tak henti menyerang.

Tirta perwita suci tumpah . ”Akulah Bima, murid resi Dorna!”

Jakarta, Desember 2009

*) Penyair Jakarta. Karyanya tersebar di berbagai media.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *