Puisi-Puisi Kurniawan Junaedhie

jurnalnasional.com

Keluarga Bahagia Ketika Hujan di Hari Minggu

Hujan di pagi hari menyebalkan. Aku menarik selimut sampai dagu. Tanganku kelu di bawah bantal. Istri dan anak-anak sudah mandi. Ke Mal, teriak mereka. Jendela tidak bohong. Kaca penuh embun. Selebihnya kabut. Aku menarik selimut sampai kepala. Tanganku berputar ke arah guling. Istri dan anak-anak sudah mandi. Ke Mal, teriak mereka. Aku menarik selimut menutup kepalaku. Gelap dalam selimut. Anak istriku ikut masuk ke dalam selimut. Istriku meninju guling. Anak-anak meninju mukaku. Aku tidak bohong. Kami keluarga bahagia.

2010

Kata-Kata Yang Ditimpuk Air Hujan
-penyair han

Aku mencelup dalam hujan. Tubuhku kuyup. Han di mana? Di bawah genting? Aku mencopot jas hujan. Celana dan bajuku basah. Han! Kupanggil dia. Dia bergantung di bawah ranting yang dibalut air hujan. Seperti embun. Heran. Orang-orang membicarakan orang lain. Han pacaran sama Gusti. Ngurah sama Dewi. Ines sama Saut. Orang-orang itu mestinya masuk ke dalam air hujan. Lidah mereka harusnya digunting. Supaya kata-kata mereka digelontorkan dalam got. Perut jadi bersih. Eh, Han di mana? Di bawah genting? Han! Kupanggil dia. Suaraku masuk ke dalam saluran air got di bawah tanah, terus melaju kencang, menyelinap dalam gorong-gorong, dan menyembul di jalan tol. Han, seruku. Tapi suaraku ditimpuk air hujan.

Jan. 2010

Kambing & Kucing di Tengah Hujan
-Opung Saut

Kambing bisa kuyup karena hujan. Tapi kucing bergelung di kasur yang hangat. Salahnya jadi kambing, kata kucing. Kalau aku jadi kambing, aku pilih berteduh di bawah pohon pisang. Indahnya hidup bisa melihat air memantul-mantul dari helai-helai daun. Kambing itu terdengar mengembik. Ia makin kisut dalam kuyup hujan. Ia seperti membiarkan dirinya terjerat air tergenang. Kucing masuk ke dalam bantal. Ia menatap bulan Januari dari balik selimut. Kabut hujan tampak di kaca jendela. Kambing itu terdengar mengembik. Bulunya makin pipih didera hujan. Takdir kambing, kata kucing.

2010

Pohon Tumbang Karena Hujan

Pohon itu tumbang karena hujan. Sebelum siang putik-putik bunga yang meliputi pohon itu berguguran. Disusul daun-daun rontok bergulingan di jalanan. Lalu beberapa buah jatuh pelan-pelan. Beberapa menimpa para pejalan. Kalau aku jadi penyair, aku ingin melukiskan pemandangan pohon itu, gumam seorang tukang cukur yang sedang mencukur di bawah pohon. Kalau ranting dan dahannya boleh ditebang, aku ingin menjadikannya kayu bakar, kata orang yang dicukur. Setelah sore, ketika tukang cukur pulang, hujan menderas dengan kencang. Dahan dan ranting pohon patah dan daun-daunnya berserakan di jalanan. Lalu kilat menyambar, angin berkesiur. Pohon itu ranggas, sebelum tersungkur. Akarnya menyeruak di trotoar ditimpa hujan.

2010

Mimpi Kucing Jadi Hujan

Kucing itu bermimpi jadi hujan. Hujan yang bisa meloncat-loncat seperti katak. Agar dia tidak perlu mengeong bila melihat anjing. Mungkin cukup menjerit, atau melengking. Dia juga merasa tak perlu bergelung di balik keset, dan berjemur di genting kalau udara dingin. Ia hanya ingin melingkarkan ekornya dalam kabut. Ia hanya ingin hidungnya mengendus pohon. Ia hanya ingin kakinya bisa melompat ke atas meja, lalu tangannya menyentuh langit. Ia merasa, hujan itu eksotis dan sengit. Seperti Tuhan sedang memainkan benang jahit. Ia begitu terpesona pada impiannya. Maka ia menggelembungkan impiannya jadi kenyataan. Ia menjadi hujan sungguhan. Ia pun menderas sungguhan dan melompat-lompat sungguhan. Seperti sajak tentang seekor kucing.

2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *