REFLEKSI KESENIAN

Beni Setia *
surabayapost.co.id

AWAL 2009 kemarin diawali dengan kerisauan mengemukan di benak seniman Jawa Timur, dan semua itu sesungguhnya dipicu dua hal. Satu, dipindahkannya Dinas Kebudayaan dari rumah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ke rumah (baru) di Dinas Parawisata. Dengan konsekuensi: siapa yang mengelola Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya, dan semua kegiatan rutinnya, yang selama ini jadi ajang pemanifestasian pencapaian kreatif mereka.

Dua, fakta ketika Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya tetap berada di bawah Dindik Jawa Timur, dan dianggap sebagai sarana UPT kegiatan seni pelajar, sehingga seniman, cq DKJT, merasa tidak akan bisa ?meminjam? Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya untuk kegiatan berkesenian mereka. Dan–terutama–kegiatan sastra yang setiap tahun tampil dalam kop Festival Cak Durasim. Bahkan, eksistensi dari Festival Cak Durasim itupun jadi samar-samar dalam diketidakpastian siapa yang memegang legalitas proyek dan pendanaannya.

Mendung kelabu menaungi tempat dan acara kesenian, semua tradisi dan energi kreatif kesenian seperti sedang ditempatkan di episentrum ketakpastian dalam rentang 8 skala Richter. Untung acara sastra itu kemudian diteruskan Dinas Kebudayaan dan Parawisata Jawa Timur, meski semua sastrawan Jawa Timur tetap kehilangan ruang representatif yang menjanjikan gengsi penyelenggaraan. Acara rutin Temu Sastrawan, Jawa Timur, bagian dari Festival Cak Durasim, misalnya, terpaksa diselenggarakan di aula Dibudpar di Menanggal dan tak lagi di Taman Budaya. Jawa Timur di Surabaya.

Acara dari jenis seni lainnya ada yang tampil di Malang, tempat lain di Surabaya dan entah di mana lagi. Atau sebuah acara baca sajak yang jeleketek diselenggarakan di aula Museum Mpu Tantular, Buduran, Sidoarjo–selain acara baca sajak akhir tahun yang diselenggarakan di Pendopo Taman Budaya, nyaris ngemper tak memakai ruang Gedung Tertutup. Dan kayaknya Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya, yang telah investasi banyak untuk Teater Tertutup dan terutama Wisma Seni itu, memang sudah waktunya dirubah menjadi Taman Pelajar, biar netral–dan pemanpaatan areal kantor untuk Samsat tidak menjadi problem.

Untuk itu amat pantas bila Disdik itu membayar kompensasi agar sarana Taman Budaya Jawa Timur di Malang bisa ditingkatkan. Sehingga semua kegiatan kesenian terpusat di Malang, meski penulis tak tahu apa status Taman Budaya Jawa Timur di Malang didanai provinsi atau kota. Menelad kegiatan Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta, yang aktivitasnya lebih gaung dari Taman Budaya Jawa Tengah (induk) di Semarang. Kenapa harus begitu?

Saat tidak memiliki rumah, semua kegiatan rutin terjadwal dalam Festival Cak Durasim dan diselenggarakan terpusat di Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya itu terpaksa dipecah dan disebarkan ke mana-mana. Jadinya, wong Jawa bilang, kok repot andong tempat andong wektu. Di mana semua agenda seni–terutamanya sastra–yang

sudah terjadwal rapi tersendat di ketidakpastian, jadi ringkih seperti lelaki tua gagap penderita tremor. Betapa tidak: ada acara, ada jadwal, ada dana, ada pimpro, tapi tidak punya tempat pentas. Mengeluyur sebagai si satria wirang penyandang pedang ronin. Set back ke masa 1980-an.

Saat acara seni kembali terfragmentasi dalam kabut komunitas yang tersebar di daerah–dengan segala ego preferensi komunitasnya. Faktanya, misalnya, Khaul Bung Karno di Blitar, atau Festival Sastra Jawa diselenggarakan di halaman rumah pribadi dan ruang kelas di Nglaran, Cakul, Trenggalek. Piye iki? Apa usaha Dewan Kesenian Jawa Timur dalam mengatasi handikap ruang publik resmi pro penggalakan apresiasi dan penggalangan potensi seniman, via konsultasi legal dengan Pemda Provinsi Jawa Timur, agar taraf melek budaya warga Jawa Timur meningkat?

Atau semua seniman harus memulai lagi segalanya dari nol–sambil dibujuk agar tak banyak ulah dengan kartu asuransi kesehatan agar bisa bolak-balik ke Puskesmas untuk mendapatkan perawatan maag dan kemudian HO–? Sementara banyak kegiatan komunitas yang tak dirujuk oleh ayoman legal Pemda, Dindik, Disbudpar atau DKJT yang sejak awal disenggarakan dan terus diselenggarakan secara swadaya. Ambillah acara Malsasa yang mentradisi itu. Bahkan kerinduan komunitas sastra Jawa kepada forum untuk tampil tidak pernah diakomodasi Dindik, Disbudpar atau DKJT, hingga terpaksa menumpang Malsasa.

Kenapa Disbudpar dan DKJT tidak mengakomodasinya dengan satu acara Temu Sastrawan Jawa–bahkan Festival Sastra Jawa yang swadaya itu terselenggara di udik perbukitan kidul–? Kenapa tak ada anggaran Temu Sastrawan Jawa? Apa Jawa Timur itu hanya bagian legal dari NKRI dan tidak ditopang pilar sosial-budaya Jawa?
***

*) Beni Setia, lahir di Bandung 1 Januari 1954. Tahun 1974 lulus SPMA di Bandung dan sejak itu belajar sastra secara otodidak. Ia menulis dalam bahasa Sunda dan terutama dalam bahasa Indonesia, tersebar di berbagai media cetak terbitan Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta. Buku antologi puisinya: Legiun Asing (1983), Dinamika Gerak (1987), Harendong (1993). Kini ia tinggal bersama keluarganya di Madiun, dan tulisan-tulisannya, terutama cerpen dan kolomnya, terus mengalir. Beberapa esainya dimasukkan ke dalam Inul (Bentang, 2003). Beni memilih menulis sebagai profesi tunggalnya.

Leave a Reply

Bahasa ยป