Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=420
NYANYIAN KANON
Adelbert von Chamisso
Itulah kesusahan dari zaman yang sulit!
Itulah zaman yang sulit dari kesusahan!
Itulah kesusahan yang sulit dari zaman!
Itulah zaman dari kesusahan yang sulit!
Adelbert von Chamisso (1781?1838), anak bangsawan Prancis yang melarikan diri ke Jerman setelah Revolusi Perancis (1789?1799). Tahun 1815 sampai 1818 mengelilingi dunia dalam rangka ekspedisi ilmiah, antaranya ke Indonesia. Memperkenalkan pantun Melayu pada khalayak ramai di Jerman. Penyair dan pengarang yang dipengaruhi aliran romantik ini, terkenal karena novel simbolnya ?Peter Schlemihls wundersame Geschichte? (Cerita ajaib tentang Peter Schlemihls), menceritakan nasib seseorang yang kehilangan bayangannya. {dari buku “Malam Biru Di Berlin” 1989, terjemahan Berthold Damsh?user dan Ramadhan K.H.}.
***
Diriku ditarik menyambangi novelnya, meski belum pernah membacanya. Yakni kisah nasib seseorang, yang kehilangan bayangannya.
Lantas aku mengambil benang merah, menuju pelariannya ke Jerman setelah Revolusi Prancis. Mungkinkan landasan kepenulisannya dari sana?
Chamisso anak bagsawan, laksana patung berdiri di perempatan kota, menebarkan bayangannya ke mana-mana.
Kecuali matahari tepat di ubun-ubun, titik kulminasi manusia, di mana daya magnetik meruh ke dalam diri.
Umpama badan bersimpan bayangan rakyatnya, kemampuan pesona menciptakan para penyaksi terpikat menyimaknya.
Chamisso bukan patung, tetapi tubuh hidup dipenuhi nafas-nafas mengejawantah, maka izinkan kulamuni keliarannya kembara:
Pelariannya terlunta-lunta di padang garing jiwa, menjalani kehidupan sebagaimana insan jelata.
Naluriahnya tetumpahan bencah tanah, ada linangan air mata disapu debu-debu berkaca.
Ada tiupan bayu mengusap rambutnya yang ikal memanjang bagai Arjuna.
Di jalan-jalannya terus mendendangkan pantun Melaju, sampailah renungan dalam; hidup adalah pengabdian.
Bayang-bayang rakyatnya bersimpan di badan, tegap menyunguhi harapan entah sampai kapan berpulang.
Tiada penolakan, tatkala bathin bersatu dalam alunan alam; hamba dan raja sekadar busana penopang.
Sedang sukma insan berkumpul di langit-langit-Nya, oleh pantulan hayat di atas bumi kehadiran bersinggah.
Chamisso terus dendangkan syair Melayu, gema suaranya mengisi lereng lembah hijau nan ayu.
Dinaya berlimpah, kala keningnya memeras kata-kata. Sebinaran cahaya dari tetes-tetes keringat, yang menetas seembun pagi surya.
Bening memancarkan hikmah atas kesantunan ikhtiar ditempa derita.
Oh, aku mengikuti bayang-bayangmu, kadang melebur-menyatu, pula berjarak sejarum jam penunjuk waktu.
Usia matang berpilih-pilih. Kau sehitam awan tebarkan berita di malam sepi, ditemani lampu minyak jarak.
Kau tangisi mimpi tanah seberang, seanak yatim, anak hilang atau nasib buangan, meskipun telah akrab pada kalbu paling kelam.
Adakah kerinduan menyayatmu, hingga sesimpuh hampa menanti pancungan?
Bukan keajaiban, manakala tubuh tak berbayang, bersimpuh di hadapan cahaya terang; resapannya menggetarkan sepulang dari tujuan.
Tiada bekal disandang, hanyalah ilmu menguntungkan sampai pembaringan.
Kini Chamisso lincah menggurat-gurat penalaran kalbu, pada dasarnya orang Timur yang mampu.
Serupa telah seimbangkan laguan musim dataran perubahan, fajar-senja hampir-hampir sewarna;
manakala bangun dari tidur lupa arah, hanya ufuk cinta dipandangnya.