Kiki Dian Sunarwati*
http://www.kr.co.id/
AKU masih menyelesaikan tulisanku untuk deadline besok. Memang melelahkan kerja dikejar waktu. Tapi tak apalah, tidak setiap hari aku mengalaminya. Ini saja kebetulan. Teman yang seharusnya meliput fashion show kecelakaan di jalan, sehingga pimpinan menugaskan aku meliput acara di mal terbesar di Yogya itu.
?Ara, kamu belum pulang?? Terdengar suara di belakang, mengagetkan aku.
Aku tak bergeming, hingga akhirnya kudengar langkah kaki mendekat.
?Sudah, sudah larut malam nih, hampir jam 2 pagi, selesaikan saja tulisannya besok sebelum jam 9. Kamu bisa tidur sebentar.? Suara Mas Robert, teman kerja namun lebih senior dibanding aku.
?Eh, iya Mas, sebentar lagi, tanggung nih.?
?Ya sudah aku temanin, aku masih ngedit beberapa halaman lagi nih,? katanya sambil menyambar secangkir kopi panas di dekat galon air. Sepertinya memang kopi panas, karena aromanya membuatku merespons ke arahnya.
?Bagi dong, Mas, kayaknya enak banget.?
?Aku bikinin aja ya. Kopinya masih banyak kok di situ,? ucap Mas Robert sambil menunjuk tumpukkan sachet kopi di dekat galon air.
Aku hanya mengangguk. Entah mengapa mendadak ada yang aneh dengan hatiku. Semakin aneh, hari demi hari. Hampir tiga bulan aku merasakan ini.
?Ra, boleh aku tanya??
Aku menunggu penasaran. Apakah dia akan….
?Kamu punya pacar tidak sih??
Deg. ?Kenapa tanya itu. Mas??
?Cuma kepingin tahu aja. Tapi kalau kamu marah, nggak usah dijawab.?
Aku terdiam. Rasanya ada sebuah harapan menunggu jawaban dari matanya. Betapa lelaki di hadapanku ini sebenarnya sangat baik kepadaku selama ini. Apakah dia juga merasakan yang aku rasakan? Apakah ini yang disebut jatuh cinta? Mencinta. Witing tresna jalaran kulina. Padahal aku sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta. Bagaimana rasanya mencinta, dan merasakan gejolak hati yang indah seperti ini, semenjak kekasihku mencampakkanku dan akhirnya menikah dengan Savitri, sahabatku sendiri.
?Aku nggak punya pacar kok mas,? kataku datar mencoba menutupi hatiku yang mendadak menginginkannya. Aku melihat desahan nafas kelegaan dari hidungnya. Atau mungkin aku kegedean rasa saja ya?
?Kenapa nggak punya pacar, Ra??
?Waduh, panjang ceritanya, Mas.?
?Kamu cantik, pintar, lincah dan gesit, masa sih tidak ada cowok yang suka dan cinta sama kamu.?
Aku memandangnya. ?Aku ingin kamulah cowok itu, Mas,? batinku.
?Eh, ditanyain kok malah ngelamun sih??
?Aku sudah lupa rasanya jatuh cinta, aku pun tak yakin apakah rasa yang ada untuk someone sekarang ini sama seperti rasa yang dulu kuberikan untuk masa laluku dan akhirnya menghancurkanku?.
?Ehm, pasti rumit dan menyakitkan ya rasanya??
?Tapi percayalah, Ra, pasti suatu saat nanti ada cowok yang lebih baik dari masa lalu kamu itu, dan yakinlah dengan perasaanmu. Ibuku pernah memberi nasehat tekunilah hati kamu dalam mencintai seseorang, pasti orang itu akhirnya akan menyadari.?
?Lha Mas sendiri sudah punya pacar belum??
?Wah ceritanya panjang, jauh lebih rumit dari yang kamu bayangkan, Ra? ucapnya sambil menghampiriku ketika aku mengedit foto desainer muda tampan.
?Darimana kamu dapatkan foto ini, Ra??
?Tadi aku ngliput fashion show, semua bajunya itu rancangannya dia. Masih muda, kaya, cakep lagi. Mas, kenal dia??
?Kenal baik malah, cuma nggak punya fotonya, jadi nanti fotonya buat aku ya, Ra!?
Aku tertegun memandangnya. Aneh.
?Enggak, cuma buat koleksi aja, siapa tahu besok aku juga disuruh menulis tentang dia. Jadi nggak perlu motret dia lagi.?
Kupikir alasannya logis, seperti wartawan pada umumnya.
?Titt… titt…? HP Mas Robert berdering. Dengan sigap dia mengangkatnya.
?Iya, kamu sudah di depan ya sayang. Sebentar aku ke sana, tunggu ya.?
Deg. Ada yang mengiris hatiku.
Pasti dari pacarnya. Hatiku menyimpulkan.
?Ra, aku pulang dulu ya, maaf nggak bisa nemenin kamu, aku dijemput nih.?
?Sama pacar ya, Mas??
?Ada deh? jawabnya penuh kegenitan. Mendadak seperti itu.
?Ya sudah, Mas pulang aja. Thanks sudah nemenin.?
?Sama-sama neng geulis, inget nasehatku tadi, tekunilah kalau kamu mencintai seseorang, supaya kamu tidak lupa bagaimana itu jatuh cinta.?
Aku hanya mengangguk melihat punggungnya perlahan tertutup tembok. Kuberjalan mendekati jendela. Sakit hati ini mendadak seperti sembilu yang banyak jumlahnya siap menyayat. Pasti pacarnya cantik, tinggi, putih, rambutnya panjang, seksi dan….
Lelaki yang mulai menggetarkan hatiku itu kulihat mendekati mobil, dan seorang pria menyambutnya. Upss! Benarkah yang kulihat? Atau karena ada airmata yang mengambang di pelupuk mataku sehingga tidak jelas penglihatanku?.
Aku melihat desainer muda yang tadi kuwawancara, menyambut Mas Robert. Mereka berpelukan. Berciuman.
Ya Tuhan. Benarkah Mas Robert homo? Seorang gay?
Sekelebat aku ingat nasihatnya. (Gejayan, 1 November 2006)
*) Mahasiswi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.