M Anshor Sja?roni
http://www.jurnalnasional.com/
Akila melongok langit, mendung tebal menggelantung di atas cakrawala seperti arak-arakan kelelawar memenuhi bentangan langit. Nampaknya malam bakal turun lebih cepat. Gelap memenuhi ruangan kamar Akila. Tidak lama lagi hujan bakal turun.
Akila melihat jam dinding kamar, lima belas menit lagi pukul lima. Akila sedang menunggu seseorang. Seorang lelaki yang bakal menikahinya. Sebentar lagi lelaki itu akan muncul di kelokan jalan raya, menuju rumah Akila. Lelaki itu berjanji bakal datang sore ini. Dia ingin mengenalkan diri pada ibu Akila sekaligus melamar Akila.
Begitulah, lelaki itu telah berketetapan hati setelah empat tahun mengenal Akila.
Akila merasa semua ini berkah dari musim hujan. Awalnya lelaki itu menyatakan cintanya pada Akila di tengah hujan. Lelaki itu begitu terpesona melihat tubuh Akila yang basah dalam balutan kaos yang menempel lekat di badan Akila. Lelaki itu mengejar-ngejar Akila hingga tiba di sebuah bukit. Ketika itu Akila mencium tanah basah. Akila bergegas meninggalkan lembah tempat kemah malam keakraban bagi mahasiswa baru menuju bukit. Lelaki itu menangkap Akila, kemudian mencium kening Akila yang basah oleh hujan. Dengan malu-malu Akila menyambut hangat cinta itu. Itu semua karena hujan. Andai waktu itu tidak sedang hujan, tentu Akila tidak bakal mau.
Memang, cinta mereka kian subur memasuki musim hujan tahun ketiga. Tetapi pada setiap musim kemarau tiba, Akila selalu menghindar bertemu dengan lelaki itu. Akila merasa musim kemarau selalu menghadirkan rasa gelisah juga gerah. Akila tidak mau lelaki itu menemuinya dengan wajah kering pucat, sementara itu Akila tidak ingin lelaki itu melihat wajahnya kecut masai oleh keringat.
Pada musim hujan tahun keempat, tepatnya waktu mereka sama-sama diwisuda, dengan masih berpakaian toga hitam, lelaki itu menyeret Akila ke pinggir kolam depan gedung rektorat. Akila tidak tahu rencana lelaki itu. Tetapi Akila menurut saja sebab hujan nampaknya segera turun. Ternyata lelaki itu melamar Akila. Lelaki itu memberi sebuah cincin. Tepat pada saat lelaki itu memasukkan cincin di jari manis Akila, hujan tumpah dengan tiba-tiba. Ternyata hujan makin menggelora dan berubah menjadi badai yang melanda kota hingga menghancurkan rumah-rumah dan menumbangkan pepohonan. Andai saja waktu itu tidak sedang hujan badai, Akila tidak akan sudi menerima lamarannya.
Setelah lamaran itu, Akila ingin lelaki itu mengetahui latar belakang dirinya. Maka setiap ada kesempatan Akila selalu menceritakan perihal keluarganya. Banyak orang menyebut keluarga Akila terkena kutukan musim hujan. Siapa saja yang berhubungan dengan Akila atau ibu Akila, pasti bakal celaka. Begitulah keyakinan banyak orang. Tetapi ibu Akila sangat bijaksana. Ibu Akila pernah bilang, ?Biarlah orang mengatakan apapun yang mereka suka, tetapi tidak ada kutukan di keluarga kita.? Ibu Akila yakin, semua hal yang menimpa umat manusia di dunia ini adalah karena takdir.
Lalu ibu Akila menceritakan sebuah rahasia pada Akila. Waktu hamil Akila, ibu Akila ngidam air hujan. Katanya, setiap turun hujan, ibu Akila selalu keluar rumah. Dia suka duduk-duduk di kursi taman depan rumah dengan wajah tengadah dan mulut menganga. Ia biarkan air hujan tertampung ke dalam mulutnya untuk kemudian menelannya. Sambil melakukan itu, ibu Akila membayangkan dirinya sedang dikerumuni ribuan malaikat.
Waktu melahirkan Akila, ibu Akila sedang menikmati air hujan di taman depan rumah. Tiba-tiba tubuhnya ambruk. Ibu Akila tidak mau dibawa ayah Akila ke klinik bersalin, tetapi ibu Akila minta dipanggilkan seorang bidan.
Begitulah, Akila lahir di tengah guyuran hujan. Pertama kali yang Akila rasakan di dunia ini adalah guyuran hujan. Tubuh Akila masih terbelit tali pusar dan terbalut darah dan air hujanlah yang meluruhkannya. Baik Akila, ibu dan ayah Akila, juga sang bidan basah kuyup. Karena memang ibu Akila tak menghendaki ada payung atau apa pun yang menghalangi dirinya bersama hujan. Tepat pada saat tangis pertama Akila pecah, petir menyambar tubuh ayah Akila dan juga tubuh sang bidan. Baik ayah Akila maupun sang bidan yang menolong persalinan itu mati dengan tubuh gosong.
?Itulah takdir, Kila,? kata ibu Akila, ?Saya ceritakan semua ini padamu agar kau tidak terpengaruh omongan orang.? Lalu ibu Akila menceritakan masa kecil Akila. Waktu kecil Akila suka berkubang di tengah hujan. Dengan tubuh telanjang Akila suka menikmati terpaan air hujan yang berlesatan. Hujan sepertinya punya tangan yang mencubit-cubit kulit Akila. Sejak kecil Akila bisa merasakan tangan hujan mencubit-cubit pipi, bahu, punggung, lengan, perut, paha, dan bahkan ujung jari-jari tangan dan kaki Akila.
Di tengah hujan, Akila suka berputar-putar seperti seorang balerina yang sedang menari tarian angsa. Terkadang Akila rebah, kemudian mendorong tubuh ke depan dengan tumpuan kaki kanan sementara kaki kiri tersorong ke belakang dengan tangan terbentang seperti hendak terbang. Akila ingin merengkuh tubuh hujan lalu membawanya melayang jauh ke ujung cakrawala. Ujung cakrawala yang segera menyemburkan warna pelangi begitu hujan berhenti.
Pernah suatu kali, Akila menghilang selama dua hari. Waktu itu terjadi hujan badai. Entah bagaimana Akila bisa kembali ke rumah. Tetapi setelah ibunya bertanya dari mana, Akila menceritakan sebuah kereta, kuda-kuda, orang tua berjenggot putih, pakaian merah, juga hadiah-hadiah. Sambil tersenyum ibunya bertanya, ?Apakah kamu takut, Kila?? Akila menggeleng.
Begitulah cerita ibu Akila. Setelah besar, Akila selalu terpesona dengan hujan. Ya, Akila selalu terbuai setiap mendengar seseorang mengatakan rintik, rinai, gerimis, atau gemuruh. Atau kata-kata yang selalu mengiringi suasana hujan seperti guntur, petir, kilat, atau badai. Pokoknya kata yang berasosiasikan hujan. Tubuh Akila selalu bergetar setiap musim hujan. Seakan-akan pori-pori di sekujur kulitnya meremang dalam kesyahduan musik yang ditimbulkan oleh suasana hujan. Tepatnya, Akila selalu terpesona dengan suasana ritmis hujan yang penuh kesyahduan. Dan ini, menurut Ibu Akila, bukanlah sebuah kutukan.
Gerimis mulai turun di luar. Tidak ada gemuruh guntur atau petir yang menyambar-nyambar. Hanya angin yang menggoyang-goyangkan jajaran pohon akasia tua dan daun-daun palem yang menjulang. Ada satu dua pejalan kaki mulai menepi. Ada pula yang mempercepat langkah kaki. Mereka nampak takut basah terkena air hujan. ?Apakah mereka takut terkena kutukan hujan,? batin Akila, ?Hujan yang sebelumnya mereka harapkan segera datang menggantikan panas musim kemarau.?
Berbeda dengan mereka, Akila malah ingin keluar rumah. Akila ingin menghambur ke tengah hujan sambil tengadah, membiarkan air yang terjun dari langit menerpa wajahnya. Akila dapat merasakan segarnya tetes-tetes hujan membasahi rambut, wajah, tangan, dan sekujur tubuhnya.
Karena itu, Akila ingin lelaki itu segera datang dan membawanya ke taman kota. Akila ingin lelaki itu menemaninya menikmati hujan yang membasahi rerumputan, bunga-bunga, pepohonan dan kursi-kursi taman. Tentu saja Akila berharap hujan mengiringi perjalanan mereka.
Tetapi lelaki itu belum juga datang. Gelap telah memenuhi ruangan kamar. Akila beranjak menyalakan lampu, duduk kembali di tepi ranjang di pinggir jendela, membayangkan berjalan-jalan bersama lelaki itu di tengah hujan.
Pernah suatu kali saat jalan-jalan, lelaki itu marah karena payung juga mantel tebal yang diberikan lelaki itu ditolak Akila. Keinginan lelaki itu untuk melindungi Akila bertepuk sebelah tangan. Akila berkilah. Katanya pada lelaki itu, ?Hujan itu karunia paling indah yang diturunkan Tuhan dari langit, yang sebenarnya turun dari surga.?
Lelaki itu mendebat dengan alasan-alasan yang menurut Akila sebenarnya lebih pantas ditujukan untuk kanak-kanak. Lelaki itu berkata, ?Kau akan sakit, bersin-bersin, dan tubuhmu bakal panas terkena flu.? Akila melihat wajah lelaki itu seperti seorang ibu yang putus asa menghadapi kebandelan anaknya. Lalu Akila meyakinkannya, ?Tidak mungkinlah aku sakit oleh air hujan yang begitu menyegarkan tubuhku.? Mungkin lelaki itu terlalu khawatir, atau mungkin ibu lelaki itu sering melarangnya main hujan ketika dia kecil dulu. ?Hujan itu bukan kutukan, jadi tidak membahayakan,? kata Akila menirukan ibunya.
Di luar nampak hujan makin deras. Akila menatap kembali ujung jalanan berkelok menuju rumahnya. Belum nampak langkah kaki lelaki itu. Hanya angin bertambah kencang mengibas-ngibaskan tempias hujan yang menatap-natap kaca jendela kamar hingga menerbitkan suara kertap-kertap seperti alunan musik yang makin lama semakin meninggi nadanya. Akila menempelkan telapak tangan pada kaca jendela kamar. Alunan musik itu semakin menderu seperti hendak mengajak Akila memainkan simfoni sebuah lagu kanak-kanak:
Tik tik tik bunyi hujan di atas genting/Airnya turun tidak terkira/Cobalah tengok dahan dan ranting/Pohon dan kebun basah semua
Sayup-sayup Akila mendendangkan lagu itu sambil menempelkan pipi pada kaca jendela. Dingin menyusup ke dalam pori-pori wajah Akila. Lagu itu semakin bergemuruh dengan beat cepat yang kacau.
Tik tik tik bunyi hujan bagai bernyanyi/Aku dengarkan tidaklah jemu/Kebun dan jalan semua sunyi/Tidak seorang berani lalu
Tiba-tiba Akila merasa badai akan turun menyapu kota. Ya, Akila bisa merasakan bakal datangnya sebuah badai. Tetapi Akila tidak takut badai. Andaikan rumahnya roboh karena hujan badai, Akila bisa memahaminya. Akila tidak akan menyalahkan badai. Akila akan menyalahkan orang yang merancang dan membangun rumah ini. Mengapa mereka tidak mampu merancang bangunan yang tahan guncangan badai atau gempa di negeri yang memang rawan bencana ini? Meskipun begitu, Akila ingin segera melompat keluar, menyusul lelaki itu.
Akila ingin lelaki itu segera datang. Akila merasa sesuatu bakal terjadi. Maka dia temui ibunya di kamar belakang. Akila ingin keluar rumah menuju kelokan ujung jalan raya, menjemput lelaki itu.
?Keluarlah kalau itu menenangkan hati kamu,? kata ibunya.
?Aku takut ini benar-benar akan terjadi, Bu.?
?Hus, sudahlah. Ingat, Akila, kau anak ibu. Dan ibu tidak menurunkan kutukan padamu. Ingat, Kila, semua yang terjadi sudah digariskan Tuhan. Semuanya sudah ada takdirnya masing-masing. Sekarang keluarlah, jemput lelaki itu.?
Akila keluar rumah tanpa payung atau mantel. Akila hanya menenteng tas kecil di lengannya. ?Datanglah segera,? gumam Akila di tengah hujan, ?Jangan menjerat aku dengan janji yang membuat aku lama menunggu. Jangan pula menjerat aku dalam penantian akan sebuah kesetiaan pernikahan yang kau janjikan.?
Tiba-tiba Akila lamunkan sebuah keluarga kecil bahagia sejahtera yang jauh dari badai percekcokan, salah paham, dan pengkhianatan. ?Ah, apakah kau cukup setia dengan janjimu? Apakah kau cukup memahami aku dalam mengarungi mahligai keluarga kelak? Tetapi kau kini belum juga datang. Aku berharap tidak terjadi apa-apa. Aku hanya berharap kau segera tiba dan menemui ibuku. Lalu kita akan habiskan malam di taman kota.?
Terdengar bunyi ponsel berdering. Akila nampak ragu antara bunyi gemuruh hujan, petir yang menyambar, dan bunyi ponsel dari dalam tasnya. Ia rogoh tasnya. Ia ambil ponsel yang berkedip-kedip.
?Halo! Kamu sudah sampai mana? Halo….?
?Maaf, ini Ibu Akila??
?Ya. Halo…Siapa ini??
?Kami dari kepolisian.?
?Ya? Polisi??
?Betul, Ibu Akila. Kami dapati nama Anda di ponsel korban. Ibu Akila istrinya??
?Eh…Emhhh…Ada apa dengan Badat??
?Badat? O namanya Badat. Begini, dia sekarang ada di rumah sakit.?
?Memangnya kenapa dia??
?Dia tertimpa pohon tumbang di jalan raya.?
?Bagaimana kondisinya??
?Mohon maaf, Anda yang sabar. Kalau bisa Anda datang segera ke sini. Secepatnya.?
Ponsel terputus.
Akila menutup ponsel. Akila segera berlari menuju rumah sakit yang disebutkan polisi tadi. Rumah sakit itu berada tidak jauh dari rumah Akila. Hujan angin seperti mendorong langkah Akila hingga tubuhnya seperti terbang.
Di rumah sakit Akila menemui dokter juga polisi. Polisi mengatakan sebatang pohon tumbang menimpa Badat. Dokter mengatakan tubuh Badat remuk di beberapa bagian. Mereka berdua mengatakan nyawa Badat tak bisa diselamatkan.
?Hujan badai memang sangat berbahaya,? kata polisi.
?Betul, kalau sedang hujan badai, baiknya hindari saja.? kata dokter.
?Kami ikut berduka,? kata mereka.
?Tidak… tidak….?
?Anda baik-baik saja?? tanya dokter.
Akila tidak menjawab. Ia berlari keluar. Dalam kepungan hujan badai, Akila berteriak. ? Mengapa hujan? Mengapa Tuhan?? Lalu dia bersimpuh di jalanan aspal depan rumah sakit di tengah hujan badai. Petir menyambar-nyambar. Akila tengadah meninjau langit sambil bergumam, ?Ini bukan kutukan. Aku tidak percaya pada kutukan. Aku percaya pada takdir.?
Tetapi, meskipun begitu, Akila menangis sambil menyebut-nyebut nama lelaki itu dan juga nama Tuhan.
(Surabaya, 2009)