Memilih Sekolah Alternatif Romo Mangun

Judul: Belajar Sejati Vs Kurikulum Nasional
Penulis: Y Dedy Pradipto
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: 272 Halaman
Peresensi: Hanik Uswatun Khasanah
http://suaramerdeka.com/

BUKU ini mengaji konsep dan praksis pendidikan alternatif-eksperimental yang diwariskan oleh seorang pedagog besar bernama YB Mangunwijawa. Konsep pendidikan ini menawarkan kurikulum yang berbeda dari kurikulum nasional. Konsep tersebut sudah lama diberlakukan di Sekolah Dasar Kanisius Eksperimental (SDKE) Mangunan.

Pemikiran Romo Mangun tentang pendidikan alternatif-eksperimental bermula dari kritik-kritiknya terhadap bentuk pendidikan nasional yang cenderung seragam. Bentuk penyeragaman pendidikan nasional dapat dicermati dari kurikulum yang dibuat pemerintah, mulai Kurikulum 1974 hingga 1994. Romo Mangun tentu saja tidak berhenti pada kritik bernada ketidaksetujuan, tetapi juga berpikir tentang bentuk pendidikan lain yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia.

Menurut Y Dedy Pradipto, Romo Mangun tidak mengartikan pendidikan alternatif-eksperimental dengan “mengganti sekolah formal”, melainkan merumuskan materi dan metode baru pendidikan yang akhirnya digunakan di SDKE Mangunan dengan Dinamika Edukasi Dasar (DED) sebagai supporting system. Bagi Romo Mangun, sekolah formal yang disediakan pemerintah telah kehilangan arti sejati karena menjadikan anak didik sebagai robot. Sekolah formal menjadi kelas-kelas penataran dan lomba rangking. Akibatnya, peran guru tereduksi hanya menjadi penatar dan birokrat. Mereka tidak lagi diposisikan sebagai anak yang kreatif (halaman 65).

Karena alasan itulah, Romo Mangun mulai berpikir tentang bentuk pendidikan alternatif yang mengajarkan kepada anak didik kemampuan atau keterampilan hidup. Untuk memiliki keterampilan hidup, seseorang memerlukan sebuah proses belajar yang berlangsung seumur hidupnya. Romo Mangun lalu menyebutnya sebagai “belajar sejati”, yaitu belajar sebagai bentuk kesadaran yang tidak akan berhenti meskipun sekolah telah usai. Agar bisa mengantarkan anak pada “belajar sejati”, maka diperlukan “suasana hati yang merdeka” yang memungkinkan mereka bisa belajar tanpa paksaan dan tekanan.

Konsep “belajar sejati” yang digagas Romo Mangun mirip dengan konsep pendidikan pembebasan yang telah lama dipopulerkan Paulo Freire dalam buku Pedagogy of the Oppressed. Menurut Freire, pendidikan merupakan proses memerdekakan dan memanusiakan manusia. Karena itu, segala bentuk paksaan dan tekanan yang datang dari luar diri anak didik harus disingkirkan. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, Freire kemudian membangun konsep pendidikan “bersama dengan”, bukan “diperuntukkan bagi” anak didik.

Pendidikan “bersama dengan” ini tidak menempatkan guru sebagai satu-satunya subjek pendidikan yang paling otoritatif dan anak didik sebagai objek pendidikan yang serbapatuh. Keduanya sama-sama diposisikan sebagai subjek pendidikan yang belajar bersama, sedangkan objeknya adalah realitas dan pengetahuan. Ini bisa direalisasikan dengan metode dialogis yang tidak berhenti di dalam kelas saja, tetapi bisa bahkan sangat penting dilanjutkan pascaproses kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah.

Khusus untuk merealisasikan konsep “belajar sejati”, Romo Mangun menunjuk dua kompetensi dasar yang hendak dikembangkan di lembaga pendidikan yang dirintis. Pertama, kemampuan komunikasi dan penguasaan bahasa anak yang dilengkapi dengan kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan sesama. Kedua, pemekaran jiwa anak yang eksploratif, kreatif, dan integral. Kemampuan eksploratif membuat anak suka mencari dan bertanya. Kemampuan kreatif membuat anak bisa mencipta hal-hal baru. Kemampuan integral membuat anak bisa menghadapi beragam segi kehidupan dalam keterpaduan yang utuh.

Sebagaimana dituturkan Y Dedy Pradipto dalam buku ini, untuk memenuhi kebutuhan anak didik, Romo Mangun menerapkan pendekatan active learning, joyful learning, dan child-centered learning. Active learning adalah sistem belajar-mengajar yang memungkinkan anak bisa aktif. Joyful learning adalah proses belajar-mengajar yang mengedepankan kegembiraan dan kegairahan anak. Adapun child-centered learning adalah proses pembelajaran yang berpusat pada anak dengan mengembangkan secara optimal pusat-pusat perhatiannya. Dengan pendekatan ini, pendidikan alternatif-eksperimental diwujudkan di SDKE Mangunan (halaman 71).

Konsep pendidikan alternatif-eksperimental Romo Mangun tentu saja berlawanan dengan paket pendidikan nasional yang sentralistik. Negara melalui kurikulum nasional berusaha mewujudkan suatu bentuk pendidikan yang berlaku seragam. Romo Mangun melalui “belajar sejati” yang diwujudkan dalam kegiatan belajar-mengajar di SDKE Mangunan seakan ingin menunjukkan bahwa gagasan pendidikan tidak bisa diberlakukan secara seragam. Di sini terjadi kontestasi kekuasaan antarkeduanya yang diulas dengan lugas oleh Y Dedy Pradipto dalam buku ini.

Permasalahan kontestasi kekuasaan tersebut memaksa Y Dedy Pradipto untuk mendiskusikan teori kekuasaan dalam dunia pendidikan. Konsep kekuasaan dalam buku ini merujuk pada pemikiran Foucault tentang kekuasaan. Mengikuti Foucault, Y Dedy Pradipto tidak mengartikan kekuasaan sebagai sebuah benda yang bisa dimiliki, diberikan atau dipindahtangankan. Kekuasaan merupakan strategi yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan mekanisme tertentu.

Dengan demikian, negara sesungguhnya tidak memunyai kekuasaan. Kekuasaan bekerja pada negara, dan kurikulum nasional dapat dilihat sebagai salah satu wujud. Kurikulum nasional inilah yang berseberangan dengan konsep “belajar sejati” Romo Mangun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *