Nurel Javissyarqi
Dapat dikatakan hampir seluruh diriku, memulai mengeluarkan tulisan dari tubuh dengan sugesti. Di sinilah sebuah cara memunculkan nilai puitik yang bergelayutan dengan ringan. Kala melangkahkan segala kenangan, ingatan pun gejolak jiwa terus menggemuruh berharap dihaturkan melalui kalimah-kalimah. Pada lain tempat aku pernah mengatakan, sugesti suci ialah cinta.
Seolah kata-kataku, anak yang kulayarkan ingin selalu dimanja, apalagi saat perbaikan atau revisi. Berbondong dengan wajah riang memohon dimandikan dengan air kembang pengertian dalam bau-bauan harum wewarna di ruangan.
Di antara kata-kata bergandengan erat, kadang menjelma sepasukan tentara siap melabrak faham yang menghalangi. Segelombang laut berkelembutan hanyutkan pelena. Pun sesosok hantu hingga diriku ketakutan menyentuhnya, merinding bulu-bulu juga mengajak menangis dalam diam. Pula bermusuhan dengan kata-kata sendiri, seakan pesaing yang sulit ditundukkan.
Sebelum jauh kuucapkan terimaksih bung Athan, yang merelakan puisi indahnya kudedah dengan ngelanturing pesti, pestineng ngerti, titineng mongso. Ketika akan kusentuh puisi itu, kuambil buku sekenanya. Itulah cara jemariku berbicara, tanpa hasrat lebih dari dalam.
Terambillah Kitab Injil Barnabas untuk membongkar puisinya, tentu mencari kesesuai soal kematian. Namun saat membaca baru halaman pengantar berisi kesaksian, diriku tertidur lelap. Seakan Barnabas di sisiku dan kala terjaga berkata ia; kau sudah faham?
Lalu aku berfikir; bagaimana faham, membaca saja belum. Kitab itu masih di sampingku, diriku terus merasai ucapan Barnabas. Sampailah ke titik temu yang diterangkannya tidur itu saudara kematian. Ini sudah lumpah dalam filosofis Timur sampai merambahi dunia Barat. Lantas kita mengenali, ternyata Timur dan Barat dapat bersatu dalam kalimah hikmah.
Terjemahan Injil Barnabas kubeli ditahun-tahun lalu, kalau tak keliru aku pun terhanyut membacanya. Kitab-kitab Suci memang indah kalimahnya, disamping dalam maknanya. Tetapi bagiku yang menceritakan keadaan surga lebih mempesona, saat membaca Kitab Bhagawadgita, dimana angin pun berwarna.
Kitab Barnabas kubeli di kota Babat, termasuk wilayah kabupaten Lamongan. Kota tua yang mengedarkan buku-buku klasik, tiada di toko-toko umum, penyebarannya juga terbatas, pun dimasuki buku-buku dari kota. Terbitan buku-buku dari Mesir pula masuk ke sana, melewati lorong aneh bagi tidak faham jalurnya.
Semacam lorong rahasia melalui para kulir, seolah menebarkan misi tertentu. Itu bagi buku-buku khusus yang hanya pemesan dan penjual yang tahu. Dan jangan harap orang asing dapat buku langkah. Maka setiap kali aku membaca buku dari pembelian di kota Babat, diriku berusaha obyektif tidak terprofokasi kalimahnya.
Bagi pembaca sastra tidak fanatik, tentu sampai keliaran menerkan yang kujabarkan, setidaknya begitulah caraku membaca peristiwa di buku-buku. Memasuki kota-kota rahasia yang setiap gangnya menyimpan cerita, demikian juga menyimak puisi; penggalan kata menyerupai jalan pertigaan, perempatan dan jalan buntu. Kini marilah melihat puisi Athan:
MENGENANG MATI
Athan Wira Bangsa
disini.
ruang hampa
sebuah almanak usang didinding
terpajang sudah dua puluh enam ribu dua ratus delapan puluh jam
masih tetap seperti itu tak beranjak dari tempatnya
kutandai beberapa angka
hitam putih
untuk mengenang awal kematian ku.
Membaca puisi Athan di atas, ada tarikan nafas besar yang purna keluarnya. Ruh membuncah, hingga keringat tak terasa menetes menyempurnakan makna yang terbaca. Ada ruapan halus bersinambung meremajakan tubuh dalam sekali nafas.
Dan marilah menyimak Kala Tida (Sinom) karangan R. Ng. Ronggowarsito, di akhir seratnya menuturkan:
XII.
Sageda sabar santosa, Mati sajroning ngaurip, Kalis ing reh aruhara, Murka angkara sumingkir, Tarlen meleng malat sih, Sanityaseng tyas mematuh, Badaring sapu denda, Antuk mayar sawetawis, Barong angga sawarga mesi martaya.
Terjemahan bebasnya:
XII.
Semoga kami bersabar sentausa. Seolah dapat mati di dalam hidup ini, lepas dari kerepotan dan jauhkan dari angkara murka. Biarkan kami hanya memohon kepada-Mu, agar mendapatkan ampunan sekadarnya. Kemudian kami serahkan jiwa raga ke tangan-Mu ya Tuhan yang di surga.
Sajian ini tidak kendak membandingkan puisi Athan dengan serat Ronggowarsito, tapi dapat ambil ruh catatan ini lewat tangga keduanya. Sejenis mencoba manaiki eskalator, dan melihat eskalator di sampingnya juga bergerak naik. Lalu berpindah ke terlihat pula melihat yang barusan dinaiki.
Di ruang hampa atau mati dalam hidup menyadarkan, betapa hayat cuman sak pecak selangkah dalam keheningan pencarian hakiki. Almanak ataupun lepas dari kerepotan membelenggu saat berfikir membathin, merasai diri di batas-batas sulit diterjemah. Namun betapa tergambar hati-nalar bening menerima bergulirnya masa. Kenangan kematian nilai-nilai hidup tak tersentuh, dipulangkan tapi juga tak beranjak.
Dedoa mampu menghantarkan suara-suara menjelma makhluk dengan memohon kejelasan hitam-putih demi mengenal awal kematian nilai. Berupa timbangan baik-buruk atas perjalanan lalu. Kematian berulang di hadapan, dan aku lirik keduanya bersaksi bersegenap harap menyerahkan jiwa-raga kepada-Nya. Yang menjanjikan kesucian lelaku dalam kehidupan.
Pula menginginkan makna el-maut terus bertengger di jasad. Menguliti perasaan memperjelas hakiki. Membeningkan kilauan cahaya dari puisi maupun serat yang terjabarkan, sebagai jalan dikehendaki. Terus mengenang kematian, mengenang hidup tak hidup. Seperti ditaburi kembang ketulusan kalbu, menyerupai sejuknya salju meresapi kulitan ruh perasaan terdalam.