Judul: Islam Liberal, Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia
Penulis: Dr Zuly Qodir
Penerbit: Pustaka Pelajar
Cetakan: Oktober, 2007
Tebal: 250 halaman
Peresensi: Muhibin AM
http://suaramerdeka.com/
KOSMOPOLITANISME agama yang digagas oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan modernisasi pemikiran Islam oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur) telah melahirkan paradigma-paradigma pemikiran baru Islam Indonesia. Islam sebagai sebuah ajaran moral, kemudian menjadi ajang pembongkaran makna di balik ayat-ayat sucinya.
Ini dilakukan agar harapan nilai-nilai keislaman tidak bersifat statis, melainkan lebih bersifat realistis sesuai dengan tafsiran zaman. Artinya, ajaran-ajaran Islam kemudian ditafsirkan berdasarkan realitas-realitas sosial yang sedang dihadapi oleh umat Islam saat ini. Paradigma-paradigma pemikiran ini kemudian membentuk berbagai varian interpretasi.
Jaringan Islam liberal (JIL), yang lahir dari rahim sebuah kelompok diskusi Komunitas Utan Kayu, telah melahirkan dan memperkenalkan metode pemikiran baru Islam. Sebagai pemahaman Islam abad modern, JIL kemudian memperolah tanggapan positif dari intelektual muda Indonesia di kampus-kampus. Namun kaum tetua ulama sebagai kelompok konservatif mengklaim Islam liberal (JIL) telah menyebarkan ajaran sesat lagi menyesatkan. Bahkan, JIL diaggap telah keluar dari ajaran-ajaran Islam yang telah dibawa oleh Nnabi Muhammad.
Maka kemudian pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam kian mengalami perdebatan yang cukup panjang. Bahkan persoalan ini kemudian melahirkan konflik-konflik internal lembaga maupun ormass Islam lain. Apalagi JIL sebagai kelompok pembaharu Islam Indonesia dengan sangat berani membongkar ayat demi ayat dan mengorelasikan dengan sejarah turunnya ayat Tuhan.
Penafsiran Baru
Bahkan JIL memberikan pernyataan bahwa dalam sebagian ayat-ayat yang Allah turunkan, perlu ada penafsiran-penafsiran baru yang disesuaikan dengan konteks zaman saat ini. Tendensi pemikiran JIL ini lebih cenderung pada hubungan agama dan negara, serta persoalan-persoalan humanisasi. Ini tentu mengaitkan dengan firman Tuhan serta tidak melupakan historisasi yang menjadi penyebab turunnya ayat. Dengan perbandingan seperti itu, maka ajaran-ajaran Islam tidak akan selalu sesuai dengan perjalanan zaman.
Berdasarkan atas fakta-fakta itulah maka kemudian buku ini mencoba menjawab dan memahami serta mengklarifikasi pemikiran-pemikiran JIL secara objektif sehingga dengan membaca buku ini diharapkan kita bisa memahami dan menilai apakah JIL merupakan golongan sesat yang harus dibasmi atau ia manifestasi bentuk pemikiran Islam posmodern yang justru melahirkan keilmuan-keilmuan baru yang bisa menjadi acuan bersama dalam menata situasi umat Islam yang sedang dalam posisi tidak dominan, terutama dalam persoalan-persoalan hubungan antara negara dan agama.
Di antara tema-tema yang diusung oleh JIL-ISLIB adalah tema-tema yang sangat jelas mengarah pada apa yang disebut civil society dan civil religion. Dalam pandangan JIL, civil sosiety dan civil religion hanya akan tumbuh ketika masyarakat memiliki perangkat yang memadai dan memiliki paradigma berpikir yang optimistis, tidak hitam putih dan menghargai hak asasi manusia yang notabene plural. Dari sana akan tumbuh sesuatu yang disebut sebagai negara demokratis, sebuah negara yang diperintah tidak berdasarkan pemaksaan-pemaksaan dan otoritarianisme. Seandainya gagasan tentang civil sosiety dan civil religion ini terus dipahamkan pada masyarakat luas, maka kemudian masyarakat akan menemukan makna di balik mereka berislam sehingga berislam bukan hanya berbasiskan pada perspektif teologi yang menekankan simbol dan ketundukan yang tidak kritis. Basis teologi klasik yang menekankan pada misi agama-agama sebenarnya harus ditelusuri lebih jauh agar kemudian dirumuskan sebagai teologi inklusif.
Tema yang paling hangat dibahas oleh komunitas pemikir liberal Islam adalah perlunya pemisahan yang tegas antara agama dan politik, atau agama dan negara.
Urusan Antarmanusia
Dalam pandangan liberal Islam, agama berbeda dari politik. Agama berurusan langsung dengan Tuhan dan berimbas pada manusia, sedangkan politik adalah urusan antara manusia yang imbasnya juga antarmanusia. Tidak ada sakralitas dalam politik, yang ada hanya etika, sementara dalam agama ada hal-hal yang sakral. Memang keduanya bisa bertemu dalam etika universal, bukan doktrin.
Paradigma-paradigma yang diperkenalkan oleh JIL ini sebenarnya telah terlebih dahulu diperkenalkan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam pada abad pertengahan, seperti yang digagas oleh Ibnu Sina. Namun, paradigma pemikiran klasik ini telah hilang terkubur bersama runtuhnya dinasti Abbasiyah yang hingga kini masih tabu untuk direkontruksi ulang. Adapun di Indonesia, pemikiran-pemikiran liberal ini banyak yang diadopsi melalui tokoh-tokoh kontroversial seperti Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan Nurcholis Madjid (Cak Nur).
Buku ini bisa menjadi bacaan yang wajib bagi kalangan yang ingin mengetahui lebih dalam tentang pemikiran-pemikiran jaringan islam liberal, terutama bagi kalangan agamawan dan penganut islam konservatis dan fundamentalisme agama. Terlebih lagi bagi kalangan akademisi sehingga tidak dengan mudah mengklaim bahwa JIL merupakan kelompok yang ingin menyinkretiskan agama-agama ke dalam bentuk pemikiran Barat
Setidaknya buku ni dapat memberi pengetahuan dan pemahaman baru mengenai pemikiran-pemikiran Islam dalam tahap-tahap perkembangannya menuju Islam yang lebih bermakna sosial dari pada hanya sebatas ritual yang statis. JIL lebih menawarkan elastisitas ajaran Islam yang disesuaikan dengan kehidupan sosial masyarakat Indonesia sehingga ber-Islam akan lebih bermakna sosial dari pada hanya bersifat teologis dan berbau arabis.