Judul: Gading-Gading Ganesha (3G),
Penulis: Dermawan Wibisono,
Penerbit: Ganesha Creative Industry & Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Juni 2009
Tebal: 393 halaman
Peresensi: Saroni Asikin
http://suaramerdeka.com/
GALIBNYA sebuah film yang diangkat dari sebuah novel, skenarionya ditulis berdasarkan novel yang sudah ada, dan lebih galib lagi sudah diterbitkan. Film 3G (Gading-gading Ganesha) yang sudah mulai syuting ini jelas belum lazim. Film sudah direncanakan, bahkan judul skripnya pun sudah disepakati, tapi novelnya belum diketik satu halaman pun. Meski begitu, novel Gading-gading Ganesha tulisan Dermawan Wibisono ini tetap karya autentik, sepadan dengan banyak novel lain yang lalu difilmkan.
Benar, berdasarkan pengakuan penulisnya, sebermula adalah gagasan membuat ?sesuatu yang berbeda? untuk perayaan Dies Natalis Emas ITB. Yang berbeda itu berupa film yang menggambarkan ?hati? dan karakter Ganesha (simbol ITB). Dalam seluruh proses produksinya, alumni ITB beserta para profesional di bidang sineas bakal dilibatkan. Langkah pertamanya berupa penulisan novel yang bakal menjadi bahan skrip film. Penulis novel inilah, Ketua Program Study MBA ITB yang telah menelurkan novel Sang Juara: Misteri Hilangnya Shirley (2008) didaulat sebagai pewujud langkah pertama. Dahsyatnya, tiga bulan novel kelar. Padahal si penulis juga disibukkan oleh urusan akademis.
Maka jadilah novel yang mengisahkan nukilan perjalanan hidup enam anak manusia berlatar bela?kang etnik yang berbeda-beda yang dipertemukan di kampus ITB. Keenam tokoh cerita itu adalah Slamet (Trenggalek), Fuad (Surabaya), Poltak (Siantar), Gun Gun (Ciamis), Ria (Padang) dan Benny (Jakarta).
Apa yang terjalin ketika enam anak muda berlatar etnik berbeda saling bertemu, bahkan empat di antaranya tinggal serumah di sebuah rumah kontrakan? Ada banyak kisah: solidaritas, konflik, juga romansa. Lihat bagaimana solidaritas mereka ketika Poltak sakit dan harus diopname sementara tak ada yang punya uang untuk ongkos pengobatan. Slamet dan Gun Gun yang merasa malu hati terpaksa mendatangi Ria untuk pinjam uang, dan yang disebut terakhir dengan ringan tangan mengulurkannya. Ada konflik-konflik kecil meski tak serius ketika beberapa tokoh berebut simpati Ria. Ada juga romansa bagaimana Benny memendam cinta pada Ria yang tak kesampaian sampai mereka lulus dan baru terwujud beberapa tahun kemudian.
Catatan Kehidupan
Kisah dalam novel ini mirip sebuah catatan harian, atau lebih tepatnya catatan kehidupan kampus enam tokohnya. Itu terbukti pada detail peristiwa yang berkesan ?sengaja? dimunculkan semua oleh penulisnya. Ada Ospek, kehidupan di kontrakan, hingga demonstrasi mahasiswa. Yang menarik sebenarnya, dan mungkin ini semangat awal penulisan novel ini, adalah perjalanan hidup enam tokohnya pasca-kehidupan di ITB. Ada hal yang bisa dipetik bahwa meskipun keenamnya mereka telah menempuh kehidupan yang beragam, lengkap dengan pergulatan hidup dan konflik batin pada masing-masing tokoh, mereka kembali dipertemukan oleh semangat yang sama 25 tahun kemudian.
Dalam pertemuan kembali setelah terpisah seperempat abad itu, mereka menyadari betapa banyak waktu yang terbuang hanya untuk memikirkan kehidupan masing-masing. Mereka disadarkan oleh semangat bersama ketika baru masuk ITB, yaitu semangat membangun negeri. Akhirnya, mereka berbulat tekad menjadi pelopor membangun jaringan seluruh alumni dan orang-orang yang sepaham dari berbagai universitas untuk membuat karya nyata, menanggalkan primordialisme baju alumni.
Kalau lihat akhiran cerita, kita bisa saja menganggap hal itu sebagai pikiran utopis. Tapi tunggu dulu. Dalam pengantarnya, dengan lugas penulisnya bilang ?Novel ini merupakan fiksi semi-asosiatif yang ditujukan untuk memberikan banyak sisi manfaat: hiburan (tentu yang pertama dan utama), kilas sejarah, budi pekerti, aspirasi, dan spirit kejuangan, yang mudah-mudahan sampai kepada pembaca sekalian tanpa bermaksud menggurui dan menokohkan seseorang.? (halaman 16).
Benarlah, bahwa novel ini ditulis dengan gaya yang sangat lugas dan renyah. Penulisnya tak diberati oleh keinginan untuk menciptakan beragam gaya bahasa tertentu. Bahkan, tak ada keinginan penulisnya untuk memaparkan sebuah deskripsi yang mendayu-dayu. Sebab, semuanya ditulis lugas dan plastis. Langsung ke sasaran.
Hal-hal seperti itu tentu ?memanjakan? pembaca yang semata ingin mengikuti kisahan yang didedah. Juga tentu memanjakan pembaca juga tak ingin ber?su?sah-susah mengikuti jalan cerita karena alurnya be?gitu linear. Apalagi, pada bagian tertentu pengisahan sering hanya berfokus pada salah satu tokoh saja. Ba?ca saja pada bagian awal bagaimana keenam to?koh?nya diceritakan mengawali keberangkatan ke ITB.
Renyah
Ya, tuturan dalam novel ini begitu renyah. Dalam banyak hal bahkan bersifat humoris. Tapi apakah kerena mengejar unsur kejenakaan (saya tak menyebut penulisnya sengaja membanyol), dalam beberapa bagian tokoh-tokohnya seperti bertindak konyol. Baca saja ketika Gun Gun yang sangat bangga diterima di ITB sampai-sampai karena jengkel dengan sopir angkot menantang berkelahi si sopir dengan menyebut-nyebut dirinya anak ITB. Atau, Poltak yang menyela omongan orang di bus ketika nama ITB dijelek-jelekkan.
Yang juga agak mengganjal adalah pemaparan karakter tokoh-tokohnya yang cenderung bombastis yang kalau ditelusuri itu berasal dari stereotipe masyarakat tempat asal tokoh-tokohnya. Slamet yang asal Trenggalek dimunculkan sebagai sosok yang katrok, Poltak yang orang Batak dimunculkan dengan karakter keras, atau Fuad yang keturunan Arab dari Surabaya dipaparkan sebagai ?pelit?. Dalam hal tertentu, karakter yang stereotipikal seperti itu sering menjadi kelemahan dalam hal penokohan tokoh-tokoh dalam novel ini.
Meski begitu, novel ini patut dibaca, setidaknya untuk melongok pola kehidupan kampus kenamaan macam ITB pada tahun 1980-an, tahun pengisahan. Lepas dari itu, filmnya yang rencana dilansir tahun 2110 punpatut kita nantikan. Apalagi, belum banyak film yang berbicara mengenai dunia mahasiswa, lebih khusus lagi mengenai ITB.