Denny Mizhar
Malam dengan dinginnya memeluk tubuhnya, di halaman rumah yang dulu biasa digunakan untuk bertemunya para penyair. Mereka saling mengadu argumentasi dan mendiskusikan realitas yang terjadi di sekitarnya, lalu dijadikan bahan membuat sajak-sajak ataupun esai.
Rumah yang memiliki halaman lua sebagai tempat menaruh padi dan hasil kebun ketika musim panen tiba. Tidak seperti dulu lagi, sekarang sepi dan sunyi.
Duduk sendiri sambil merokok, tak henti-henti menyemburkan kepulan asap ke udara dengan ekpresi kosong, seperti ada yang menyelubungi fikirannya satu kesal susah untuk dipecahkan
.
Tiba-tiba muncul kata-kata, sepertinya sebuah ungkapan kegelisahan yang dirasakan.
“Daun-daun membeku, angin meronta, sunyi mengikuti. Pepohonan tumbang satu persatu, rapuh dimakan waktu. Bidadari-bidadari bisikkan lagi aku kata suci untuk menyulam rasa sepiku”.
Kegelisahan sepertinya merayap dalam dirinya, sambil mulut tak berhenti menyemburkan asap rokok, tinggal separoh isi bungkus baru dibeli tiga jam yang lalu.
Malam-malam selalu saja Ia lalui dengan sendiri dan duduk di pelataran rumah yang sepi. Saat itu adalah malam purnama indah. Ingatannya kembali menerawang jauh memandang bulan yang tampak berseri-seri.
“Mas udaranya dingin, masuklah ke rumah nanti tubuhmu sakit kena angin malam”, dari dalam keluar istrinya. Tidak biasa ini terjadi, karena istrinya selalu tidur ketika malam menghampiri sebab esoknya harus bangun pagi menyiapkan perbekalan untuk pergi ke sawah dan kebun.
“Lihatlah bulan begitu indah dan utuh untuk kita pandang malam ini kau masih ingat sepuluh tahun yang lalu saat kita masih belum resmi menjadi suami istri. Kau tunjukkan purnama sempurna seperti malam ini dan Kau berandai-andai: “Andai Aku bulan purnama maka Kau adalah buminya, kan kuterangi dengan kelembutan cahayaku hingga tak ada kegelapan yang menghampiri dalam langkahmu”.
Keduanya mulai mengenang masa lalu yang pernah mereka lewati dengan segalah kenangan.
“Aku masih ingat sekali, itu adalah kenangan silam, tentu saja aku tidak akan melupakan begitu saja. Kini kau milikku utuh, kita tidak berandai-andai lagi, impian kita sudah tercapai untuk hidup bersama dan bahagia”.
Hembusan angin meyentuh pori-pori mereka berdua, dingin membisikkan suasana menemani mereka, akan tetapi tak membuat mereka segera masuk rumah, dan diurungkan niatnya untuk masuk rumah. Dipandangi bulan yang terang dengan menerawang jauh tak berujung. Seakan-akan ada harapan yang hilang.
“ Yul, kamu masih ingat saat rumah ini masih ramai dengan penyair, untuk berdansa kata-kata setiap malam”.
Memorinya membuka kembali untuk mengingat-ingat apa yang pernah dilakukannya pada masa silam.
“Aku masih ingat, bahkan kau merayuku dengan bait-bait puisimu, membuat aku terharu. Aku masih ingat sekali apa yang kau tiupkan pada hatiku yang lama kering oleh rasa sayang, seperti ini bunyinya :
“Mawarku, Ijinkan aku menyirami air cintaku padamu, Disetiap waktu yang melaju, Dan menari dengan detik-detiknya. Mawarku, Mekarlah kau di kedalaman cintamu, Biar aroma dirimu membasuhi dahaga cinta, yang mulai mengering. Mawarku, biarlah aku merawatmu, hingga kau tumbuh sempurna, dalam bingkai cinta yang mekar dan beraroma.”(i)
“Berhari-hari aku gelisah dan rindu akan kenangan silam saat para penyair itu masih sering berkumpul dan yang paling tidak bisa terlupakan olehku adalah saat-saat kita membacakan sajak-sajak kritik terhadap penguasa saat itu”.
Malam semakin larut mereka berdua tidak juga meninggalkan pelataran rumah untuk meneduhkan diri dalam rumah dan memejamkan mata. Hanyutlah meraka pada kenangan silam yang membawa mereka mempertanyakan kondisi kawan-kawan mereka.
“Yul, kemanakah mereka sekarang, kawan-kawan kita. Tidak satupun mereka datang kemari walaupun hanya untuk mampir minum. Apakah mereka kini lupa pada tempat berlindung saat-saat diburuh oleh antek-antek penguasa saat itu”.
“Mas, sudah. Tidak perlu kau pertanyakan lagi mereka, yang penting adalah kita sudah bisa hidup berdua walaupun sampai sekarang kita belum juga mendapat keturunan, kita hidup tenang”
“Tidak begitu maksudku, Aku ingin seperti dulu lagi menyuarakan perlawanan lewat sajak-sajak kritik terhadap penguasa, apa kamu tidak lihat, sekarang banyak kekayaan bangsa dijual ke Negara lain dan tanpa kompensasi yang jelas terhadap bangsa kita, pendidikan mahal, upah pekerja yang tak seimbang, klaim-klaim kebenaran. Apakah harus diam dan tak bersuara, tidak sayang! Suara kita adalah sajak-sajak penyemangat bagi mereka yang berjuang untuk keadilan, sajak-sajak kita adalah suara protes, sajak-sajak kita adalah peluru yang menembus hati yang beku oleh kesombongan, ketamakan, ketidakadilan”.
“Kamu masih ingat sajak ini, yang penulisnya hilang karena korban politik di masa itu.”
“Seratus lobang kakus lebih berarti bagiku ketimbang mulut besarmu, Tak penting siapa yang menang nanti sudah bosen kami dengan model urip kayak gini, ngiseng bingung, hujan bocor, kami tidak butuh mantra jampi-jampi atau janji atau sekarung beras dari gudang kaum majikan tak bisa menghapus kemlaratan, belas kasihan dan derma baju bekas tak bisa menolong kami, kami tak percaya lagi pada itu partai politik, omongan kerja mereka tak bisa bikin perut kenyang, mengawang jauh dari kami punya persoalan, bubarkan saja itu komedi gombal, kami ingin tidur pulas, utang lunas, betul-betul merdeka, tidak tertekan, kami sudah bosan dengan modela urip kayak gini, tegasnya aku menuntut perubahan.” (ii)
“Aku masih ingat, bahwa kita menginginkan perubahan bukan hanya omong belaka.”
“Setelah malam kita membacakan sajak-sajak, besoknya turun kejalan melakukan demontrasi bersama-sama demi perubahan.”
“Itu tidak mungkin kita lakukan sekarang, Mas tahu sekarang banyak para penyair yang sudah memiliki tempat sendiri untuk menuangkan ide-idenya bahkan sudah ada yang memiliki yayasan yang disponsori dari orang asing ataupun dari pemerintah”
“Entahlah, kalau kita harus terus mengenang masa lalu kita semakin aku menjadi ingin tertawa akan gagasan mereka yang sebagian menjadi antek-antek yang mereka lawan dahulu”
“Apakah mereka tenang dengan kehidupan mereka sekarang, dengan apa yang mereka gunakan dan meraka dapatkan dari mengelabuhi bangsa sendiri dan makan apa yang tidak seharusnya mereka makan”
Dengan sedikit merenung “Aku kira mereka kalau masih punya hati nurani mereka pasti tidak tenang tapi kalau mereka tidak memiliki hati nurani tentu santai saja dan mungkin senang dapat menambah pemasukan yang lebih, aku menyebutnya mereka adalah binatang karena mereka tidak memiliki hati nurani dan prilakuknya tidak manusiawi lagi”
“Teryata lebih baik hidup kita ya mas!, walaupun kita kerja berat, harus tiap hari ke sawah untuk menanam padi atau jagung tapi semua itu hasil keringat kita sendiri, tentu saja halal”
“De’ ayo kita masuk, aku sudah tidak kuat menahan dingin malam ini, sepertinya roh sajak-sajak perjuangan menghantui kita dan ingin dihidupkan kembali, gelegar suara Wiji Thukul(iii) memanggil-manggil meminta untuk meneruskan perjuangannya”
Suasana menjadi semakin dingin dan membuat bulu kuduk mereka berdiri.
“Ya mas, lebih baik kita memikirkan esok harus menjual kemana hasil panen kita”.
Kedua penyair yang menjadi pasangan itu masuk ke dalam dan siap-siap untuk tidur ditemani sunyi suara mereka yang mulai lenyap, layaknya suara kritis yang pernah terdengar di tempat itu. Sembunyi di balik gedung-gedung megah dan kursi-kursi keropos tempat pendewaan kekayaan dan kekuasaan.
Malang, Desember 2007
i. Diambil dari Antologi Puisi Berharap di Senja Hari dengan Judul Mawarku Karya Denny Misharudin. Fastcho Press, Malang 2007
ii. Di ambil dari Kumpulan Puisi Aku ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul, Indonesiatera, Magelang 2004
iii. Salah satu penyair yang menjadi korban penghilangan atau penculikan pada masa pemerintahan orde baru, yang sampai sekarang belum juga diketahui.