POTRET SOSIAL MASYARAKAT BETAWI

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Cerpen-cerpen SM Ardan sebagian besar cenderung mengangkat persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Betawi; masyarakat yang memang sangat dikenalnya benar. Di sana, Ardan seolah-olah memotret apa saja yang dilihatnya. Maka, apapun yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Betawi, sangat mungkin telah menjadi tema cerpen-cerpennya. Terkesan kuat, ia sekadar hendak mewartakan secara apa adanya segala yang terjadi atau yang menjadi kegelisahannya. Oleh karena itu, tema cerita dalam cerpen-cerpennya begitu beragam. Ada yang bercerita tentang pesta yang dilakukan masyarakat, dolanan anak-anak, pengemis, keinginan seseorang naik haji, antrean di rumah sakit atau persoalan keseharian yang remeh-temeh. Pokoknya, apapun yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat Betawi, di tangannya segala peristiwa itu bisa menjadi cerpen.

Barangkali karena Ardan tidak terpaku pada satu tema tertentu, maka kesan kuat yang terasa ketika membaca cerpen-cerpennya adalah kebersahajaannya mengangkat cerita. Tidak tampak adanya keinginan untuk memasukkan filsafat atau pemikiran yang rumit dalam ceritanya. Boleh jadi karena kebersahajaannya itu, pesan yang diselusupkan ke dalam cerita jadi begitu tersembunyi. Ia menyampaikan ajaran moral secara implisit, baik melalui lakuan dan dialog antartokoh, maupun peristiwa yang dilukiskannya.

Guna mendukung kebersahajaannya itu pula, maka tokoh-tokoh yang ditampilkan pun bisa siapa saja; rakyat kecil, anak-anak, ibu rumah tangga, bahkan juga pejabat. Yang penting, ia dapat mengungkapkan peristiwa apa saja tanpa harus terikat pada tokoh atau tema tertentu. Ia sekadar hendak menampilkan kegelisahan masyarakat Betawi dengan problem sosial-budayanya yang kadangkala cukup kompleks, kadang pula begitu naif.

Hal lain yang cukup menonjol adalah gaya bertuturnya yang ringan, dengan tema yang juga ringan. Itulah sebabnya, Ajip Rosidi menyebut cerpen-cerpen Ardan cenderung sebagai sketsa. Dilihat dari sudut ini, memang cerpen-cerpen Ardan lebih dekat kepada bentuk sketsa dengan tema ringan dan cara bertuturnya yang juga ringan.

***

Dalam tradisi sastra Betawi, bentuk sketsa sudah dikenal sejak bermunculan surat kabar atau majalah berbahasa Betawi atau berbahasa Melayu pasar menjelang pergantian abad ke-19. Dalam majalah atau surat-surat kabar itu, ada satu rubrik yang namanya bisa macam-macam. Ada rubrik Pojok, Buah Tutur, Langgam Betawi atau nama yang diambil dari nama tokoh yang ditampilkannya.

Rubrik seperti itu dimaksudkan sebagai selingan. Oleh karena itu, masalah yang diangkatnya lebih banyak menyangkut peristiwa yang ringan dan biasanya berisi sindiran atau kritik atas berbagai persoalan yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Sindiran atau kritikannya itu terkesan seperti disampaikan sambil lalu atau dalam bentuk dialog ringan dengan nada bercanda, jenaka dan humoris. Sedangkan sasaran kritikannya bisa ditujukan kepada siapa saja, mulai dari pejabat tinggi pemerintah sampai kepada rakyat kecil. Kebanyakan peristiwa yang ditampilkannya bersifat aktual, kontemporer, sezaman atau yang sedang menjadi sorotan masyarakat. Dengan cara begitu, pembaca seperti diingatkan, ditegur, disindir, atau diajak untuk melakukan introspeksi. Tjalie Robinson, Kwee Kek Beng, Firman Muntaco ?termasuk SM Ardan sendiri?adalah penulis sketsa yang bagi masyarakat Betawi, namanya sudah tidak asing lagi.

Untuk melihat bagaimana cerpen Ardan lebih dekat pada bentuk sketsa, mari kita cermati cerpennya yang berjudul ?Pawai di Bawah Bulan.? Cerpen ini pertama kali muncul di majalah Kisah, 1, 3, 1955. Bahwa HB Jassin yang menjadi Pemimpin Redaksi majalah itu memuat cerpen Ardan, tentu saja dengan pertimbangan kualitas karya yang bersangkutan. Bersama cerpen lainnya, cerpen ini kemudian dimasukkan dalam antologi Terang Bulan Terang Dikali (Jakarta: Gunung Agung, 1955).

***

Mengapa Ardan memilih judul cerpennya itu, ?Pawai di Bawah Bulan? padahal latar waktu peristiwa yang digambarkan dalam cerpen itu terjadi waktu pagi sampai siang hari bolong? Dari sini saja Ardan sudah mengungkapkan sebuah paradoks: kegetiran yang dikontraskan dengan kemeriahan (pawai). Sesungguhnya, bisa saja ia memberi judul cerpen itu ?Antre di Siang Hari? atau ?Antrean di Rumah Sakit?. Jika judulnya itu atau yang sejenis itu, pembaca tentu saja tidak lagi dibuat penasaran, sebab sudah diberi sinyal bahwa cerpen itu akan mengungkapkan peristiwa antre di siang hari. Namun, dengan judul ?Pawai di Bawah Bulan? kesan menyindir dengan paradoks menjadi sangat kuat. Bagaimana orang antre untuk berobat seperti orang sedang berpawai malam hari. Peristiwa antrean yang begitu panjang dan melelahkan itu seolah-olah hendak dibungkus oleh peristiwa pawai yang meriah, penuh sorak-sorai kegembiraan.

Peristiwa yang diceritakan Ardan sebenarnya sama sekali tidak luar biasa. Hal apa yang menarik untuk diceritakan dari peristiwa antrean panjang orang yang mau berobat? Sangat mungkin pada masa itu, antrean seperti itu sudah sangat biasa terjadi di mana-mana. Dari peristiwa yang biasa itu, Ardan justru melihat sesuatu yang tak lazim. Tidak hanya itu, ia juga memasukkan kritik sosialnya terhadap ulah oknum yang memanfaatkan kesengsaraan orang lain untuk kepentingan pribadi. Dalam hal itulah kita dapat melihat, bagaimana kepekaan seorang sastrawan dalam mencermati kehidupan di persekitarannya. Bagaimana pula ia mengangkat peristiwa yang biasa dan sepertinya tak penting menjadi luar biasa yang dapat menggugah rasa kemanusiaan pembacanya.

Seperti sudah menjadi fitrah manusia ketika menghadapi kesengsaraan atau penderitaan, selalu saja muncul karakter manusia yang hakiki, sifat-sifat manusia yang paling mendasar yang menyangkut kebaikan dan keburukan: solidaritas sosial, toleransi, tolong-menolong dan sifat baik lainnya. Atau sifat-sifat egois, keserakahan, kemunafikan, dan entah apa lagi dari tabiat buruk manusia. Jadi, dari peristiwa antrean itu saja berbagai macam sifat manusia bisa muncul begitu saja.

Secara ringkas, cerpen ini dimulai dengan kalimat: ?Akhirnya Tinah membawa anaknya ke rumah sakit.? Kalimat pendek ini, sesungguhnya mengisyaratkan banyak hal: penderitaan, keterpaksaan, kemiskinan, kegelisahan. Alinea berikutnya menggambarkan antrean yang panjang (?Dan ketika pintu dibuka barisan sudah mencapai tepi jalan raya?). Jadi, orang-orang justru sudah ikut antre sejak pagi-pagi sekali. Dalam antrean yang panjang itu, barisan merangkak maju.

Bagian ini saja sudah mengisyaratkan kritik sosial: bagaimana orang mau berobat harus antre sedemikian panjang. Pasti ada sesuatu yang tak beres. Penjaga atau dokternya yang datang terlambat atau dokter (dan pemerintah) yang tidak pernah mendahulukan kepentingan masyarakat. Kasus semacam ini, tentu saja dapat kita jumpai dengan mudah ketika masyarakat menjalankan haknya di perusahaan publik. Namanya saja perusahaan negara, tetapi sama sekali tak pernah memberi pelayanan yang baik untuk mendahulukan kepentingan masyarakat.

Adanya serangkaian dialog di antara mereka yang sedang antre itu, makin menegaskan status sosialnya: rakyat kecil! Dan Ardan secara konsisten menggunakan dialek Betawi dalam dialog antartokohnya. Maka terungkaplah, betapa hidup sebagai orang kecil selalu harus berjuang keras, agar ia tetap dapat mempertahankan kehidupan keluarganya dengan cara apapun. Dalam kondisi seperti itu, mereka tokh masih tetap juga punya rasa solider, masih ada kepedulian sosial di antara mereka. Perhatikan kutipan berikut ini yang memperlihatkan hal tersebut:

Seorang di belakangnya menanya pada Tinah:

?Mpok orang baru??

?Baru pegimane??

?Iye, baru sekali eni datang??

?.

?Kalu gitu nganterinya di sono. Anterian atu lagi. Di depan.?

?Di depan nyang mane??

?Masup aje ke dalem. Tanya kek ame nyang jage. Orang baru sih enak. Kagak panjang anteriannye.?

?Bayarnye berape, pok??

?Same juga dua perak. Gi deh cepetan!?

?Mekasih pok, dibilangin.?

Begitulah, di tengah kesengsaraan harus antre, masih ada di antara mereka yang memberitahukan Tinah agar ia jangan salah mengantre.

Yang menarik dari dialog itu adalah munculnya berbagai bentuk ujaran yang khas mencerminkan logat Betawi. Dari kutipan di atas saja, kita dapat dengan mudah menemukan sejumlah kosa kata tersebut, seperti pegimane (bagaimana), eni (ini), belon (belum), ade (ada), di sono (di sana), atu (satu), nyang (yang), masup aje (masuk saja), Gi deh cepetan (pergilah segera), atau Mekasih pok, dibilangin (terima kasih, Pok, diberi tahu). Dalam hal itu, jelas bahwa Ardan memang sangat akrab dengan dunia Betawi. Jadi, dialog itu makin memperkuat pelukisan bagaimana orang Betawi berkomunikasi; begitu cair, lugas tak berjarak, polos tanpa basa-basi, dan egaliter.

Panggilan Pok ?empok? (?kakak?; panggilan untuk perempuan yang sebaya atau yang lebih tua) dan Bang ?abang? (kakak; panggilan untuk laki-laki yang sebaya atau yang lebih tua) menunjukkan bahwa kata sapaan lebih ditentukan oleh faktor usia dan bukan status sosial. Kata sapaan itu juga mencerminkan keakraban orang Betawi dalam menghadapi siapa pun, meskipun ia tidak mengenal, siapa dan dari suku mana orang yang disapanya itu. Ciri egaliterian itu juga tampak dari bentuk kata sapaan seperti nyak (ibu) atau babeh (bapak) yang condong didasarkan pada faktor usia dan bukan atas dasar status sosial atau kedudukannya dalam kehidupan kemasyarakatan.

Dalam peristiwa berikutnya, ketika ada seorang pemuda yang tidak mau antre, kata sapaan yang digunakan untuk pemuda itu, tidak menggunakan Bang, melainkan Tuan dan Saudara. Dengan begitu, ketika seseorang memperlihatkan perilaku buruk, kata sapaan yang digunakan justru sengaja dibuat berjarak. Dalam kata sapaan Tuan dan Saudara itu, tersimpan kesan tak suka, tak bersahabat. Kutipan tadi sesungguhnya mengungkapkan banyak hal tentang kultur dan kondisi sosial masyarakat Betawi. Dan Ardan dengan kesederhanaannya itu berhasil menyajikan potret Betawi dengan cukup meyakinkan.

Di balik serangkaian dialog yang tampak begitu bersahaja itu, tersimpan pula kritik sosial yang juga merepresentasikan keadaan masa itu. Perhatikan lagi kutipan berikut ini.

?Kok beli karcisnye dari samping, pok??

Yang ditanya terkejut sebentar, lalu berkata pelan:

?Nyogok!?

Tinah tidak mengerti, dia memandang aneh. Orang itu menam?bahkan:

?Kasi aje susternye seperak. Beres deh!?

Menyuap (nyogok) dengan uang satu rupiah, bagi orang kecil seperti tokoh Tinah, selain belum terbiasa, juga harus berhitung dua kali dahulu, antara tetap mengantre meski harus menerima panas dan haus atau melepaskan uang yang sesungguhnya bisa untuk membeli sayuran. Tinah ternyata memilih tetap mengantre. Uang satu rupiah baginya masih sangat berharga. Di pihak lain, ketika orang diguyur kepanasan, suster malah memanfaatkan situasi itu untuk kepentingannya sendiri.

Pelukisan peristiwa itu ?yang terjadi tahun 1950-an?ternyata sekarang ini telah menjadi pemandangan yang sangat biasa. Di mana-mana ?terutama dalam berbagai perusahaan publik?suap-menyuap dianggap telah menjadi bagian dari tugas para pegawainya. Jadi, meski peristiwa yang diangkat Ardan itu sudah terjadi lebih setengah abad lalu, ternyata kini kebusukan itu telah menjadi budaya aparat birokrasi di semua lapisan. Dengan begitu, konteks kritik sosial yang disampaikan Ardan ternyata masih terasa aktual dan relevan dengan kondisi yang terjadi sekarang di negeri ini.

Selain dialog yang berhasil memberi lukisan bagaimana orang-orang Betawi berinteraksi dan berkomunikasi, kekuatan cerpen ini juga terletak pada kemampuan Ardan mendeskripsikan suasana peristiwa. Cermati saja kutipan berikut ini.

Seorang perempuan agak di muka Tinah ke luar dari barisan. Dia menurunkan anaknya dari barisan. Kain pengaisnya ternyata penuh tai. Orang-orang menutup hidungnya sambil mencari-cari sumber?nya yang menyebabkan mereka sedikit harus mena???han napas. Sesudah tersua lalu mereka menjauhi sum?ber itu, meninggalkan perempuan tadi yang sedang menguruki tai anaknya dengan debu tanah.

Meskipun terkesan dalam peristiwa itu ada nada lucu: ?Kain pengaisnya ternyata penuh tai. Orang-orang menutup hidungnya sambil mencari-cari sumber?nya yang menyebabkan mereka sedikit harus mena???han napas,? kita sesungguhnya dibuat prihatin, betapa dalam keadaan kepanasan dan kehausan, para pengantre itu terpaksa pula harus menerima bau tak sedap dari seorang anak yang tak dapat menahan mencretnya. Sebuah pemandangan yang sering kita jumpai dalam berbagai peristiwa sejenis itu.

Yang juga menarik dari pelukisan itu adalah kelugasan Ardan dalam menyuguhkan peristiwa itu seperti tanpa beban. Kata tai dalam kalimat: Kain pengaisnya ternyata penuh tai, agaknya sengaja tidak diganti dengan kata kotoran atau tinja. Begitupun dalam melukiskan perbuatan si ibu yang: sedang menguruki tai anaknya dengan debu tanah, memberi kesan ketidakpedulian perempuan itu terhadap keadaan di sekitarnya. Pilihan kata itu tentunya bukan tanpa maksud. Ardan sengaja menggambarkan peristiwa itu seperti adanya. Dengan begitu, kesan sebagai potret sosial justru menjadi lebih kuat.

Dalam suasana yang tidak nyaman itu, Ardan kembali menyelipkan kritik sosialnya atas perilaku manusia yang sombong, egois dan cuma memikirkan kepentingan sendiri.

Seorang pemuda gagah datang langsung kemuka loket dan menyo?dorkan kertas. Orang-orang dalam barisan terpukau sebentar. Tapi lagi suara di belakang Tinah:

?Anteri bung, ah!?

?Diri di tempat panas emang kagak enak, Tuan.?

?Anteri dong, kesian nyang laen nih.?

Pemuda gagah memandang angkuh ke arah barisan:

?Mau apa??

Tak bersambut.

?Berani lagi buka mulut aku hantam.?

Begitulah, dalam peristiwa sederhana seperti itu, Ardan ternyata telah berhasil begitu banyak mengungkap bermacam-macam karakter manusia. Dalam hal itulah, kritk sosial yang disampaikannya jadi terasa lebih mengena, tanpa harus memberi dogma atau ajaran tertentu sacara eksplisit.

Di akhir cerita, Tinah digambarkan sebagai berikut:

Tinah beberapa langkah lagi keloket. Dia yang tidak banyak bicara semakin mengunci mulutnya. Anaknya yang terbangun karena keriuhan barusan ditetekinya. Namun menggelisah juga karena terik matari. Seperti Tinah yang mencoba melawan panas dengan berdiam diri. Seperti barisan yang menghilangkan terik dengan berdiri teratur dan tertib.

?Anak gue jelek-jelek gak aleman.?

Gambaran mengenai Tinah, barangkali merupakan representasi sosok seorang ibu Betawi; sabar meski keadaan menyiksanya, tidak acuh pada keadaan sekelilingnya, sebab ia lebih mementingkan anaknya daripada rasa malunya sendiri, pasrah mengalir mengikut apa pun yang terjadi, dan bangga pada anaknya sendiri: Anak gue jelek-jelek gak aleman. Satu sikap untuk menghadapi kehidupan ini tanpa keluh-kesah dan kemanjaan.

***

Begitulah, cerpen ?Pawai di Bawah Bulan? dengan berbagai kebersahajaannya ternyata mengungkapkan banyak hal: berbagai macam karakter manusia, kritik sosial dan semacam potret kultural masyarakat Betawi. Dalam kondisi langkanya cerpen-cerpen seperti itu, sosok kesastrawanan Ardan sesungguhnya masih tetap diperlukan. Tentu saja kita percaya, kontribusinya masih sangat penting bagi usaha memperkaya khazanah keberagaman tema dan estetika cerpen Indonesia modern. Jadi, sungguh sayang jika Ardan menghentikan kepiawaiannya sebagai sosok cerpenis Betawi yang andal.

Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *