Puisi-Puisi Saut Poltak Tambunan

http://www.suarakarya-online.com/
Terlanjur Aku Mengagumimu

Terlanjur siang saat aku sadar kau bukan lautku,
sia-sia saja aku menyelam
sebab padamu tidak kutemukan kedalaman. Engkau bukan sungai,
sia-sia aku arungi engkau
sebab padamu tidak jua kutemukan arus dan jeram.
Mungkin engkau telaga,
tetapi tak jua aku bisa bercermin
sebab padamu tidak kutemukan kebeningan. Engkau cuma
genangan dangkal berlumpur.
Padamu hanya ada buih dan riak
yang gelisah manakala badai tiba.Aku kecewa.

SPT, Mei 2009

Sarimin

Sarimin tidak habis pikir
mengapa pecut masih saja mengoyak
tengkuknya meski kesetiaan
telah ia lakoni sepanjang peradaban, mengapa nasibnya
harus tergantung
pada iseng belaka orang di kota.Ia pun pergi ke pasar
rasa lapar telah lama digelar
menjadi luka menganga
dan kejujuran – kesetiaan
hanyalah keterpaksaan. Sarimin berteriak tawarkan
jantungnya.
Jajakan hatinya.
Tetapi pasar pecah berubah rusuh.
Sarimin terhimpit terinjak
oleh berbagai unjuk rasa.
Entah rasa apa,
sebab poster dan spanduk yang diarak
sudah kabur oleh darah ludah
serta serapah nista
dari lidah yang bercabang-beranting.
Aroma dendam dan dengki
dikelangitkan menjadi satu. Sarimin terseret
makin jauh masuk kota.
Ia menyaksikan orang-orang heboh
memburu tikus-tikus buron ke belantara hukum.
Tunas-tunas muda gagah berani
berteriak sungsang melintang
di perempatan hukum sambil
ramai-ramai kangkangi rambu. Semakin bingung, Sarimin
nyasar ke plaza. Di sini orang masih saja
ingin membeli kendati tak ada lagi
yang mau menjual. Cobalah bersabar, kata Sarimin
berdamai dengan diri sendiri,
masih ada sisa doa yang belum pecah
terinjak di pasar.
Tetapi siapa percaya doa bukan serapah?
Siapa percaya kebajikan
bukan akal bulus belaka? Sarimin nelangsa.
Sepotong mimpinya telah menjadi santapan
lezat para pakar di televisi.
Keadilan tinggal sebatas bahan
seminar orang-orang gardu muka
yang semalaman tidak tidur
merancang surat kaleng.
Cuaca pada kaca buram berembun
hanya menyuguhkan wajah
tak bermuka kendati masih berdasi. Sarimin
minggat ke kuburan.
Ingin muntah di atas kubur tuan lama
yang kini diziarahi bagai pahlawan sejati
meski semasa hidup
belakangan tak lagi punya nyali bertemu Sarimin.
Sebab nafas dan kentutnya merusak ozon.
Jazadnya pun meracuni tanah hingga cacing dan belatung pun
tak sudi menyentuhnya.Sarimin menangis. Ia pergi ke pergi.

Bandar Lampung, 1996

Lalat di Kopiku:
Untuk KJ

Sepasang pahanya langsing
berdesah menyeduh gula di kopi soreku.
Nikmat mendorong mata bolanya makin keluar.
Kujentik dengan jariku,
balas digigit dengan kemarahan penuh. Kuminta pergi,
berbalik melotot
sambil menutup bokong
dengan sayap melorot basah
(aku pikir ini pasti betina):
“Berdiri kita sama tinggi
duduk sama rendah!”astaga, aku ingat
debat kusir di pansus.” Aku marah,
kutenggak saja hingga ampasnya.(dan pahanya yang berbulu
menggelinjang di ujung lidahku)

Sahabat di Badai:

untuk sahabat dari gang Anyerkerling lampu kedai setepian
danau Tobakian bergambar siluet dermagaah, sisa sedikit jarak
yang harus kita kayuh galau mengapa badai masih saja meng
geluncangdalam hujan sesorean akhirnya kau ada di depankuma
buk kita dalam rindu nostalgiahanya diam sesekali tersedak
senduaku baca binar matamu mozaik peristiwa dalam tawage
tarnya di ruang-ruang kepalaku: andai bisa, sesakmu labuhkan
padaku Sahabatku,Tuhan sungguh menjagamu.

SPT, Jkt, 14 Jan 2010

Desember 2009 deret ukurhari-hari berlari dan aku hanya deret hitung
menggembalakan kejalangan dan keliaranku di ladang-ladang-Mu
*ampuni aku jika sampai akhir tahun ini
tak sempat aku berbenah menyambut-Mu

SPT, 2009

Ingkar

Ilalang membakung
Gunung hilang akarLelangit runtuh

SPT, 29 Nov 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *