Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=486
Basoeki Abdullah lahir di Surakarta, Jawa Tengah 25 Januari 1915 ? meninggal 5 November 1993. Maestro seni lukis naturalis-realis Indonesia. Pelukis resmi Istana Merdeka, karya-karyanya menghiasi ruang kepresidenan dan dikoleksi diberbagai penjuru dunia. Bakat dari sang ayah Abdullah Suryosubro, pelukis juga penari. Kakeknya tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional 1900-an, Doktor Wahidin Sudirohusodo. Sejak usia 4 tahun gemar melukis tokoh: Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus, Krishnamurti. Pendidikan formal di HIS serta Mulo Katolik, Solo. Atas Pastur Koch SJ, tahun 1933 memperoleh beasiswa ke Academie Voor Beeldende Kunsten, Den Haag, Belanda. Diselesaikan 3 tahun, meraih Sertifikat Royal International of Art (RIA). Masa Pemerintahan Jepang, bergabung Gerakan Poetra, dibentuk 19 Maret 1943, bertugas mengajar lukis. Muridnya: Kusnadi (pelukis, kritikus seni rupa), Zaini (pelukis impresionis). Aktif di Keimin Bunka Sidhosjo (Pusat Kebudayaan pemerintah Jepang) bersama Affandi, S. Sudjoyono, Otto Djaya, Basoeki Resobawo. Masa revolusi tidak di Tanah Air, belum jelas yang melatarbelakangi. 6 September 1948 di New York Amsterdam, sewaktu penobatan Ratu Yuliana, diadakan sayembara melukis dan mengalahkan 87 pelukis Eropa, sejak itu dunia mengenalnya. Selama di Belanda berkeliling Eropa memperdalam lukis, menjelajahi Italia, Perancis. Terkenal pelukis potret, melukis wanita-wanita keluarga kerajaan yang cenderung memperindah tubuhnya. Melukis pemandangan fauna, flora, tema perjuangan pun lainnya. Banyak pameran tunggal dalam negeri pula di luar: Thailand, Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Portugal. Lebih kurang 22 negara memiliki karyanya. Sebagian hidupnya di luar negeri, sejak 1974 menetap di Jakarta. Pandai menari dengan tarian wayang orang sebagai Rahwana atau Hanoman. Penggemar komponis Franz Schubert, Beethoven, maka seninya tidak Jawasentris. Menikah empat kali. Istri pertama Yoshepin (orang Belanda, berpisah, anaknya bernama Saraswati). Menikahi Maya Michel (berpisah), So Mwang Noi (bepisah). Terakhir Nataya Narerat sampai akhir hayat dan punya anak Cicilia Sidhawati. Pelukis meninggal sebab terbunuh perampok di kediamannya, dimakamkan di Mlati, Sleman, Yogyakarta. {ringkasan dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Basuki_Abdullah }
***
Hidup serba cukup ditopang keturunan ningrat, berfikir menjalani realis hayati tentulah mudah. Lalu terpantul kemewah perasaan natural, jiwanya melangkah indah.
Usapan angin hari-hari senantiasa harumkan nalarnya sepenuh gairah buaian. Namun demikian jikalau tidak didukung tempaan, akan berwatak manja tiada terarah.
Diluruskan bathin kanak pada bencah realitas atas buku-buku terbaca. Cerita-cerita rakyat menaungi imajinasi bakat seninya.
Darah juang kakek menebali ruhani patriotik jiwanya. Meski sejak belia berkenalan akrab wajah-wajah tokoh dunia yang digambarnya.
Sketsa itu mematangkan lukisannya. Keahlian menari menghidupkan jemarinya, memainkan pelbagai teknik menyapu kuas dengan leluasa.
Setaburkan bintik-bintik hujan, menumbuhkan daun-daun di kejauhan. Lantas diikatnya berbayang-bayang wewarna buram.
Pun kebiasaan memainkan Drama Wayang Orang, menghasilkan gegambar dilukisannya benar-benar dramatik.
Sapuan berulang penanda hidup tiada jemu. Tapi tak sabaran jua, tampak di latar garapannya menyiratkan hasrat terpendam.
Ialah menafaskan gelap terang melodi lukisan. Kegelisahan pribadinya bukan kebendaan atau kurangnya perhatian, namun ingin dapati lebih.
Nalurinya dituntun hembusan bayu mengikuti bayangan setinggi mimpi, yang kerap ganggu tidur panjangnya.
Setiap terjaga bergegas mengguratkan kuas atau membaca buku, sambil mencecap madu renungan.
Bathinnya menjelajah, bola matanya ikuti alur kalimah. Muncullah lelintasan lalu cepat-cepat melukis di kanvas, diawali meneguhkan niat.
Perasaan hati ringan selepas emosi digenggaman, pelan-pelan memainkan jemarinya nan gemulai.
Seringkali tatapannya dimaju mundurkan, miring pula menyamping. Demi mendapati komposisi seimbang yang bergelagat dalam diri.
Perbaharui wewarna segar berkarakter. Menimbang rasa memantulkan logika kepada yang terpampang waktu-waktu di depan.
Dirinya ingin selalu terpandang purna, meski pada sapuan-sapuan kuas keragu-raguannya.
Ketergantungan cat warna putih di setiap balutan ekspresi, menunjukkan pribadinya lembut sentausa.
Ketabahan menjalani nasib, dilayarkan nuanse dramatik peperangan berkendara kuda. Ujung-ujung tombak tajam, datangnya singa-singa jantan.
Menyayat daging, koyak tulang-belulang, darah muncrat berhamburan. Suasana kebakaran juga perkelahian binatang.
Di samping menuangkan harmoni kuda-kuda berpasangan ke padang-padang rerumputan.
Kala melukis tubuh-tubuh wanita, bergayuh jiwa terdukung ketampanan sifat-sifat kelelakiannya.
Jikalau dipandang sekilas tampak dingin semata. Tapi tatkala diamati detail, adanya nafas-nafas hidup abadi. Serupa puisi sempurna penggarapannya, tiada lekang masa-masa.
Di sanalah sudut karya seni dinilai. Bahan tidak berkurang digali terus tambah diperbincangkan.
Dan ketika melukis tokoh-tokoh pahlawan pun negarawan. Diselusupkan keningratan dirinya atas renungan agung tak terbantah, mematrikan warna sapuan kuasnya.