Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Keberpihakan menafikan netralitas. Ia muncul lantaran ada kepentingan subjektif. Dalam hal ini, objektivitas menjadi tidak lagi penting. Mengingat keberpihakan dilatarbelakangi kepentingan subjektif, maka pencapaian tujuan yang melatardepaninya. Di sini, segala cara cenderung menjadi sah, sejauh target dapat diraih.
Dalam permainan sepak bola, mencetak gol adalah target guna mencapai kemenangan. Dalam permainan olahraga apa pun, kemenangan adalah tujuan. Tetapi, untuk mencapai tujuan itu, ada dasar dan aturan main yang mesti dijunjung tinggi semua pihak yang terlibat, yaitu sportivitas dan fair play. Jika dasar dan aturan diabaikan, permainan itu menjadi sebuah tontonan anarkis; memuakkan! Kemenangan yang diraih secara anarkis adalah kemenangan yang penuh cacat. Ia sama sekali tidak mendidik satu moralitas yang luhur.
***
PERMAINAN apa yang kini sedang aktual? Piala Eropa! Sebuah pesta yang melagakan kekuatan sepak bola negara- negara di Eropa. Kita dapat berpihak pada salah satu peserta pesta itu, namun dengan tetap bersikap netral, karena kita sama sekali tak terlibat dalam permainan itu. Kepentingan subjektif yang melatarbelakangi keberpihakan kita, masih tetap objektif lantaran kita tidak melakukan intervensi dan rekayasa. Kita tetap terpaku, selaku pengamat atau penonton, tanpa melibatkan diri dalam kancah permainannya. Kita hanya penonton an sich, lain tidak. Keberpihakan kita sebatas menyangkut simpati pada favorit.
Di persada negeri ini pun, kini, ada permainan yang tak kalah menariknya. Bahkan, marak sebelum pesta Piala Eropa digelar. Permainan apakah gerangan? Piala Liga Indonesia? Sama sekali tak menarik karena sportivitas dan fair play sering kali dicampakkan. Lalu permainan apalagi? Sebuah drama yang dimainkan para anggota gurem berlambang kepala banteng! Kemelut melanda Partai Demokrasi Indonesia yang justru saat kedua mitranya, PPP dan Golkar, sedang bergiat menyongsong pesta akbar lima tahunan! Jika itu dapat dikatakan sebuah permainan, maka yang berlaga kali ini adalah Fatimah Achmad vs Megawati Soekarnoputri. Aneh sungguh, satu keluarga membentuk dua kubu dan yang satu ngotot berseteru!
Apa pasalnya, bagi kita, penonton, duduk soalnya tak penting benar. Kita Cuma dapat melihat, bahwa permainan itu justru memunculkan begitu banyak manusia yang terlibat dan melibatkan diri dengan latar belakang kepentingannya masing- masing.
Sebuah urusan internal yang ?dicurigai? kelak, bakal mengimbaskan pengaruhnya pada pribadi- pribadi tertentu, berbagai pihak jadi perlu untuk terlibat, langsung atau tidak. Pelibatan diri pihak eksternal dalam urusan internal dapat saja lalu bertindak sebagai mediator, arbiter atau penengah, sebatas ia diminta dan disetujui kedua belah pihak yang bertikai. Tetapi, jika yang meminta hanya salah satu pihak, maka netralitasnya perlu diragukan. Jelas, urusannya menyangkut keberpihakan. Ia menafikan netralitas karena kepentingan subjektif yang melatarbelakanginya.
Jika diakui bahwa kemelut PDI adalah masalah internal, belum perlu kiranya pihak ketiga bersusah payah menawarkan jasa. Biarkanlah dahulu mereka menyelesaikan urusannya sendiri. Jika memang sudah ada permintaan dari kedua belah pihak untuk menjadi arbiter, bolehlah pihak ketiga terlibat atau melibatkan diri. Masalahnya menyangkut otoritas dan kemandirian.
Pelibatan pihak ketiga dalam urusan internal, sesungguhnya berarti meragukan otoritas para petikai. Dengan demikian, kemandiriannya juga diragukan. Makin ngotot untuk terlibat dan melibatkan diri, makin jelas ada kepentingan subjektif di dalamnya. Hal itu juga mengisyaratkan bahwa ada tujuan tertentu yang melatardepaninya. Dengan begitu, kita, penonton patutlah menyangsikan netralitasnya. Tawaran jasa dari pihak tertentu, niscaya berangkat dari sikap keberpihakan.
***
MASALAHNYA makin runyam dan makin tidak lucu manakala pihak pers mengangkat pemberitaannya dengan nada sarat keberpihakan. Ada salah satu media elektronik yang pemberitaannya bersumber pada satu kubu belaka. Bahkan, tokoh- tokoh yang diwawancarainya juga berasal dari satu kubu itu saja. Cara yang sama juga dilakukan oleh salah satu surat kabar Ibu Kota. Bagaimana mungkin pers yang konon menjunjung tinggi netralitas; objektivitas dan kejujuran dalam mengangkat fakta, dapat terjerumus pada semacam obral vulgarisme; sama sekali tidak menunjukkan netralitasnya. Apakah pers yang konon semata- mata berpihak pada kejujuran, keadilan dan kebenaran, sudah berubah orientasi dan lebih berpihak pada vested interest.
PERMAINAN belum usai. Tujuan belum tercapai. Kita, penonton masih saja terus disuguhi serangkaian pertunjukan dagelan yang malah membuat ketawa kita jadi buntu. Bagaimana hasilnya, penonton niscaya tak peduli, karena tak punya kepentingan apa pun. Rekayasa apalagi, kita tunggu saja!
Cuma satu hal yang barangkali, luput dipertimbangkan, bahwa rekayasa yang tak berkorban dan atas nama segala perbaikan tentu mendatangkan simpati dan rasa hormat. Sebaliknya, rekayasa gonjang- ganjing yang menghalalkan segala cara dengan korban yang tak diberdayakan, di mana pun dan dalam bentuk apa pun, selalu memagneti simpati bagi korban dan mengalirkan antipati pada Sang Sutradara.
Siapa korban dan siapa Sang Sutradara, bukanlah soal. Namun, begitu rekayasa merajalela, begitu keberpihakan muncul di mana- mana, saaat itu pula ketakpercayaan mencapai puncak, menjalar dan menyebar macam wabah. Benarlah kata orang bijak, dunia laksana panggung sandiwara. Cuma dia lupa, masih banyak di antara kita yang masih harus belajar dari seorang David Copperfield. Nah!
Kompas, Jumat, 21 Juni 1996.
Artikel ini dimuat Harian Kompas, Jumat, 21 Juni 1996, sehari menjelang Kongres Luar Biasa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Medan, 23 Juni 1996. Setelah Kongres itu, PDI terbelah menjadi PDI Megawati dan PDI Suryadi. Megawati Sukarnoputri kemudian membentuk partai baru yang bernama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang terus bertahan sampai sekarang.