Cahyo Junaedy
http://www.ruangbaca.com/
Koleksi naskah kuno Pakualaman dibukukan. Sebuah upaya mendokumentasikan masa lalu melalui aksara.
Ruangan itu kusam. Lampu neon yang menjadi pelita utama di ruang berukuran 3 x 4 meter pun sudah temaram. Penglihatan sedikit tertolong lantaran cahaya mentari yang menerobos masuk melalui kisi-kisi jendela. Di dalam, hampir seluruh permukaan dinding tertutup rak-rak buku sederhana. Tingginya seukuran orang dewasa. Dalam perut rak, berjajar ratusan buku beragam jenis dan ukuran.
Kondisinya sekusam ruangan. Debu dan sunyi memang telah lama menjadi sahabat di sana. Tak aneh hanya segelintir orang yang mau menjejakkan kakinya di ruangan ini. Selain kondisi ruang yang tidak menarik, hampir semau koleksi buku yang tersimpan berbahasa Jawa. Sebagian lainnya malah mematahkan semangat baca karena berbahasa Belanda.
Berada di dalamnya, waktu seakan beku. Satu-satunya makhluk hidup di ruang itu adalah sosok lelaki tua yang duduk tepat di depan pintu. Dengan kacamata setebal dasar botol, berpakaian tradisional Jawa lengkap dengan blangkonnya, ia duduk tenang. Tugasnya satu, mendata tamu dan menjaga koleksi buku. Buku tamu yang tergeletak di hadapannya pun tak jauh berbeda, kusam. Mungkin ini menunjukkan usia buku yang setua pemiliknya.
Tua. Ya, inilah kesan yang meruap, bahkan tercium, saat memasuki ruang perpustakaan Pura Pakualaman. Dan sebenarnya ini dapat dipahami, lantaran seluruh koleksi perpustakaan berisi ribuan lembar naskah kuno. Usianya mencapai ratusan tahun. Tidak hanya tua, tapi orisinal. Sebenarnya, ketuaan koleksi buku dan naskah kuno yang dikandungnya menjadi daya tarik perpustakaan ini.
Melalui bait-bait dalam aksara kuno ini, bangsa ini mampu memandang masa lampau dengan lebih jelas dan sistematis.
Tanpa itu akan sulit menatap masa depan. Tapi sayang hanya sedikit orang yang meringankan kakinya ke ruang ini. Apalagi terpanggil untuk mendokumentasikan sekaligus meneliti naskah kuno yang jumlahnya ratusan. Padahal tanpa mereka, bait-bait dalam naskah kuno ini tak berarti, akan pudar dan kemudian lenyap. Demikianlah kondisi naskah kuno koleksi Pakualaman ini.
Sebagian besar naskah kuno yang ditulis tangan ini sudah rapuh. Benang yang mengikat puluhan lembar kertas sudah kehilangan kekuatan. Walhasil, puluhan lembar naskah mulai rontok, tercerai. Belum lagi melihat kondisi tulisan yang semakin renta. Tinta yang menggores garis membentuk kata sudah semakin kabur. Sebagian besar malah sudah lumer dan menembus hingga ke balik lembar kertas.
Bingkai gambar kaligrafis, atau sulur daun yang biasa menghias lembar naskah pun, sudah kehilangan kecantikannya.
Padahal inilah salah satu kelebihan naskah koleksi Pakualaman yang dikenal kaya gambar. Belum lagi melihat simbolsimbol raja, lukisan wayang, dan gambar panji-panji yang meredup.
Mungkin inilah yang membuat seorang Sri Ratna Saktimulya terpanggil buat menyusun kembali koleksi perpustakaan ini. Hasilnya, sebuah buku bertitel Katalog Naskah-naskah Perpustakaan Pura Pakualaman (2004) lahir. Diterbitkan oleh Obor, buku setebal 493 halaman ini menjadi sebuah dokumentasi.
Gawe besar ini memang patut diberi acungan jempol. Menyusun katalog adalah pekerjaan besar dan berat, penyusun dituntut bekerja cermat dan akurat.
Apalagi dalam buku ini, Ratna mencoba menerjemahkan ratusan naskah kuno ini ke dalam bahasa Indonesia. Banyak kata dan bahasa yang tidak ditemukan jagat sastra Jawa Kuno. Untuk membaca naskah ini, ia harus membandingkan puluhan naskah lain. “Kesulitan terbesar karena saya tidak dapat menerjemahkan secara langsung,” tutur Ratna.
Inilah yang membuat pekerjaan ini memakan waktu cukup lama, lima tahun. Membaca naskah kuno milik keraton yang sudah disadur dalam buku ini seperti membaca residu pemikiran masyarakat yang hidup dalam naskah. Pikiran dan perasaan serasa menembus ruang dan waktu hanyut dalam kolam kata naskah yang dibaca. Lewat para pujangga yang menulis muncul rekaman, mitologi, babad, ajaran, primbon, agama, dan pemikiran serta perasaan dalam berbagai kisah. “Naskah Pakualaman ini mirip dengan sebuah catatan harian yang lengkap.
Membacanya kita akan hanyut,” ujar Ratna.
Di dalam buku ini ditemukan penggalan singkat kehidupan Sri Paduka Paku Alam III (1858- 1864) yang tak lain adalah seorang pujangga besar. Lewat tangannya lahir sejumlah karya sastra, di antaranya Serat Piwulang, Serat Ambya Yusup yang berisi kisah Amir Hamzah, dan Serat Darma Wirayat yang sangat populer. Karya sastra yang terakhir ini berisi gambaran kehidupan dunia, sebagian orang melihat karya pangeran yang memiliki nama kecil Gusti Pangeran Harya Sasradiningrat ini sebagai sebuah jalan hidup orang Jawa. Paku Alam III adalah raja yang dikenal sebagai pelopor praktek surat-menyurat, terutama dengan para sastrawan di Surakarta.
Seperti sebuah catatan harian, hampir seluruh raja Pakualaman mempunyai catatan yang ditulis kemudian disimpan dalam perpustakaan keraton.
Dapat dibayangkan rentang waktu yang terekam dalam kumpulan aksara kuno ini. Mulai Raja Pakualaman I (1813) hingga Raja Pakualaman IX abad 21. Atau nyaris 200 tahun.
Katalog ini juga membuktikan, nenek moyang kita tidak eksklusif dalam berpikir. Mereka tidak khawatir akan segala sesuatu yang asing. Dalam naskah koleksi Pakualaman ini semuanya muncul. Sebab, selain soal kehidupan di tanah Jawa, mereka juga menulis Babad Betawi, Babad Nagari Cina bahkan Babad Napoleon. “Inilah yang membuat sebuah pengkatalogan menjadi penting,” kata penyair Sapardi Djoko Damono.
Dalam hal kepercayaan, para pemilik naskah ini juga sangat terbuka. Dibuktikan dengan sejumlah naskah agama, seperti Bab Salat, Sahadat, Saha Rajah yang isinya antara lain mengenai doa dan syarat berwudu, tentang martabat sahadat, dan berbagai mantra serta rajah. Juga ada naskah yang berurusan dengan deskripsi mengenai delapan watak dewa, cerita kancil, watak Pandawa, bahkan sejumlah kisah lucu.
Kehidupan dunia wayang memang tidak dapat dipisahkan dari budaya Jawa, karena itu pula banyak naskah-naskah yang bertema wayang. Di antaranya Asthabrata, Panca Candra, dan Saha Narpa Candra yang semuanya menguraikan watak tokoh wayang, dewa maupun manusia. Yang menarik, naskah- naskah ini ditulis dalam bahasa Jawa dan Melayu.
Kebebasan untuk bicara dan memperdebatkan sesuatu hal yang bertentangan ternyata sudah dinikmati dan mungkin menjadi kelebihan budaya masyarakat masa lalu. Khususnya kehidupan di seantero wilayah Pakualaman. Buktinya, sejumlah naskah tidak tanggungtanggung bicara soal pertentanganitu. Seperti Lampahipun Sembahyang Islam dan Primbon Ngelmu Kasampurnan.
Di samping itu para pujangga ini dengan yakin mengubah dan bahkan memelintir, kalau perlu, sejumlah besar fiksi asing seperti Baron Sekendher, Bayan Budiman, Lampahan Lairipun Parikesit dan Tajussalatin. Di samping tentunya merakit kisah-kisah berlatar Jawa, seperti Panji Ino Kertapati dan Panji Kelana Jayakusuma. “Dari situ kita dapat melihat bagaimana penguasa menghormati para pujangga dengan karya sastranya,” kata Sapardi.
Naskah yang ditulis tangan ini juga mempunyai keunikan lain. Hampir seluruh lembar naskah ditaburi hiasan indah. Bahkan sejumlah gambar dibuat gemerlap dengan bubukemas. Mulai gambar sulur daun, kaligrafis, hingga simbolsimbol raja. “Dari sini kita sebenarnya dapat belajar mengenai seni rupa,” ujar Sapardi. Jika di dunia Barat mengenal kanvas, Indonesia lebih akrab dengan media kertas dan batu sebagai landasan utama seni rupa.
Ada yang kurang dalam penyusunan buku katalog ini. Menurut Dewaki Kramadibrata, staf pengajar di Universitas Indonesia, katalog ini memiliki sejumlah kekurangan, seperti tidak ada informasi rujukan koleksi naskah. Padahal, menurut Dewaki, rujukan ini penting buat memetakan naskah dalam dunia jagat sastra Jawa. Dan kekurangan lain, tidak konsistennya deskripsi soal keadaan naskah. “Informasi ini terkesan sepele, tapi sebenarnya penting buat pembaca,” kata Dewaki.
Ya, terlepas dari kekurangannya, dengan membaca katalog ini kita serasa dipersilakan masuk ke dalam dunia aksara keraton yang kaya. Lembaran sejarah, unia pemikiran, mitologi, agama, dan berbagai kisah menarik yang dapat di-eja kembali hari-hari ini. Dan tak terkecuali, dikembangkan untuk kebutuhan kekinian.
Tapi sayang dunia yang kaya itu minim peminat. Seperti siang itu, perpustakaan yang terletak di sebelah barat pendopo Istana Kadipaten Pakualaman Yogyakarta ini lengang. Hanya debu dan sunyi yang menyapa.