S e u l a n g a

Cut Dini Desita
oase.kompas.com

Entah sejak kapan aroma wangi ini membuai tidur-tidurku. Semenjak pertama kali aku menginjak rumah ini, aku masih bisa melihat betapa tegar dua pohon besar yang masih berdiri di rumah tetangga samping. Mungkin saja pohon itu jauh lebih tua dari usia ibuku sendiri. Kata ibu, pohon itu tumbuh di tanah milik Nek Romlah–pemilik sah kedua pohon itu.

Pohon itu terlihat seperti pintu gerbang. Berdiri mengapit jalan setapak yang cenderung berlumpur tiap hujan datang. Berkali-kali kerikil ditumpahkan, tetap saja air masih rela menggenanginya. Sehingga gerakan-gerakan daun dari pohon itu berbayang-bayang menyeramkan. Tak jauh dari pohon itu, sebuah gubuk kecil terbuat dari kayu berdiri kokoh menantang angin. Rumah milik Nek Romlah.

Seulanga. Itulah nama salah satu pohon yang menjadi pemberi selamat datang bila memasuki halaman gubuk reot Nek Romlah yang luas ini. Yang menemani pohon selanga sedari kecil adalah pohon sentul. Seulanga inilah yang kerap mengharumkan sekitar rumahku dengan wangi khasnya. Seperti tak pernah berhenti mekar, begitulah aroma rumahku yang tak memerlukan pengharum ruangan lagi.

Ketika aku masih TK ibuku selalu berpesan, jika kau pergi main-main di halaman rumah Nek Romlah, jangan sekali-sekali memetik bunga seulanga. Tanpa diperingatkan pun, aku takkan mau menyentuh kulit kayu pohon seulanga sekalipun. Suatu hari aku pernah menyaksikan sendiri bagaimana Fitri, cucu Nek Romlah, yang dimarahi habis-habisan oleh neneknya sendiri.

Pernah sambil menangis-nangis sambil mengancam ibu tidak akan sekolah, agar ibu memetik satu tangkai saja bunga seulanga. Aku tahu, ibuku memendam rasa takut. Bagaimanapun juga, Nek Romlah yang sudah kelihatan tua sekali ini juga bisa menyerapah ibuku tanpa ampun. Tapi aku tak pernah mau mengerti, aku tetap berimpian memiliki setangkai saja bunga seulanga dan itu harus dari pohon Nek Romlah.

Nek Romlah memang terkenal dengan cerewetnya. Sepertinya beliau bisa memarahi orang tanpa henti sampai perasaannya puas. Tak hanya keluarganya yang harus selalu menerima segala umpatan dari mulutnya, tapi juga warga sekitar. Meski menyakitkan hati, mereka tetap menganggap itu adalah kepribadian orang-orang yang sudah terlalu tua.

Sampai usiaku menginjak lima belas tahun, aku masih suka menikmati aroma bunga seulanga setiap pagi yang merambat bersama percik-percik embun. Sembari berdiri di beranda rumah, aku selalu melepaskan kebebasan tubuhku sembari membiarkan pori-pori tubuh terbuka dan aroma wangi itu bisa menelusup.

“Jangan bodoh!!” Begitu kata ibu suatu hari ketika kuutarakan keinginanku untuk menghabiskan satu pagi saja berdiri atau sekedar semedi dan yoga di bawah pohon seulanga. Selain masih terbentang rumput yang begitu hijau, embun pagi masih setia mengecup ujung-ujung helai daunnya. Kesegaran itulah yang membuatku ingin lebih menyatu dengan seulanga.

Di sebuah sore yang begitu damai, cuaca cerah bahkan tak ada mendung yang berani hinggap di atas desaku. Kabar itu segera menyebar cepat dan benar-benar membuatku tercengang. Serentak seluruh warga terkaget-kaget tak percaya dengan berita duka yang di hembuskan oleh seorang peternak lembu yang menjadi saksi di tempat kejadian.

“Nek Romlah meninggal dunia,” begitu kata tetangga-tetangga dengan raut muka yang tak pernah bisa kutebak sampai hari ini.

Yang membuatku tercengang dan tetangga yang terkaget bukanlah perihal kematiannya, tapi tentang bagaimana cara nek Romlah meninggal. Setelah di konfirmasi pada keluarga, benar adanya nek Romlah telah meniggalkan rumahnya selama dua hari. Keluarga tidak mencarinya, sebab memang ada kerenggangan hubungan antara nek Romlah dan anak-anaknya. “Beliau memang suka pergi dan menginap beberapa hari di rumah saudaranya,” begitu kata salah satu anak nek Romlah dengan mata sembab.

Seorang anaknya yang lain bertingkah seperti orang gila.
“Pakon mak lon matee? Pakon mak lon matee?”
“Aku belum sempat minta maaf padanya.” Begitulah ia berteriak berkali-kali sepanjang jalan sambil memukuli dirinya sendiri. Ia menangis tapi terus menyesali kesalahannya yang dahulu sering diperbuat pada ibunya. Anaknya yang juga temanku, Fitri, terduduk di samping tangga rumah sembari menyeka air mata berkali-kali. Semula kukira ia mengalami duka yang teramat dalam, tapi ternyata ia menyesali serupa ibunya.

Berjam-jam aku berada di rumah duka, menguping sana sini merangkai kronologis kejadiannya. Dari beberapa cerita menemu satu titik kesimpulan, nek romlah mengalami kecelakaan. Di sekitar jasad nek Romlah tersebar beberapa daun melinjo yang habis terpetik. Tiba-tiba ia terpeleset sebab rumput yang licin dan terjatuh dalam posisi terbalik. Lalu wajahnya beradu dengan reruncing pohon yang baru saja di tebang, dan nyawa nek Romlah tak ada yang bisa menolong karena daerahnya agak masuk ke dalam hutan.

Aroma seulanga yang masih berhembus perlahan memisahkan senja yang damai menuju malam yang beraroma kepedihan. Sayup-sayup derak pohon seulanga seperti ikut berbelasungkawa pada pemilik yang telah merawat selama hidupnya. Harum seulanga terus kuhirup dalam-dalam sampai suatu masa aku harus berpisah dari desa ini.

Lima tahun setelah kepergian nek Romlah dari dunia, serta kepergianku dari desa ini, aku masih merindukan aroma menusuk itu. Seulanga. Berulang kali aku bercerita pada ibu tentang betapa rindu aku padanya dan seulanga. Raut wajah ibu kulihat berubah. Ia memeluk dan menggiringku ke beranda untuk melihat sesuatu yang berbeda di belakang rumah.

“Oh!” aku membekap mulutku dengan tangan melihat sesuatu yang asing seperti tak pernah ada sejarah dua pohon besar sebagai pintu gerbang di sana.

Di bagian tanah tempat pohon sentul tumbuh, sudah terbangun satu rumah megah dengan pagar yang tinggi. Di bagian tanah tempat pohon seulanga tumbuh memang masih kosong, tetapi tempat itu sudah tersulap menjadi taman yang begitu manis. Ada beberapa meja dan tempat duduk yang? terbuat dari pohon seulanga dan pohon sentul yang sudah di tebang.

Sejak itu, aku pernah bermimpi tentang dua pohon besar yang seakan mengayomiku saat berdiri di bawahnya. Ketika terbangun pagi aku menuju beranda dan berhasil mencium aroma seulanga seperti datang dari rumah nek Romlah. Aroma ini hanya tercium olehku, tidak pada keluargaku. Lama-lama mereka seperti menganggapku tidak waras. Terbukti ketika bangun pagi, aku mendapati seluruh pintu akses keluar rumah terkunci dan kuncinya tidak terletak di tempat yang biasa

Ibu berinisiatif menanam seulanga di halaman rumah searah lurus dengan bekas pohon seulanga nek Romlah. Kata ibu, ini seulanga jenis pendek yang tidak akan pernah membesar seperti punya tetangga. Ada rasa tidak puas ketika itu. Aku takkan bisa berteduh di bawah seulanga milik ibu. Mekipun begitu, tetap kurawat sepenuh hati.

Suatu kali ketika aku sedang menyiram seulanga kecil, aku berujar semangat.
“Bu, kapan pohon seulanga ini bisa mencapai ukuran sebesar milik nek Romlah? Aku tak sabar menunggunya. Aku akan menjaga pohon ini sampai besar, tak kubiarkan siapapun memetik bungannya, bahkan keluarga sekalipun. Pohon ini milikku. Aku rela melepas nyawa jika ada yang berani mengambil satu putik saja.”

Tahu-tahu, aku di jebloskan ke rumah sakit jiwa. Kata perawat yang saat itu sedang membawakanku beberapa bunga seulanga di tangkup tangannya, aku menderita gila seulanga.

Wahe bungong ceudah hana ban
Tamse nyak dara nyang canden rupa
Diteuka bana dijak peuayang
uroe ngon malam bungong didoda

Sayang-sayang leupah that sayang
Oh troh bak watee bungong pih mala
Ka habeh duroh bak tangke leukang
Keubit that sayang naseb Seulanga

(Rafly – Seulanga)

*) Pakon mak lon matee? (Mengapa ibuku mati?)

*) Cut Dini Desita alias Rain Queen. Lahir di Banda Aceh, 7 Desember 1988. Alumni SMA Negeri 1 Jeumpa Puteh Banda Aceh. Saat ini menjadi Mahasiswi di Fakultas Ekonomi, Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Mulai menikmati menulis semenjak duduk di bangku TK.

Leave a Reply

Bahasa ยป