Angsa Hitam yang Mengolok-olok si Pembual

Judul: The Black Swan
Penulis: Nassim Nicholas Taleb
Penerjemah: Alex Tri Kantjono Widodo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Edisi: I, 2009
Peresensi: Dian R. Basuki
http://www.ruangbaca.com/

Siapa menyangka ada orang membajak pesawat sipil dan menabrakkan pesawat itu ke gedung pencakar langit World Trade Center, New York? Rasanya tak ada. Namun kejadian pada 11 September 2001 itu membuktikan bahwa ternyata memang ada orang yang memikirkan skenario edan seperti itu. Mengejutkan, dan inilah si angsa hitam yang ditemukan di tengah anggapan semua orang bahwa seluruh angsa di jagat ini berwarna putih.

Judul karya Nassim ini, The Black Swan, sudah mengusik: mana ada angsa berwarna hitam? Di sepanjang usia kita, karena pengalaman hidup berpuluh tahun, kita berpikir bahwa angsa berwarna putih. Ketika angsa hitam ditemukan, buyarlah seluruh konsepsi tentang angsa yang ada dalam benak kita.

Logika angsa hitam menjadikan yang tidak kita ketahui jauh lebih relevan daripada yang kita ketahui. Banyak peristiwa angsa hitam dapat terjadi dan berakibat lebih buruk sebab tidak diduga. Contohnya, seandainya peristiwa tsunami Desember 2004 telah diperkirakan, peristiwa itu mungkin tidak akan menyebabkan kematian sebanyak seperti yang telah terjadi–sistem peringatan dini difungsikan, penduduk lebih cepat diungsikan.

Angsa Hitam adalah peristiwa dengan tiga sifat. Pertama, peristiwa itu lain dari yang lain, sesuatu di luar dunia seperti yang biasa kita harapkan, karena tak ada sesuatu pun di masa lampau yang dapat secara meyakinkan menunjuk kepada kemungkinan itu. Kedua, peristiwa itu memiliki dampak yang ekstrem. Ketiga, kendati lain dari yang lain, sifat dasar manusia mendorong kita membuat penjelasan-penjelasan atas peristiwa itu sesudah terjadi, menjadikannya tampak dapat diterangkan dan diprakirakan.

Perpaduan antara prediktabilitas yang rendah dan dampak yang besar menjadikan Angsa Hitam sebuah teka-teki yang dahsyat. Namun, bukan ini pokok bahasan utama karya Nassim. Gagasan pokok buku ini berkaitan dengan kebutaan kita ketika berhadapan dengan keacakan, khususnya untuk deviasi-deviasi yang besar. Betapa kita terfokus pada yang ?normal? dan yang masuk akal, serta mengabaikan yang ?tidak lazim? dan ?luar biasa.? Buku ini menarik, sebab berbicara tentang ketidakpastian (uncertainty).

Minat Nassim pada pengetahuan tentang ketidakpastian berawal setelah dia belajar di Wharton, sekolah bisnis terkemuka di dunia. Ia mengembangkan keahlian khusus yang aneh: menebak peristiwa langka dan tak terduga, yakni peristiwa-peristiwa yang berada di lipatan Platonik, dan dianggap ?tidak dapat dipahami? oleh ?pakar-pakar? Platonik. Lipatan Platonik adalah tempat di mana penggambaran kita tentang realitas tidak berlaku lagi–tetapi kita tidak menyadarinya.

Nassim memberi contoh kisah sukses Yevgenia Nikolayevna Krasnova. Pelopor aliran Consilient ini membutuhkan waktu lima tahun untuk berubah dari novelis tak ternama menjadi penulis yang karyanya diterjemahkan ke dalam 40 bahasa. Buku Yevgenia, kata Nassim, adalah Angsa Hitam. Kemunculan Yevgenia dari tempat yang sangat tersembunyi menjadi seorang bintang hanya dimungkinkan oleh sebuah lingkungan atau tempat yang disebut oleh Nassim sebagai Extremistan, yang dihuni oleh penggiat intelektual, ilmiah, dan artistik. Wilayah ini terletak berseberangan dengan Mediocristan–wilayah yang tenang, tenteram, dan tanpa gejolak atau kejutan.

Dalam buku yang serius, dan diceritakan dengan amat menarik ini, Nassim tidak menyembunyikan keusilannya–sebagaimana ia sehari-harinya. Termasuk soal Yevgenia. Setelah kita kepincut cerita Nassim tentang novelis ini, beberapa halaman kemudian ia memberitahu ?jangan mencarinya di Google, sebab Yevgenia itu tokoh rekaan? (Walau mengaku tak bisa menebak apa yang akan terjadi kemudian, tapi ia benar ketika menduga kecenderungan orang, lantaran ingin tahu lebih jauh, untuk meng-Google Yevgenia).

Salah satu premis yang digunakan, dan menarik, oleh Nassim ialah empirisisme negatif. Penemuan sebuah tumor ganas membuktikan bahwa Anda mengidap kanker, tetapi ketiadaan tumor ganas tidak membuat Anda boleh memastikan bahwa Anda bebas dari kanker. Kita bisa lebih mendekati kebenaran melalui kejadian-kejadian negatif, bukan verifikasi! Membangun aturan umum berdasarkan fakta-fakta yang teramati bisa menyesatkan. (Ia menaruh hormat kepada Karl Popper yang memopulerkan falsifikasi dan Henri Ponicar? yang memperkenalkan ketidaklinieran, efek-efek kecil yang dapat mengantar ke konsekuensi-konsekuensi besar–semacam apa yang kemudian dikenal sebagai efek kupu-kupu dalam eksperimen cuaca Lorenz).

Nyaris di sepanjang buku ini, Nassim mengolok-olok mereka yang yakin betul akan pengetahuannya dan berbicara begitu meyakinkan dengan mengandalkan pengamatan mereka atas hal-hal yang kerap terjadi, dan bahkan berani meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan. Termasuk mengritik pedas ekonom yang memakai matematika untuk meramalkan masa depan kemakmuran dan memuji Friedrich Hayek. Sebagai guru besar dalam ilmu ketidakpastian, keacakan, dan keberuntungan, Nassim menunjukkan bahwa menujum masa depan dengan tepat adalah kemustahilan.

Kita tidak melihat Angsa Hitam, kata Nassim, dan kita cemas tentang hal-hal yang terjadi, bukan hal-hal yang mungkin terjadi tetapi belum terjadi. Itu sebabnya kita melakukan Platonifikasi, menyukai skema-skema yang telah diketahui dan pengetahuan yang tertata baik, sampai ke tingkat kebutaan terhadap realitas.

Begitulah, entah karena Nassim sudah piawai soal Angsa Hitam, bukunya Fooled by Randomness, yang terbit satu pekan sebelum 11 September 2001, telah membahas kemungkinan sebuah pesawat jatuh menimpa gedung kantornya. Lantaran itu, ia diminta oleh para wartawan untuk memberikan daftar peristiwa heboh yang akan terjadi di masa mendatang dan menunjukkan ?bagaimana saya meramalkan peristiwa itu?.

Apa jawab Nassim? ?Saya tidak meramalkannya–itu sebuah peristiwa kebetulan. Saya bukan dukun klenik!?

Well, karya Nassim ini sungguh provokatif dan mencerahkan!

Dian R. Basuki, pembaca buku

Leave a Reply

Bahasa ยป