M.D. Atmaja
Di atas bukit, setelah melalui jalan memutar di samping tebing-tebing, si Lelaki Pendosa dan Perempuan Pendoa kini berdiri. Mereka berdua sama-sama memakukan pandangan pada pantai yang mendebur, ombak yang mengiris berkidungkan alam-raya. Batas-batas dunia telah mereka berdua lewati sebagai pengembara. Kini mereka diputari oleh semerbak bunga dunia, dipacu kehangatan matahari malam. Saat itu, belum ada yang terlena. Belum ada yang terlelap. Keduanya saling menjaga malam agar tidak ditelikung setan jalanan.
Jendela mimpi telah sedikit terbuka. Tirai malam disingkap angin basah yang bercampur asin kehidupan. Mereka berdua berdiri di atas bukit, menatap jauh pada pucuk-pucuk nyiur. Lalu menerawang pada cakrawala hitam. Angin mendesah dalah keluh-kesah yang memabukkan. Di hening mimpi, setan-setan bergentayangan. Ada di atas mereka. Ada di bawah mereka. Di samping kiri-kanan. Setan jalanan saling membungkus lelaki perempuan yang menatap cakrawala hitam tanpa melepaskankan lagi.
?Untuk apa?? tanya Perempuan Pendoa dengan mata basah sambil memandangi cakrawala hitam yang menggantung.
Lelaki Pendoa menggelengkan kepala. Dia diam dan tenang sambil terus menerus mencumbui setan yang bergelayutan. Dosa-dosa yang menetes dia kecapi dalam dahaga yang tidak terpuaskan. Lelaki Pendosa menegadah pada cakrawala hitam. Di dalam diamnya berharap, agar dosa dapat menetes lebih banyak lagi.
?Apa yang sedang kamu lakukan, Sayang?? tanya Lelaki Pendosa pada kekasihnya, sementara si Perempuan Pendoa membalas dengan tatapan mata yang basah.
?Memohon pada penguasa semesta agar menjaga kita dari setan yang menelikung. Semoga kita tidak dibutakan oleh mereka. Iman tetap kuat dan terjaga.?
Lelaki Pendosa melemparkan senyuman kecil sambil mengalihkan pandangan dari cakrawala hitam ke dua mata basah kekasihnya. Dia melihat kesedihan dan ketakutan.
?Apa yang kamu takutkan?? tanya Lelaki Pendosa dengan suara ringan. ?Kenapa musti takut pada setan yang menelikung kita untuk lupa??
?Mas,? Perempuan Pendoa tersenyum getir, ?hati ini sangat mudah terpatahkan.?
?Yah,? Lelaki Pendosa tersenyum kecil, ?tapi bagaimana setan bisa menelikungku? Dia ada di dalam diri ini. Dia, setan itu adalah diri ini sendiri. Kenapa harus takut pada diri yang sudah dikuasai??
Perempuan Pendoa menggelengkan kepala. Dia kini mengalihkan pandangan pada cakrawala hitam yang menggantung, semakin bertambah pekat. Tiba-tiba, dia, si Perempuan Pendoa menenggelamkan diri dalam pelukan kekasihnya, suaminya, si Lelaki Pendosa.
?Sebenarnya, tidak ada manusia yang sungguh terlupa saat berdosa. Keterlupaan dan keterlenaan manusia sengaja di-ada-kan untuk sebuah pembenaran. Bahwa manusia yang berdosa tidak bersalah. Agar manusia yang lain dapat memaklumi. Agar Tuhan juga dapat memaklumi.? Lelaki Pendosa tersenyum memandangi istrinya. ?Sayangku, kamu perlu tahu kalau seluruh dosa-dosaku telah kulakukan dengan penuh kesadaran. Tidak ada yang terlena di sana.?
Perempuan Pendoa menggelengkan kepala dalam pelukan. ?Aku tidak mau menikmati. Dosa memang manis. Nikmat. Membahagiakan, tapi aku tidak mau menikmati. Dunia ini terus menggodaku. Menyelinap dalam kerapuhan. Namun, kamu juga tahu, Mas, kalau setiap detiknya aku mencoba memerangi.?
?Ini dunia kita, Sayang!?
?Kalau memang dosa dan pahala adalah inti dari dunia, aku ingin menolaknya. Akan aku perangi. Aku tidak ingin memijakki tanahnya.?
?Dan,?
?Kalau dalam kepahitan hidup dan kematian dapat mendatangkan rahmat, aku pasti memilihnya, Mas!?
?Kalau surga itu tidak ada?? tanya Lelaki Pendosa dengan suara yang bergetar.
?Setidaknya aku sudah memilih, Mas. Terserah dimana pun, selama itu ada dalam ridhoNya.?
Lelaki Pendosa pun tertawa renyah sambil memeluk istrinya dengan erat. ?Kau menolaknya? Dunia? Dan Andai surga itu tidak ada??
?Aku sudah memilih, Mas!? sahut Perempuan Pendoa dalam senyuman dan bercampur air mata di dalam pelukan kekasihnya, suaminya, si Lelaki Pendosa.
Pantai Pandasari ? Bantul, Sabtu 10 Juni 2010