Abdul Wachid BS
http://www.kr.co.id/
MATINYA kritik sastra, yang pasti disebabkan oleh tidak adanya karya sastra yang layak untuk dijadikan pembicaraan kritik sastra.
Memang, banyak faktor lain sebagai penyebabnya, antara lain (1) minat baca sastra dari masyarakat yang rendah, (3) persepsi yang salah bahwa karya sastra hanyalah produk khayalan, klangenan, dan karenanya tidak layak sebagai bagian dari sumber untuk keilmuan interdisipliner. Tidak seperti halnya di negara-negara yang sudah pesat perkembangan keilmuannya, yang memposisikan karya sastra sebagai bagian dari inspirasi keilmuan interdisipliner.
Memang, kita melihat realitas, setiap Minggu berbagai koran menyediakan rubrik sastra, berisi cerpen, puisi, dan sketsa pemikiran tentang seni secara umum, sekalipun tidak untuk kritik sastra. Ini merupakan fakta bahwa penerimaan masyarakat pembaca terhadap karya sastra yang tiap Minggu dimuat di media massa, khususnya pembaca yang memiliki daya kritis, masih memposisikannya seperti fungsi kertas koran: setelah dibaca headline-nya, lalu menjadi kertas bungkus.
Apakah salah sikap penerimaan masyarakat terhadap karya sastra koran seperti itu? Sebagai produksen yang baik, tentu tidak akan gampangan menyalahkan bahwa konsumennya adalah bodoh semua, sebab tidak mau mengonsumsi produknya. Kenyataan bahwa masyarakat tidak melakukan respons terhadap karya sastra, tidak berarti masyarakat itu bodoh atau belum melek sastra. Hal itu benar jika kita melihat dari sudut pandang sastrawan.
Tetapi, dari sudut pandang masyarakat, bagaimana? Karya sastra merupakan hasil refleksi sastrawan terhadap realitas sosialnya, karenanya bentuk kebudayaan, pikiran zaman secara po atau kontra terefleksi di dalamnya. Karenanya pula, bentuk dan pikiran di dalam karya sastra semestinya dapat direpresentasikan keterkaitannya dengan kebudayaan yang mengkonstruksinya, atau sebagai refleksi bagi kebudayaan secara luas. Jika sekarang ada fenomena, masyarakat mencuekkan karya sastra (juga di koran), itu artinya karya sastra yang ditulis tersebut tidak mampu sebagai bagian dari perkembangan produk budaya yang tengah terjadi di dalam masyarakatnya. Karenanya, karya sastra yang demikian tidak diapresiasi oleh masyarakatnya, juga tidak menjadi perhatian kritikus sastra.
Mengapa karya sastra yang ditulis sastrawan tidak mendapat sambutan kritik?
Tahapan kritik itu berangkat dari apresiasi (apresiation) secara umum, kemudian oleh pembaca ahli berdasarkan wawasan keilmuan tertentu dilakukan penilaian-penilaian (values), di situlah kritikus melakukan penghakiman (judgment) tentang baik-buruknya karya sastra tersebut berdasarkan argumentasi yang kuat. Jadi, bukan penilaian yang bersifat samar-samar (impresif), subjektif, dan tanpa argumentasi yang memadai. Jika demikian, idealnya karya sastra yang memiliki mutu, secara bentuk ia berdiri di antara konvensi agar masih dapat dirunut jejak pemaknaannya oleh pembaca, sekaligus memiliki inovasi agar segar dan tidak dicap sebagai pembebek karya sastra sebelumnya. Bila ada sesuatu yang baru, masyarakat pastilah memberi perhatian, mungkin dicaci seperti fenomena Inul Daratista, atau langsung dipuji, atau dicaci dulu kemudian dipuji. Secara isi juga demikian, sepanjang sejarah karya sastra yang baik selalu menawarkan sudut pandang yang berbeda dari karya sastra sebelumnya.
Persoalannya, jika karya sastra tidak direspons oleh masyarakat pembaca umum apalagi pembaca ahli, berarti memang karya sastra yang dimuat di koran tiap Minggu itu tidak ada sesuatu yang baru, alias biasa-biasa saja. Bahkan, banyak karya sastra yang sekadar bertarget asal dimuat dan mendapat honor, dengan melakukan reproduksi bentuk dan isi dari kecenderungan karya sastra yang sering dimuat di suatu koran. Memang, puisi tetap ditulis, tetapi dengan cara menulis ?puisi yang baik dan benar?, demikian pula ?cerpen yang baku?, juga ?novel yang sesuai dengan kaidah-kaidah?. Segala itu serba lewat begitu saja senyampang dengan datangnya koran besok pagi, koran yang kemarin tidak dibaca lagi, sebab memang tidak ada sesuatu yang baru yang ditawarkan di dalamnya. Sementara itu, masyarakat dan pers hanya akan memperhitungkan hal yang baru, yang luar biasa, dan hal itu tidak dapat disalahkan sebab sebagai tandingan hal yang rutin keseharian, yang biasa.
Namun demikian, kita tidak perlu pesimis, alasan regenerasi sastrawan dan karya sastranya memang tetap perlu, dalam hal ini peran koran amatlah menentukan bagi proses ?menjadi? perkembangan sastra. Namun pula, koran perlu memerankan fungsi kritik dengan memilih karya sastra yang benar-benar mempertimbangkan aspek kesastraan, juga aspek inovasinya. Tanpa pertimbangan itu, koran tidak akan memperoleh keuntungan apapun, sebab dibukanya rubrik sastra hanya menambah biaya cetak saja, jika pertimbangan eksistensial tidak diperhitungkan.
Tidak masalah dengan memunculkan karya dari sastrawan yang baru muncul, asal mutu sastra tetap menjadi pertimbangan utama. Sebab jika tidak demikian, justru koran turut mempurukkan matinya dialektika antara munculnya karya sastra yang cerdas, mencerdaskan masyarakat pembaca, yang melahirkan kritik sastra yang cerdas pula. Bahkan, memunculkan secara berselang-seling nama lama dan nama baru dengan karya sastranya menjadi penting sebagai perbandingan perkembangan sastra, sekali lagi tetap mengutamakan tolok ukur mutu sastra. Dilihat dari ini saja, betapa besar peran kritik sastra yang diperankan redaktur sastra untuk menyeleksi karya sastra yang bermutu.
Sesungguhnya, antara karya sastra yang baik dan kritik sastra yang bermutu, seperti antara telur dan ayam. Karya sastra yang baik akan mendorong munculnya kritik sastra yang cerdas. Demikian pula, kritik sastra yang cerdas itu pun kemudian merangsang lahirnya karya sastra yang berbobot. Tiadanya karya sastra yang bermutu, tidak berarti kritik sastra turut macet. Sebab kerja kritik sastra tatkala memberi penilaian berarti ada yang dibandingkan dengan tolok ukur karya sastra yang telah ada. Dengan begitu semestinya kritik sastra tetap ditulis berdasarkan perbandingan dengan karya sastra yang ada sebelumnya yang dipandang memiliki mutu sastra. Dari itu, memberi rangsangan akan munculnya karya sastra yang bermutu di kemudian hari.
Tetapi, apa kritik sastra kini juga turut tidak bermutu? Di luar lingkup akademik sastra memang demikianlah halnya. Di samping persilangan lontaran pemikiran seni secara teoritik, semestinya koran menyadari perlunya perdebatan wacana yang berangkat dari karya sastra. Mengapa objek kesusastraan tersebut justru tidak pernah disentuh? Sekalipun koran bukanlah satu-satunya faktor penentu perkembangan sastra, namun koran memang mempunyai potensi besar memerankan hal tersebut.
Jadi, jika dirunut urutannya, perjalanan sastra di koran sebagai berikut. Taksonomi kesusastraan ialah antara karya sastra dan kritik sastra. Kritik sastra dapat melahirkan teori sastra, dan menyumbangkan perannya kepada sejarah sastra untuk melakukan kualifikasi-kualifikasi. Dan kritik sastra itu hasil dari studi terhadap karya sastra. Sementara itu karya sastra di Indonesia penyebarannya yang terpenting melalui koran (dan majalah) sekalipun kemudian dijadikan buku. Sedangkan karya sastra di koran dan majalah, kemunculan pertamanya ditentukan oleh redaktur sastra dalam penyeleksian. Dengan begitu maju-mundurnya kesusastraan berada di tangan redaktur sastra.
Jadi: ?Redaktur Sastra yang terhormat. Jika kerinduan terhadap munculnya karya sastra yang bermutu, gelisahnya terhadap stagnasi kritik sastra, dan merasa tidak sehatnya ekologi sastra, maka Andalah sesungguhnya yang paling bertanggung jawab tentang hal-hal tersebut!?
Terima kasih.