Menggali Tradisi Hari Sastra Nasional

I Nyoman Suaka
http://www.balipost.co.id/

Mengenang hari berpulangnya penyair Chairil Anwar, 28 April, tidak cukup dengan menundukkan kepala. Sebab bertepatan dengan hari wafatnya itu juga merupakan Hari Sastra. Di era tahun 1950-an, masyarakat peduli sastra Indonesia, khususnya mahasiswa sastra di Universitas Indonesia, Jakarta dan Universitas Gajah Mada Yogjakarta, secara rutin setiap tahun memperingati Hari Sastra pada 28 April. Namun, mengapa kini hari bersejarah itu tidak terdengar lagi kabarnya?

MENINGGALNYA Chairil Anwar kemudian diperingati sebagai Hari Sastra di tanah air memiliki banyak pertimbangan. Ia adalah pembaru dalam sastra Indonesia khususnya di bidang puisi. Chairil adalah seorang pelopor dalam sastra Angkatan 45, di samping pernah dituduh sebagai plagiator. Penyair yang dijuluki “binatang jalang” ini meninggalkan kesan yang amat mendalam bagi bangsa Indonesia sampai kini. Sajak-sajak Chairil dipelajari dari jenjang pendidikan tingkat SD sampai Perguruan Tinggi dan dijadikan objek analisis untuk menyelesaikan pendidikan S1 bahkan ada yang S2 dan S3. Pribadi Chairil sangat unik, berpenampilan nyentrik dan ide-ide puisinya sangat komplet. Mulai dari puisi realisme, individualis, religius sampai romantisme.

Hidup Chairil penuh kontroversi karena selain disanjung tinggi-tinggi, juga diremehkan dan dicaci maki. Cacian dan makian itu datangnya dari rekan-rekan sastrawan yang bernaung di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berseberangan dengan Lembaga Kebudayaan Nasional, di mana Chairil ada di dalamnya. Lekra sebagai organisasi kebudayaan di bawah PKI waktu itu menuduh karya-karya Chairil sebagai hasil plagiat dari penyair-penyair asing. Melalui sajak “Aku”, Chairil kelahiran Medan tanggal 22 Juli 1922 dicap sebagai pribadi yang super-ego oleh Lekra karena bertentangan dengan paham PKI yang beraliran realisme sosialis.

Walaupun Chairil berada di barisan LKN, ia tidak terlibat dalam politik praktis. Namun Lekra tetap saja menilainya sebagai orang yang perlu diwaspadai. Dalam salah satu suratnya pada 1944 kepada HB Jassin, ia secara tegas mengatakan bahwa kesenian dan kesusastraanlah yang menjadi pilihan hidupnya. Pernyataan itu menyiratkan bahwa ia tidak akan memilih hidup sebagai politikus. Paling tidak sampai akhir hayatnya, Chairil tetap konsisten dengan ucapannya tersebut. Ia meninggal dalam usia yang relatif muda (27 tahun) pada 28 April 1949.

Pertimbangan-pertimbangan tersebut cukup kuat memberikan alasan, sehingga peringatan Hari Sastra jatuh pada hari wafatnya Chairil, bukan pada sastrawan lainnya. Banyak kritikus sastra seperti A.Teeuw dan HB Jassin yang menilai puisi-puisi Chairil tidak pernah kering dan selalu menarik untuk dikaji dari perspektif apapun. Karya-karya Chairil dan kehidupan pribadinya dapat diidentikkan dengan ucapan filsuf Toynbee yang mengatakan, orang besar ialah ia yang memberi respon jawaban atas masanya yang penuh tantangan.

Begitu pentingkah Hari Sastra diperingati? Hari-hari penting bersejarah dan nasional sifatnya, di Indonesia cukup banyak. Di luar itu juga ada Hari Lingkungan Hidup, Hari Tani, Buruh, Nelayan, Palang Merah, Pramuka, Ibu dan lain-lainnya. Bahkan belum lama ini untuk pertama kalinya diresmikan Hari Musik Nasional (HMN) yang dicanangkan Presiden Megawati Soekarnoputri. Peringatan hari-hari penting itu mempunyai dasar pemikiran dan sejarahnya tersendiri termasuk Hari Sastra.

Eksistensi Sastra

Melalui peringatan Hari Sastra diharapkan pemerintah maupun masyarakat luas mengakui keberadaan dan eksistensi sastra nasional. Perkembangan sastra Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Ketika Belanda menjajah bangsa ini, ketika itu muncul sastra Hindia Belanda. Kesusastraan Indonesia Modern baru dimulai tahun 1920-an, berbarengan pula dengan rasa kebangsaan dan kebangkitan nasional yang dimulai tahun 1908 sampai Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dalam periode itu muncullah sastra angkatan Balai Pustaka. Setelah itu muncul angkatan Pujangga Baru yang identik dengan masuknya pengaruh Barat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Karya-karya sastra pun mengangkat tema-tema yang berkembang di masyarakat antara tradisi dan modernisasi. Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 juga menyiratkan perkembangan yang hampir sama dengan munculnya sastra Angkatan 45. Masyarakat Indonesia ingin bebas menentukan nasibnya, tanpa dijajah lagi oleh bangsa lain. Situasi seperti ini tampak juga dalam karya-karya puisi Chairil Anwar seperti “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Antara Kerawang dan Bekasi”, “Aku”, serta “Diponegoro”.

Dalam sastra Indonesia dikenal Angkatan 66. Kesusastraan zaman ini tidak bisa dilepaskan dari realitas sejarah waktu itu. Orde lama tumbang setelah mahasiswa turun ke jalan melakukan demonstrasi. Gerakan 30 September PKI berhasil dilumpuhkan oleh kekuatan yang kemudian menamakan dirinya Orde Baru. Momen-momen seperti itu banyak dijadikan latar penceritaan oleh para sastrawan berupa puisi, cerpen maupun novel. Demikian juga perjuangan reformasi sekarang ini akan menjadi inspirasi yang menarik bagi para sastrawan untuk menuliskan penanya.

Benang Merah

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka telah ditemukan “benang merah” antara sejarah bangsa ini dengan karya sastra. Hal ini sejalan dengan teori sosiologi sastra yang menilai bahwa sastra tidak bisa dilepaskan dari realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sastra, menurut teori ini, merupakan cermin kehidupan masyarakat. Mempelajari sastra berarti juga menyelami hidup dan kehidupan, sehingga sastra sangat penting untuk dibaca.

Peringatan Hari Sastra seperti di awal tulisan ini berarti mengingatkan kita pada dua hal yakni sejarah bangsa dan sastra itu sendiri. Sastra yang belakangan ini kian terpuruk, perlu dibangkitkan dari keterpurukannya. Salah satu upaya dengan mengangkat tradisi lama tahun 1950-an melalui peringatan Hari Sastra Nasional. Tonggak peringatan yang bertepatan dengan hari wafatnya Chairil Anwar, bukanlah untuk mengkultuskan penyair itu. Tetapi untuk menghargai dan mengenang jasa-jasanya dan juga jasa sastrawan lainnya.

Melalui peringatan Hari Sastra Nasional setiap tahunnya, kegairahan bersastra akan muncul. Sementara ini yang terkait dengan sastra secara nasional, kegiatannya digandengkan dengan bulan bahasa pada Oktober bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Kegiatan yang bersifat “titipan” itu tentu sangat tidak menghargai eksistensi sastra nasional kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *