Percintaan Empat Puluh

Muhammad Muis
lampungpost.com

HARI masih pagi benar. Sesekali masih terdengar kokok-kokok ayam dari seputar rumah dan kebun-kebun penduduk. Burung-burung riang bercericit gembira beranjak dan terbang dari sarang-sarangnya dan mulai beterbangan kian kemari, bersenda gurau menyambut pagi, menyambut hari baru. Halimun masih menyelimuti desa kecil itu. Di ujung pematang, di kejauhan, di antara rimbun pepohonan, belukar, dan gunung yang kekar sang mentari belum tegas memperlihatkan garang sinar emasnya, seakan masih malas beranjak dari peraduannya. Sisa-sisa kabut masih menari-nari di seputar ujung-ujung pucuk-pucuk dedaunan dan hutan pinus nun di ujung kampung. Rasa dingin masih menusuk hingga ke tulang-tulang sumsum.

Sudah dua hari aku mudik. Pagi ini, selesai salat subuh aku berolahraga dengan berjalan-jalan mengitari seantero desa dengan menyusuri jalan-jalan setapak menuju persawahan. Bertahun-tahun aku tak pernah lagi pulang kampung. Kata kawanku, Jakarta telah memesona dan memenjaraku di perutnya, aku sudah lupa kampung halaman. Kubenamkan dalam-dalam kerinduan yang memuncak itu. Ah, mereka takkan pernah bisa mengerti.

Kisah ini terjadi dua puluh satu tahun yang lalu.

Adalah Jamilah nama perempuan itu. Tujuh belas tahun usianya kala itu, hanya terpaut sedikit dari usiaku. Aku kelas tiga SMA dan ia kelas satu. Tujuh belas, sweet seventeen, saat bunga semerbak harum dan ranum nan segar siap dipetik. Banyak kumbang yang ingin berlaga untuk mencium segar wangi bunga itu, bahkan ingin memetiknya.

Jamilah gadis berkerudung. Pink adalah jilbab kesukaannya. Oval wajahnya, bangir hidungnya, teduh tatap matanya, tipis bibirnya, putih mulus kulitnya, gembira air mukanya, dan seolah bercahaya wajahnya. Paras bercahaya dalam balutan jilbab itu kuyakin karena sering dibasuh dengan air wudu. Jamilah adalah seorang muslimah yang taat. Siapa pun mengakui itu. Ia adalah sebuah pesona. Pesona itu bukan hanya nama yang indah: Jamilah bermakna ?indah, cantik?, tetapi juga pada tingkah dan tutur katanya, yang akan memenjara lelaki mana pun yang melihatnya dengan hiasan senyum manis yang kerap tersungging dari bibir mungilnya.

Hari itu, dua puluh satu tahun yang lalu, ketika pagi-pagi aku bersepeda ke sekolah, Jamilah, seperti biasa, menyapaku. Entah mengapa, kali ini, perasaanku amat lain. Ada sesuatu yang takkan dapat kulukiskan dengan kata-kata tentang itu. Sapaan dan senyum manisnya pagi itu seolah membuat dunia berhenti sejenak berputar, seakan kali ini dunia berada di bawah kuasaku, dunia seakan berpihak padaku. Bunga desa itu benar-benar menjerat dan memenjarakan dalam pesona kecantikan Cleopatranya. Aku terkesiap, darah seolah berhenti mengalir, detak jantung bagai diam, dan perasaan luar biasa aneh menjalari sekujur tubuh. Aku serasa memilikinya, serasa memiliki dunia seisinya. Orang lain seakan mengontrak saja di dunia ini. Rasanya aku limbung dan hampir terjatuh dari atas sadel sepedaku. Jarak 15 km ke kota pagi itu kutempuh serasa amat cepat. Benar-benar aku tak hirau akan letihku.

“Assalamu?alaikum…!”

Sebuah salam menyentakkanku di pagi itu. Aku pun menoleh.

“Wa?alaikum salam.”

Saat mencapai persimpangan jalan itu aku terkejut bukan buatan ketika mendengar ucapan itu. Perempuan muda berjilbab pink itu seakan memutarkan video kenangan masa lalu kami yang indah, sebuah nostalgia masa remaja. Akan tetapi, dalam nostalgia itu juga ada kepedihan.

Dua puluh satu tahun sudah cinta membenamkanku di bawah telapak kakinya. Selama itu pula sudah cinta itu membuatku bertahan menahan rindu dendam tak terperi padanya, juga kerinduan pada keluarga dan kerabatku.

Wajah perempuan itu kupastikan tidak banyak yang berubah: masih tetap cantik, seperti dulu. Yang begitu tampak nyata pada wajah itu adalah bercak hitam yang membekas di dahinya. Aku tahu, tanda itu adalah bekas sujudnya. Selain itu, tatapan mata yang dulu demikian tenang dan teduh kini tampak semakin teduh. Ia kelihatan semakin dewasa, matang, dan seakan kenyang dengan penderitaan. Melihat tatapan teduh itu, yang sesekali menatap ke arahku, aku hampir tidak kuat berdiri di atas kedua kakiku. Aku seakan-akan hampir ambruk. Tuhan, tolonglah hamba….Serasa ingin aku berenang dalam keteduhan dan ketenangan telaga bening itu. Satu tatapannya pagi itu tak dapat kuceritakan maknanya, hanya ia dan Tuhanlah yang tahu.

Di depannya sering aku tidak sanggup untuk banyak berkata-kata dan menatap ke dalam kedua bola matanya. Sejujurnya, aku malu bahwa pada usiaku yang sudah kepala empat ini dadaku masih berdegup begitu keras di depan perempuan berjilbab merah jambu ini. Aku malu, ini seperti anak ABG, tetapi aku tak kuasa menghindarinya.

“Apa kabar?” tanyanya.

“Baik,” jawabku, singkat. “Dan kau?”

“Alhamdulillah, baik juga.”

Aku berhenti melangkah.

“Kapan kau tiba?”

“Kemarin.”

Ia diam.

“Mau ke mana?” tanyaku kemudian.

“Ke sawah, biar belum begitu panas.”

“Tidak dengan bapak dan ibu?”

“Sebentar lagi ibu menyusul, masih repot.”

“Oh….”

“Aku sudah dengar dari adikmu bahwa kau akan pulang.”

Aku diam.

Kulihat ia menatap ke hampir sekujur tubuhku. Dari sepatu sportku hingga topiku tak luput dari tatapnya. Ia lalu membuang pandangannya ke arah kejauhan, ke arah sang surya yang mulai beranjak naik.

“Kau masih rajin olahraga seperti dulu.”

Aku mengangguk.

“Coba kaulihat pohon besar tua itu,” katanya sembari menunjuk sebuah pohon besar dan tua. Wajahnya berbinar gembira. Ia seakan ingin membawaku pada kenangan masa lalu.

Di tempat yang tidak jauh dari pesantren itulah aku, Jamilah, dan kawan-kawan kami sering bermain-main tatkala lelah belajar dan mengaji di masa remaja kami.

Aku memilih-milih kata dan kalimat yang tepat untuk melanjutkan perbincangan dengannya. Ah, diksiku sering tidak pas dan kata-kataku sering macet tanpa sebab jika berdiri di depannya, sejak dulu. Heran, sejak SMA sukar sekali kata-kata kupilih pabila bertemu dengannya. Dari senyumnya pagi ini, kuduga, ia masih mengingat semua itu.

“Bagaimana pekerjaanmu?” pancingnya.

Aku tersenyum.

“Alhamdulillah, baik.”

“Kudengar kau jadi peneliti dan dosen di Jakarta.”

Aku mengangguk.

“Aku gembira mendengarnya…. Kau hebat.”

Aku terdiam sembari tersenyum-senyum mendengar pujiannya.

Beberapa kata berebut ingin keluar dari benakku, bersidesak. Aku merasa tertekan dan kesusahan dibuatnya.

“Putrimu?” tanyaku, malam itu, di ruang tamu rumahnya.

Perempuan muda itu mengangguk.

“Berapa usianya?”

“Lima tahun,” jawabnya.

“Hanya satu?”

Jamilah, perempuan itu, mengangguk.

“Pak kiai mana?” tanyaku.

Ia diam. Ia membuang pandangannya ke luar, ke halaman luas di depan rumahnya. Kemudian, ia menoleh padaku. Di atas pipi putih mulus yang dibungkus jilbab itu kulihat butiran bening air mata mengalir. Ia menyekanya dengan sapu tangan, lalu menyeka hidungnya juga yang tampak tiba-tiba seakan beringus.

“Ia menyampaikan salam untukmu sebelum ia pergi, ia meminta maaf… setelah ia tahu,” suaranya datar dan agak tertahan. Ada nada kesedihan dan kegetiran di sana.

Aku tersentak.

“Maksudmu?” tanyaku tidak mengerti.

“Beliau sudah wafat setahun yang lalu.”

Aku terhenyak lemas di atas kursi tamu di ruang tamu rumah orang tua Jamilah itu.

“Mengapa aku tak diberi tahu? Mengapa tak satu pun yang memberi tahu?”

“Mereka tak mau membuatmu semakin sedih,” ibunda Jamilah yang sejak tadi diam ikut bicara. “Pernikahan Jamilah dengan Pak Kiai lama baru dikarunia anak, yang hanya semata wayang ini.”

Aku terdiam. Tanpa kusadari, air mata pelahan titik jua dari kedua bola mataku, tak mampu kutahan-tahan. Pikiranku menerawang. Kiai Haji Abidin Abdul Malik adalah guru mengajiku, ustaz tempat kami bertanya tentang Islam. Beliau adalah ulama terpandang dan pengasuh sebuah pesantren–tempat aku, Jamilah, dan banyak santri lain belajar agama. Sebenarnya, aku bukan santri, tetapi aku dan banyak kawanku belajar mengaji di sana.

Walaupun sudah hampir satu tahun ditinggal mati istrinya tercinta, demi dua anaknya, Pak Kiai belum juga mau menikah sebab ia takut istri baru akan kurang perhatian pada kedua anaknya yang ketika itu juga masih kecil-kecil. Akan tetapi, putusan yang kemudian diambilnya adalah … melamar Jamilah, muridnya.

Hanya Tuhan, aku, Jamilah, dan keluargaku yang tahu bahwa aku dan Jamilah saling mencintai. Akan tetapi, Pak Kiai sama sekali tidak tahu-menahu hal itu. Kidung cinta itu tersimpan begitu rapi hingga tak banyak yang tahu. Percintaan itu memang hanya lewat surat. Aku ingat ketika keesokan harinya seorang sahabatku mengantarkan surat merah jambu dari Jamilah memohonkan maafku atas penerimaan orang tuanya atas lamaran Pak Kiai.

Di atas semua itu, aku mencintai dan menghormati guruku, Kiai Abidin. Akan tetapi, pada sisi lain, aku pun mencintai Jamilah sepenuh hati. Aku tak kuasa menghalangi pernikahan itu. Jamilah pun tak kuasa menolak pinangan itu.

Aku pun remuk redam. Aku membuang diriku sebagai orang yang hancur oleh cinta. Beruntung kala itu kami sudah menjelang tamat SMA sehingga memungkinkanku pergi jauh dari kampungku. Jakarta adalah tujuanku.

“Jangan sedih, Nak…,” ibunda Jamilah membuyarkan lamunanku. “Allah memang sudah berkehendak demikian, semoga almarhum mendapat tempat yang layak di sisi-Nya.”

Aku diam. Satu demi satu orang-orang yang kusayang menghadap-Nya. Hidup ini benar-benar bagai musafir yang berhenti sejenak di bawah pohon, lalu beranjak pergi lagi untuk sebuah perjalan lain yang lebih panjang.

“Mengapa engkau tak menikah lagi, Jamilah?” tanyaku, seperti keceplosan. Tiba-tiba aku merasa malu dan bersalah setelah mengucapkan kata-kata itu, yang kunilai kurang patut.

Jamilah diam seribu basa. Namun, sekilas kutangkap rona bersemu merah di wajahnya, wajahnya agak berubah. Ia lalu membuang mukanya.

“Katanya dia telah bersumpah, takkan mau menikah lagi sebelum melihat engkau pulang ke kampung kita ini, sebelum ia bertemu engkau lagi,” jawab ibunya.

Aku tersentak. Aku tidak mengira akan mendapat jawaban itu.

“Engkau sendiri, mengapa belum menikah juga, padahal usiamu sudah kepala empat, Nak?”

Pertanyaan ibunda Jamilah itu tak mampu kujawab.

Malam itu aku kembali ke rumah orang tuaku. Namun, aku mulai ragu apakah besok pagi aku akan segera kembali ke Jakarta atau memperpanjang cutiku. Di tangga dekat teras, ibu, Jamilah, dan putrinya mengantarku. Malam itu, aku merasa tenggelam dalam telaga cinta tatkala melihat tatap lembut mata perempuan berjilbab pink dan gadis kecil tanpa ayah yang melambaikan tangannya itu. Rasanya, aku ingin hidup seribu tahun lagi.

Jakarta–Lampung, 2009/25 Feb 2010

One Reply to “Percintaan Empat Puluh”

Leave a Reply

Bahasa ยป