Puing-puing

Muhammad Amin
http://www.lampungpost.com/

ADA sekelumit hati yang merindukan rumah. Merindukan sebuah bangunan yang bisa ditinggali bersama keluarga. Tapi kapankah? Bukankah harapan itu hanya sia-sia. Karena tak ada lagi orang tua, tak ada lagi suasana rumah seperti dulu. Tak ada kenangan masa kecil. Segalanya telah runtuh menjadi puing.

Dia–seorang anak muda, melihat puing-puing berserakan. Di mana-mana. Di wajah orang tua. Di tanah kering. Ombak pecah jadi puing. Ranting patah jadi puing. Air mata luruh jadi puing. Hujan jatuh jadi puing. Sengketa usai jadi puing. Tawa berderai jadi puing.

Dia ingin punguti satu per satu serakan puing. Namun tak kan pernah usai.

***

Beberapa hari sebelum puing, di sebuah kampung.

Musim subur. Bunga-bunga mekar, rumput-rumput hijau, burung-burung berkicau, dahan-dahan kukuh, buah-buah ranum. Seorang anak lelaki dan perempuan berlarian di halaman.

“Nak, jangan jauh-jauh mainnya.”

“Ya, Bu. Kami takkan jauh.”

“Lebih baik tengoklah ayahmu di ladang, antar makanannya. Jangan lupa bawa sayuran yang dipetik ayahmu.”

“Baik, Bu.” Sang anak melaksanakan perintah ibunya.

Di sebuah keluarga lain di rumah yang sama.

“Gantilah pakaianmu, kita akan ke pasar sekarang.”

“Ke pasar mau membeli apa, Bu?”

“Mau beli bumbu masakan dan peralatan lain.”

“Baik, Bu.”

Di sebuah keluarga lain di rumah yang sama.

“Bujang, mari kita ke laut menangkap ikan.”

“Bawa pancing, Yah?”

“Bawa tombak dan panah saja.”

Lalu ayah dan anak itu berangkat ke laut, menyusuri garis pantai, menombak, dan memanah ikan-ikan besar.

“Sudah cukupkah ini, Yah?”

“Cukup. Dengan ikan sebanyak ini kita bisa membagi pada tetangga. Walaupun kita masih bisa dapat ikan lebih banyak, tapi kita harus memikirkan hari esok dan lusa. Biarkan ikan-ikan itu bertambah besar dan beranak-pinak lagi.”

“Mari kita pulang, Yah?”

“Ya, mari kita pulang.”

Keduanya pulang membawa sekeranjang besar ikan-ikan segar. Sebagian diberikan pada tetangga, sebagian dimasak oleh perempuan di rumah. Lalu disiapkanlah makanan dan hidangan untuk makan malam yang akan disantap bersama seluruh keluarga di rumah besar ini.

Di sebuah keluarga lain di rumah yang sama.

“Mari kita ke hutan, Nak.”

“Untuk apa, Yah?”

“Kita akan berburu kijang atau menjangan.”

“Kita bawa senapan?”

“Tidak usah. Bawa perangkap saja. Senapan akan menakut-nakuti mereka.”

Keduanya berangkat menyusuri tepi hutan mencari jejak binatang buruan, kemudian memasang perangkap di balik semak. Tak perlu waktu lama, seekor menjangan terjerat dalam perangkap.

“Cukupkah satu ini saja, Yah?”

“Cukup. Biarkan yang lain hidup tenang di dalam hutan, tumbuh besar dan bertambah banyak lagi.”

Keduanya pulang memikul seekor menjangan. Sampai di depan rumah, menjangan disembelih dan disaksikan orang ramai. Banyak anak-anak yang menonton. Sebagian daging dibagikan. Sebagian dimasak untuk makanan esok dan hidangan seluruh keluarga nanti malam.

Di sebuah keluarga lain di rumah yang sama.

“Mari kita ke kebun, Nak.”

“Mau mengambil apa, Yah?”

“Kita akan mengambil buah jeruk, pisang dan ubi buat esok dan hidangan nanti malam.”

Keduanya berangkat ke kebun, memetik buah jeruk, menebang pohon pisang dan menggali ubi. Semuanya dimasukkan ke masing-masing keranjang.

“Cukupkah ini, Yah?”

“Cukup. Biarkan yang lain untuk esok lusa. Cabuti rumput di dekat pohon jeruk dan pisang itu, biar mereka juga berterima kasih dan berbuah banyak. Tanami lagi ubi yng sudah dicabuti.”

“Baik, Yah.”

Malamnya seluruh keluarga berkumpul di sebuah ruang besar, menghadapi hidangan makan malam. Tertata dan tersaji mengundang selera: sop dan sate menjangan, ikan dengan beraneka menu, sayur dan buah-buahan. Mereka makan malam dengan bahagia dan keakraban keluarga.

***

Beberapa jam sebelum puing, di sebuah pusat kota.

Seorang anak muda turun dari atas tangga dengan terburu-buru.

“Ardi. Kau sudah makan, Nak?”

“Belum, nanti aku makan di luar saja. Teman-temanku sudah menunggu, Bu.”

“Makan dulu di sini walau sedikit. Nanti kamu sakit.”

“Tidak Bu, aku buru-buru.”

Anak muda bernama Ardi itu keluar membawa mobilnya ke sebuah pesta ulang tahun teman perempuannya. Mereka berpesta hingga larut. Pukul 02.00 Ardi pulang, kemudian masuk kamar, dan tidur.

Sungguh kejadian luar biasa itu tak terduga. Dan terjadi amat cepat. Rumah bergetar. “Ada guncangan…” teriak Ardi dalam hati, dalam mimpi. “Ada guncangan…” teriaknya sekali lagi dalam keadaan setengah tidur.

“Gempa…” ia terhenyah dan bangun seketika.

Dinding-dinding retak dan patah. Lampu padam dan gelap. Suara kaca pecah. Suara jerit kepanikan.

Ardi panik. Dinding dan plafon rumahnya runtuh. Ia tertimpa di bawahnya. Ardi selamat. Ia masih mampu bernapas dan bertahan hidup. Dia tahu ini bencana alam. Ini bencana. Ada gempa bumi!

Dia teringat orang tua dan adik-adiknya. Bagaimana keadaan mereka?

Ardi tak dapat bergerak di bawah reruntuhan rumahnya.

***

Ardi tak dapat bergerak. Kaki sebelah kakannya terjepit reruntuhan. Reruntuhan beton yang tak dapat disingkirkan.

Dia berteriak. Menjerit. Rasa sakit menderanya.

Seorang lelaki muda menemukannya. Dia menolong Ardi, tapi ia tak mampu mengangkat beban yang amat berat itu sendirian. Dia berusaha sekuat tenaga, tapi beban tersebut sulit disingkirkan dengan tenaga manusia. Lelaki muda itu tak berdaya. Lelaki muda itu kasihan melihatnya.

“Tolonglah, Pak. Bantu saya, kaki saya sakit sekali. Saya ingin segera keluar dari tempat ini. Saya takut ada gempa lagi. Tolong saya…”

“Saya sudah berusaha sekuat tenaga, tapi beban itu sangat berat. Saya akan berusaha mencari bantuan dulu.”

“Tunggu, Pak. Kalau cari bantuan akan sangat lama. Saya minta tolong, ambilkan saya gergaji tangan di sekitar tempat ini.”

“Gergaji tangan buat apa?”

“Saya sudah tak kuat, Pak. Kaki saya hancur, saya tak bisa berjalan lagi. Lebih baik saya memotongnya dan melepaskan diri sekarang dari tempat ini.”

“Jangan berbuat nekat begitu, Nak. Kita cari cara lain.”

“Tolonglah Pak, tak ada cara lain. Saya sudah tak kuat.”

Lelaki muda itu bimbang. Ia tak tega membiarkan anak muda itu memotong kakinya sendiri. Sementara ia juga tak tega melihatnya merintih menahan kesakitan sepanjang hari di antara reruntuhan rumah.

“Tolonglah saya, Pak. Lepaskan saya dari penderitaan ini. Saya akan sangat berterima kasih jika bapak mau membantu saya.”

Akhirnya dengan perasaan bimbang lelaki itu menuruti permintaan Ardi. Namun ia tak tega menyaksikan peristiwa mengerikan itui: seorang anak muda memotong kakinya sendiri.

***

Beberapa saat setelah puing.

Semua merasakan getarannya. Bahkan mereka sempat terbangun dan berteriak membangunkan semua keluarga, kemudian berhamburan keluar rumah.

***

Beberapa hari setelah puing.

Seorang anak muda menangis manatap puing-puing rumahnya, meratapi ketiadaan orang tuanya. Mengenang masa indah, mengenang suasana rumah yang selama ini ia abaikan. Selama ini ia selalu sibuk dengan kegiatannya sendiri.

Ardi tak dapat berebutan bantuan seperti yang dilakukan oleh orang-orang. Banyak orang-orang telantar dan kelaparan.

Beberapa hari setelah gempa, sering terjadi penjarahan. Mereka menggunakan kesempatan untuk mencari barang-barang berharga.

Ardi merindukan rumah, merindukan suasana rumah. Merindukan kekuarga, merindukan kebersamaan keluarga. Dia ingin punguti puing-puing berserakan agar terobati hatinya.

Ardi teringat cerita ibunya tentang kampung yang subur dan makmur ketika kecil dulu. Dia merindukan kebersamaan seperti yang diceritakan ibunya.

Angin sore yang gersang berembus kencang. Ada sekelumit hati yang merindukan masa silam. Manginginkan masa yang tak dapat diputar lagi.

Puing-puing itu makin luas terhampar, seolah tak habis-habis.

Kotaagung, 2010

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *