Puisi Amir Hamzah Bukan Sastra Sufi


(Amir Hamzah di Tanjung Pura, Sumatera Utara, foto dari Tempo)

Kurniawan
tempointeraktif.com

Meskipun selama ini puisi-puisi sastrawan Pujangga Baru, Amir Hamzah, sering dimasukkan sebagai karya sufistik, pengamat sastra Arief Bagus Prasetyo cenderung menolaknya.

“Amir Hamzah bahkan dimasukkan dalam antologi sastra sufi yang disusun oleh Abdul Hadi W.M.. Tapi, menurut saya, Amir Hamzah menjadi satu-satunya pengarang yang bukan sufi dalam antologi itu,” kata Arif dalam diskusi “Mendaras Amir Hamzah” di Freedom Institute, Jakarta, Kamis (24/6) malam. Acara yang dipandu Nirwan Dewanto itu juga menghadirkan Sapardi Djoko Damono sebagai pembicara.

Buku Sastra Sufi: Sebuah Atologi karya Abdul Hadi itu memuat karya-karya penyair mistikus dan filsuf Islam terkemuka, seperti Jalaludin Rumi, Al-Hallaj, Rabiah Al-Adawiyah, Hamzah Fansuri, Yasadipura I, Yasadipura II dan Raja Ali Haji.

Arif juga mengutip pandangan Goenawan Mohamad yang menekankan keresahan Amir Hamzah dalam hubungannya dengan Tuhan sebagai masalah pokok dalam karya Amir. A Teeuw, kata Arif, juga mengakui hubungan Amir dengan kesastraan sufi.

Namun, Arif menunjukkan bahwa ada kontras yang nyata antara puisi sufistik dan puisi Amir. Dia mengutip “Syair Perahu” karya Hamzah Fansuri yang menyatakan “Hamba dan Tuhan tiada berbeda sebagai ekspresi persatuan penuh antara Tuhan dan manusia. Tapi, puisi “Turun Kembali” karya Amir justru mempertanyakan persatuan mistis itu (“Adakah begini jadinya/aku hamba engkau penghulu”) dan kemudian disangkal (“Aku dan engkau berlainan”).

Menurut Arif, kumpulan puisi Nyanyi Sunyi karya Amir mengantisipasi lahirnya puisi-puisi yang disebut Afrizal Malna berspirit “teologi-tanpa-bersama-dewa” dalam khazanah sastra Indonesia. Sejak Amir, terbentang jalan panjang kesunyian teologis, suatu kontinum religiusitas penuh luka, yang dilalui banyak penyair, seperti Chairil Anwar, Surtardji Calzoum Bachri, dan Acep Zamzam Noor.

Adapun Sapardi menampilkan puisi Amir Hamzah sebagai puisi gelap. “Bukan karena puisi Amir sukar dipahami karena belum menguasai sepenuhnya bahasa Indonesia, tapi justru oleh penguasaan tingkat tinggi,” kata penyair yang puisinya paling sering dikutip di kartu undangan perkawinan itu.

Sapardi mencontohkan puisi “Hanya Satu” karya Amir yang dimuat dalam antologi sajak “Puisi Baru” yang disusun Sutan Takdir Alisjahbana. Takdir merasa perlu memberi 10 catatan kaki untuk puisi itu, terutama untuk arti kata yang dianggap sulit oleh pembaca karena arkhaik.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป