Sabrank Suparno
Ada pergeseran metode (cara belajar) baru di jama’ah ma’iyah. Ini dapat kita tarik dari cara penyampaian Cak Nun pada forum pencerahan di berbagai tempat sebelumnya, baik Padhang Mbulan, BBW dan lain-lain. Kalau pada forum-forum sebelumnya Cak Nun dan beberapa pembicara yang hadir berpresentasi dengan dasar orientasi “kesimpulan,” tetapi sejak tertanda pengajian Padhang Mbulan tanggal 02 Nopember 2009 kemarin, pokok-pokok pembahasannya di dasarkan atas riset dari permasalahan para jama’ah.
Cak Nun mengawali pengajian Padhang mBulan dengan melemparkan pertanyaan pada jama’ah. Agar tidak terlalu lebar pokok bahasannya, Cak Nun langsung melontarkan pertanyaan yang terkait hangat dengan kostelasi perpolitikan dan psikososial nasional. “Apa sih, fungsi adanya birokrasi di Indonesia sekarang, dalam keterkaitannya dengan kehidupan anda sehari-hari?” Lemparan pertanyaan Cak Nun kemudian yang dipertegas lagi dengan uraian lebih jlentreh.” Fungsi keterkaitan ini seberapa prosentasenya dalam 24 jam hidup anda?”. Pertanyaan ini dimaksudkan agar jama’ah mampu menghitung ulang tiap permasalahan lebih spesifik. Misalnya tidur kita, kencing, berak, shoping, makan, minum tidak terkait sama sekali dengan adanya pemerintahan. Pertanyaan Cak Nun yang “ndemel” ini ternyata mampu ‘menyongkar balik’ pemahaman masyarakat Indonesia yang selama ini menganggap bahwa adanya birokrasi adalah penentu segala-galanya dalam hidup. Dan bahkan ada yang memahami bahwa birokrasi sebanding dengan “Tuhan.”
Pertanyaan Cak Nun itupun di sambut geleter bertubi-tubi dari jama’ah yang datang dari berbagai wilayah di Jatim (Tuban, Blitar, Tulungagung, Kediri, dll). Tentu saja para penanya ini mengusung berbagai keresahan yang mereka sikapi dari tempat mereka tinggal. Dari 15 penanya inilah kemudian Cak Nun membongkar wacana keilmuan secara lugas dan radikal.
“Masyarakat Indonesia sekarang, tidak lagi memiliki kengerian terhadap sesuatu gejala yang telah mengancam kehidupannya, meskipun gejala itu sudah taraf menghancurkan nilai hidupnya dan bahkan anak-anak mereka dan sejarah”. Seru Cak Nun dengan ciri khas Kiai mBselingnya. Penghancuran nilai peradaban kita sekarang, diserang dari berbagai lini. Terutama yang berjalinan dengan menu “life still” masyarakat, terutama di bidang industri media masa (koran dan televisi). Cobalah kita berfikir sejenak! Berapa prosenkah suguhan acara televisi yang benar-benar bermutu dan berarti lebih untuk perbaikan suatu bangsa. Padahal Indonesia tergolong negara underkapita dari skala moneter global, televisi dan koran di negeri ini tak lagi berfungsi sebagai sarana transformasi nilai luhur dari masyarakat. Para pelaku media justru terkungkung pada orientasi proyek bisnis semata. Akibatnya segalanya diukur berdasarkan barometer untung dan rugi. Demi keuntungan, media tak perduli lagi meskipun menjadi mesin penghancur predator nilai anak bangsa. Inilah situasi yang mengancam etitude moral anak bangsa mendatang.
Sisi lain yang mengancam ketahanan bangsa ini adalah alur politik yang terterap. Masih hangat dalam ingatan kita pascademokrasi tiap pemilihan wakil rakyat. Berpuluh-puluh milyar uang negara dihabiskan untuk membiayai hak asasi pemilih. Masyarakat dimobilisasi berduyun-duyun menyampaikan aspirasi berdasarkan partai yang mewakilinya. Bahkan tak sedikit pemilih yang anti partai lain. Akan tetapi apa kenyataan sekarang yang terjadi? Para pemimpin partai sekarang justru terjangkit demam mental, saking bobroknya pemimpin partai yang mereka pilih, sampai begitu rendah memaknai arti Bhineka Tunggal Ika. Dalam pandangan mereka berbeda-beda partai hanya satu tujuannya : yakni menjilat satu titik’aman kekuasaan’ bersama demi istana. Demi kekuasaan, mereka rela menukar martabat partainya dengan sistem koalisi besar dengan partai incumbent. Pada periode kepemimpinan yang lalu, belumlah mencukupi dalam tatanan menejemen pemerintahan yang layak bagi bangsa Indonesia.
Mata dadu legislatif usai dikocok. Kita semua mengetahui para menteri negara bekerja tidak sesuai dengan profesionalisme di bidangnya. Mereka bagai sayap-sayap kupu yang beterbangan, dan kemudian terkelungkup hinggap di satu menara, yaitu menara hierarki kekuasaan dengan corak hegemoni tanpa kontrol kinerja partai oposisi. Lantas apa yang akan terjadi dengan sistem demokrasi mengerucut semacam ini? Cepat atau lambat, kencang atau perlahan, angin otoritari akan berhembus mengikis habis hijau ranau kesuburan hak asasi rakyat yang mulai tumbuh dari benih kesadaran berpolitik. Dan yang lebih parah lagi adalah ketidak berdayaan masyarakat, meskipun masyarakat menyadari bahaya arus demokrasi sedang megancam hak asasinya.
Bukan hanya skala nasional saja yang akan mengalami pembusukan nilai. Bahkan percaturan poltik internasional, diam-diam sedang merancang penghancuran massal demi unjuk gigi keperkasaan negaranya. Negara-negara mutakhir sengaja membiayai besar-besaran pembuatan rudal penghancur massal. Dibidang moneter global juga di susun penjajahan saham monopoli-oligopoli yang dikemas dalam baju neolib, yang sudah barang tentu akan membeli seluruh harta negara melalui sistem kredit, barter, dengan produksi negaranya. Pengembatan harta besar-besaran sudah terbukti mampu meraup kekayaan tender pemerintah sampai kantong rakyat jelata, dari fasilitas kiai sampai hasil panen petani. Bidang kebudayaan juga di suguhi paketan film dengan omzet tinggi bagi pertelevisian Indonesia yang mau memutar filem-filem produksi Barat. Padahal alur perfileman itu sudah di desain unsur ekstrinsiknya berbau moderasi.
Setelah mengulas detail seluruh persoalan ini, Cak Nun mencoba bertanya. “kalau pemerintah Indonesia tidak mengerti kebobrokan sistem nilai ini, rakyat juga tak merasa terancam dengan pemburukan nilai ini, siapakah yang akan merevolusi Indonesia dan Dunia, agar kembali tertata?” Jawabnya hanya Alloh sendiri, yang akan “nyingkal, songkar mbédol sak oyot-oyoté”. Sedemikian pelik, ruwet dan carut marutnya pengembalian moral manusia sebagai pelestari di muka bumi ini, sampai-sampai tidak ada cara lain yang pantas bagi Alloh untuk menghancurkan segala sistem kreatifitas kelicikan manusia dalam proyek penghancuran bumi dengan cara pemusnahan massal.
Kehancuran alam yang teramat dahsyat, diperkirakan ilmuwan astronomi terjadi tanggal 21 Desember 2012. Dimana waktu itu tepat pada kurun siklus revolusi bumi, yang daya gravitasinya bertemu satu ruas dengan seluruh planet, dan bahkan bertemu satu titik pusat dengan “jegleran” terjadinya alam yang disebut Alsion.
Saking kuatnya daya tarik gravitasi dengan Alsion, bumi diperkirakan tidak berotasi beberapa saat. Saat tidak berotasi inilah, dikhawatirkan molekul atom suatu benda tidak berkohesi menurut sunnatulloh (natural). Kita bisa bayangkan jika atom c sampai bersenyawa sejenis tumpuk 4 kali = ( c4/c four) maka benda apasaja bisa meledak hebat. Lempengan bumi juga akan bergeser akibat gravitasi yang kuat, dan pasti hal ini berpotensi menimbulkan gempa
Ulah ‘kendlodokan’ manusia memang sudah memuncak. Penciptaan alat mediator pemuas ambisi dirancang dari sandal hingga rudal. Dan perlu diketahui bahwa semakin canggih alat mediator semakin pengecut pula sikap manusia. Mereka dengan mudah menghancurkan orang lain dari kejauhan dan tidak jantan berhadapan. “Sekarang ini adalah zaman yang paling rendah peradabannya” tegas Cak Nun. “Sebab dengan terciptanya rudal, millis, facebook, hp, sms, orang bisa menyerang orang lain tanpa berhadapan” tambah Cak Nun menandaskan.
Lantas apakah yang perlu dipersiapkan Jama’ah Ma’iyah khususnya, umat manusia umumnya, untuk mengantisipasi takdir alamiah di atas? Cak Nun melontarkan beberapa alternatif. Pertama, Ia meng-kaji ulang sejarah kehidupan manusia, justru mengalami ‘sosial asyik’ ketika zaman nomaden dulu (zaman jalan kaki, nyeker tanpa sandal). Zaman manusia masih berpakaian koteka. Dizaman ini tingkat ketergantungan manusia terhadap suatu alat masih relatif minim. Yang menjadi tolak ukur zaman ini adalah rasa persaudaraan kemanusiaan yang tinggi. Martabat dijunjung tingi dengan piranti naturaly. Selayaknyalah kita sekarang meniti kembali ke pola ‘traditional live’. Melakukan dibidang apa saja yang bernuansa tradisional. Kedua, hijrah atau berduyun-duyun menuju kebaikan, serta meninggalkan apa saja yang dibenci Alloh. “Di detik-detik zaman yang tidak menentu ini, sikap yang paling baik adalah puasa”, rumus Cak Nun. Dengan berbuat baik dimungkinkan sebagai wahana setor nilai baik kepada Alloh dalam kaitannya sebagai hamba. Kura-kura menarik diri kedalam rumahnya jika ada bahaya, tetapi manusia ditarik kemana? Tariklah dirimu kedalam hati, sebab disana ada ruang untuk mengembalikan diri kepada Yang Maha Memutuskan, yakni Alloh SWT.
***