http://www.lampungpost.com/
Solilokui Hamparan Gurun
akulah tubuh yang berdiam di dalam kemarau
dan setiap orang hanya melintas kemudian berlalu.
hujan hanya sekelumit
sepertiga daratan semesta, aku yang mengapit.
aku penyerap panas matahari
yang bersinar dengan benci.
aku juga penghisap dingin rembulan
yang redup dari keterasingan.
di dalam tubuhku, terdapat daratan garam
kulitku, adalah pasir dan batu curam.
angin-angin bertiup kencang
menerbangkan pasir dan menggeser batu garang.
di kulitku, ada ratusan playa kering: pecah.
dan orang-orang akan mengeruk dan membangun rumah.
rambutku adalah kaktus saguaro
tempat makhluk mengendurkan ikat pinggangnya.
burung-burung bersarang dan beranak,
kalajengking menumpuk makanan dan merebus bisanya.
kelaminku adalah oase hijau.
di situlah para musafir berkerumun:
berbincang dan mengisi botol air minum.
(Tanjungkarang, 2009–2010)
Keluh Bukit Berbatu
“aku ingin kau tahu sesuatu:
tubuhku keras berbatu
pohon segan tumbuh, mungkin juga dirimu.
dan benda-benda yang jatuh: melaju.
para pendaki sering memanjat
dan melubangi badanku
mereka adu cepat
mencapai puncakku.
puncakku, tempat memandang atap rumah
yang tak kau jumpai ketika di bawah.
tapi percayalah, puncakku adalah anganmu
anganmu, dibatasi waktu luarmu.
aku tak bergarizah
apatah lagi harus tetirah
memulihkan garit di badan
dengan menempel perban.
tak mungkin. tak mungkin aku pergi
melompati kaktus-kaktus nisan.
sebab aku tertanam di sini, dikutuk penghuni bumi;
menyelesaikan hukuman, karena tak taat aturan:
ingin tinggi sendiri.?
(Tanjungkarang, 2009–2010)
Ketika Hujan Mulai Deras
jika hujan mulai deras, menguarkan bau segar daun-daun
kemudian langit seperti batu galena,
maka dingin perlahan-lahan akan menyusup dari celah pintu:
datanglah kepadaku.
tapi jika hujan tak ada, langit seperti batu silika
rumput-rumput secokelat kayu, tanah-tanah kering
dan ular satu per satu datang ke halaman rumah.
pada saat itu, jika kau mengharapkanku,
maka aku telah berada di sampingmu.
(2009)
Cahaya Matahari
pelan dan tenang
cahaya matahari
menembus jendela kaca
(2009)
Selembar Bendera
selembar bendera
berat berkibar
di bawah guyur hujan
(2009)
Agit Yogi Subandi, lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, 11 Juli 1985. Alumnus Fakultas Hukum Unila. Kini Bergiat di Komunitas Berkat Yakin (KoBer).