lampungpost.com
Dikawinkan Kesumat
: Metri Liya Ramdhoni
pun beliau,
kita berjumpa di sini.
di pinggir jurang tempat
leluhur saling bertempur
hingga nyawa tertumpas.
seratus windu terlampau
berat untuk dikenang.
memaksa setiap cicit
sejenak menengok ke belakang.
menyimak semula riwayat
nenek moyang kami yang
terusir dari tanah mereka sendiri.
delapan ratus tahun kemudian
ku buka kembali catatan ini.
tulisan tangan puyang dalom ratu
sekeghumong dalam huruf ka ga nga.
had lappung itu sempurna
tanggal dimakan masa.
tetapi beruntung masih dapat
ku baca walau
harus terus meraba.
entah berapa ribu tangan telah
membuka wasiat keramat ini;
bau kulit kayu mencandra
kehidupan tak lazim.
pun beliau,
pertemuan kita bukan
cerita cinta
abad dua satu.
bacalah wasiat ini maka,
engkau akan insyaf betapa
perbincangan kita sepatutnya
ialah sebuah riwayat tertunda.
seandainya kau anggap
aku hilang ingatan disebab
imani sebuah surat purba
berusia delapan abad,
maka ku pohon tepikan
alam pikirmu nan kaku.
lembar demi lembar
wasiat ini runtuhkan
hujahmu tentang
kenihilan alam arwah.
lembar demi lembar
surat ini kabarkan
kisah yang tak
sepenuhnya bersemadi
di dalam tambo.
tetapi baiklah pun beliau.
aku tak hendak
memaksamu mempercayaiku.
ku hormati hakmu
mendakwaku penipu.
namun dengarlah wahai
lelaki yang ku cinta
sepenuh hati,
betapa percintaan kita
telah dinujumkan sebelumnya.
kita ditakdirkan ke dunia
sebagai peluruh segala
dendam yang pernah singgah.
tahukah engkau bahwa
di pundakku memanggul
beban masa lalu
yang tak dapat ku pikul?
cerita tentang orangorang
yang dikalahkan oleh
para pendatang.
kisah nenek moyang kami
yang terusir dari
rumah mereka sendiri.
lalu mereka harus
telah nista ini :
beralih Tuhan atau
terbunuh demi keyakinan.
orangorang pemberani
memilih mati sebagai
makhluk dewata yang taat.
sementara para pecundang
memeluk ajaran baru
tanpa sepenuh hati.
engkau mungkin pernah
mendengar riwayat nenek
moyang kami yang
tak sudi berserah
kepada Tuhan,
yang menurut mereka,
tak pernah satu.
mereka lompati jurang
di bawah tempat
kita berkencan.
“lebih baik mati
daripada menghamba
di bawah duli Tuhanmu
yang tak nampak”,
begitulah prajurit
tumi pernah berujar.
dan kau pun beliau,
adalah serbuksari
lelakilelaki
penyamun yang mengusir
nenek moyangku dari
kampung halaman sendiri.
persekutuan jahat dari
utara yang memungut
ajaran dari negeri
entah dimana.
alkisah datanglah
empat lelaki.
mereka bermunculan dari
rerimbun pokok manau.
sungging senyumnya jumawa.
ketepikan dewa dewi
leluhurku di tanah sekala.
duhai empat lelaki jumawa,
kalian tentang segala
dewa sesembahan rakyatku.
“jangan kau usik dewa dewi
kami apabila hendak kau
agungkan tuhanmu yang suci”,
seorang tetua pernah
berucap kepada
keempat moyangmu.
namun keempat lelaki
ini berwatak nyinyir
serupa beruk tertawa geli.
mereka umpat dewa dewi
pujaan leluhurku.
mulanya bisikbisik tak
kentara lalu serupa
ejekan yang tak jelas.
hingga suatu waktu yang
tepat mereka tuntaskan
hinaan tak termaafkan
kepada dewa dewi
penguasa kahyangan.
di suatu pagi yang gerah,
mereka tebang
melasa kepappang.
mereka duduki pokok
sesembahan leluhur kami
sambil bersabda lantang :
“wahai rakyat
sekala bgha,
sembahlah Allah kami
yang satu!”
sebuah tamadun
pun tumpas.
lesap satu adab orangorang
dari selatan setelah
kalah bertarung
melawan gerombolan
petualang dari utara.
kisah yang tak boleh
hinggap di telinga
anakku kelak.
pun beliau,
biarkan riwayat
keberanian pengawal
setia puyangku menjadi
teman kembara ke alam mimpi.
biarkan lesap bersama
angin watak
lanun moyangmu
yang berlagak suci.
disini kita selesaikan
perhitungan ini.
mari kita hitung bersama
segala kesumat yang
membakar segala
sumber kehidupan.
beban yang ku panggul,
bebanmu jua.
mimpi yang ku tanak
tak lain adalah mimpimu.
mendekatlah di sampingku,
pun beliau.
lingkarkan tangan
kekarmu di pundakku.
bacalah nujum puyang
dalom ratu sekeghumong
dengan sepenuh
cinta yang kita punya.
kecuplah bibirku sepenuh
rasa sebelum kembara membawa
kita menuju ranah berantah
ratu,
sejak semula nafasmu
semerbak harum
bebutir lada.
kembara orangorang
menuju selatan yang
datang dan pergi karena
pertarungan kuasa.
sejak semula wangi
darahmu siratkan
drama yang ganjil.
tentang tualang
orangorang barbar
penghuni lembah
tak berdasar.
sejak semula kita
telah dikawinkan.
oleh kesumat
penyembah berhala.
oleh kebencian
penyebar risalah.
Jambi-Hentian Kajang, Malaysia, 14-15 Juli 2009 & 2 Agustus 2009
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah, lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 15 Juli 1981. Kandidat PhD Ilmu Politik di Universitas Kebangsaan Malaysia ini merupakan staf Pengajar FISIP Universitas Lampung. Saat ini ia sedang mengikuti Fellowship Program pada Asian Graduate Fellowships Program di National University of Singapore.