Solitude

Beni Setia *
korantempo.com

SERATUS tahun lalu di sana tak ada pohon beringin. Dua ratus tahun kemudian di sana tetap tak ada pohon beringin. Meski, kata pemandu wisata, sekitar tujuh ratus tahun lalu di sana memang pernah tumbuh pohon beringin. Mula-mula kerdil, secetus biji yang terbawa burung terbang. Lalu tumbuh, besar dan rimbun sebagai gumpalan di tengah semak yang liar pada muka tanah yang bergelombang. Perkasa sebelum tua, ranggas dan melapuk, lalu menyerpih dalam proses alami. Menjadi sekedar pupuk yang menyuburkan semak, mungkin disebarkan angin dan tetap menyuburkan rumput. Ada untuk tiada dengan mengadakan yang lain, yang selama ini dirampas jatah hidupnya.

Tujuh ratus tahun lalu, apa di sana memang ada pohon beringin? Orang itu bersikukuh mengiyakan, meski mungkin itu hanya sisa ingatan–entah dari tahun mana, entah di mana–akan pohon beringin. Mungkin juga itu hanya cerita tentang tempat di mana seseorang lewat, dan (tanpa sengaja) pernah mampir. Sehingga sisa ingatan pribadi itu kini ada dalam ruang kenangan setiap orang, lebih tepatnya sebagian orang yang mau mendengar ceritanya. Dan karena itu bukannya tak mungkin cerita itu hanya angan-angan si bersangkutan, setidaknya bagi sebagian kecil orang yang tak pernah mau mempercayainya dan yang sengaja mendatanginya dan tak mendapat kesempatan melihat sisa keberadaannya. Jadi, apa pohon beringin itu memang ada? Bukankah yang kini ada kekal itu hanyalah padang semak bergelombang yang membentang sampai ke pantai berawa dan laut tak terbatas?

Angin berhembus. Hanya angin itu yang akan kekal, yang sesekali saja berhenti. Lantas kekosongan padang semak, rawa-rawa dan laut tak terbatas. Lalu rembang petang dan semacam kengungunan yang panjang. Kesunyian. Kesepian. Kesendirian dalam kamar, yang jendelanya terbuka ke arah padang semak, rawa-rawa dan cakrawala lautan tak terbatas. Nun di sana, tampak keriut gelombang. Dan telepon kamar berbunyi. Petugas front desk bilang, waktu untuk pesiar, seperti termaktub dalam jadwal harian, telah tiba. “Apa ada rencana pesiar?” ia bertanya. Aku menarik nafas. Aku mengiyakan. Bukankah lebih baik mengambil selingan ketimbang menunggu–tiga ribu lima ratus tahun menunggu.

LIFT membawaku ke lobi. Ke tengah ramai orang yang jemu menandai pilihan. Apa keluyuran di padang semak, di rawa-rawa, atau berlayar ke arah laut? Apa ikut angin menyapu seluas padang semak, rawa-rawa dan laut tak terbatas? Apa merasuki mesin waktu dan menjelajahi simulasi bermilyar tahun dalam perjalanan satu jam saja, seperti menonton film. Atau masuk ke alam fiksi manipulasi dan merasuk ke belukar penuh singa dan serigala yang berlomba-lomba memburu rusa dan kerbau? Apa masuk ke gurun dan riang ikut butiran pasir berguling-guling dihembus angin? Atau memasuki bilik kenangan pribadi dan menyusuri perjalanan hidup sendiri? Atau masuk ke mesin teleport dan singgah di sembarang tempat di sembarang waktu, lalu celingukan seperti turis asing, dan kelayapan seperti asap dihembus angin?

Meski setelah tiga ribu lima ratus tahun, apapun yang dipilih tak bisa memicu gelegak adrenalin dan gegar kejutan. Mungkin aku harus turun ke basemen, menyelinap ke terowongan dan tiba di ruang utama Gerbang Transendensi. Berkhidmat, diam-diam mengajukan permohonan tak berlisan dan tak bersurat. Bersila menunggu ada panggilan. Membuang segala kenangan dan angan-angan. Sebelum direnggutkan dan menjelma jadi tumbuhan yang mendenyarkan metabolisme biokimia, di dalam tahapan ujud minimal. Kemudian mengerut menjadi batu, dengan si diri yang pelan meninggalkan nafas. Lalu, dalam rentang milyar tahun, surut jadi apa yang tak dipikirkan dan diangankan, diserap Yang Maha Kosong di balik Gerbang Transendensi. Nun.

Delapan milyar tahun–malah lima triliun tahun–kemudian, jadi bukan apa-apa dan tak memikirkan apapun. Mungkinkah itu? Bisakah itu? Seseorang, yang pernah ditemui di bawah pohon beringin itu berkata, “Tiga ribu seratus tahun itu masih baru kemarin. Aku sudah tujuh milyar tahun, dan belum berpikir hendak ke ruang utama Gerbang Transendensi. Menistakan diri menjadi sekedar nafas dan kekosongan yang siap diserap Yang Maha Kosong. Nun di balik Gerbang Transendensi itu. Aku masih ingin mengeluyur ke mana-mana dan bisa ada di mana-mana.”

Tapi apa makna mengeluyur itu? Bila kita hanya menggelusur, memasuki ruang, dan menonton peristiwa demi peristiwa tanpa berhak berbuat apa, bahkan tanpa menyentuh. Saat setiap sentuhan akan menyebabkan kita dikutuk telah melakukan intervensi, dan karenanya dikirim ke ruang isolasi di atap selama seratus tahun. Buat melulu melihat segala panorama, meski tanpa diikat rantai baja ke dinding. Menonton cakrawala sambil, setiap waktu, dan disiksa keinginan merasuki panorama, tapi dilarang merasuki kenangan personal. Seratus tahun, meski, katanya, ada yang dihukum tujuh milyar juta tahun. Katanya.

“Apa kamu mau mencobanya?”

“Apa?”

“Menyingkap isolasi waktu dan hadir dalam realita riil, menjadi yang ada serta ditandai manusia, dan membuat kegemparan. Bahkan, jadi si tokoh yang memainkan tubuh manusia, jadi yang mampu menguntungkan para pemuja dengan referensi tentang yang akan datang di mesin waktu. Mau?”

“Tujuh milyar tahun itu lama.”

“Kau kekal di ruang isolasi. Jemu sekali. Baru tiga ribu tahun saja sudah bosan dengan selingan itu-itu saja, yang dalam lima ribu tahun semua sudah hapal didatangi. Imajinasi dan fantasi jadi tumpul, tidak ada lagi yang bisa didatangi sebagai selingan. Dipaksa mendatangi ruang utama Gerbang Transendensi dan menjadi fakta biokimia, menghilangkan ingin, angan dan nafas agar larut dalam Yang Maha Kosong. Itu saat kita tak ingin apa-apa dan tak mendapat apa-apa, dan selama tujuh milyar ini aku tetap ingin apa-apa dan mendapat apa-apa dengan menonton di mana-mana. Mengeluyur saja. Sesekali usil dan dihukum seratus tahun di ruang isolasi. Menyakitkan, tapi itu memicu gairah rindu merasuki tempat yang itu-itu saja itu. Berani?”

AKU menggeleng. Dan sekarang aku kembali ada di lobi, di antara orang-orang jemu yang terpaksa memilih mengeluyur sebagai satu-satunya hiburan. Aku bertafakur: kenapa tidak bersiap untuk memasuki terowongan dan hadir di ruang utama Gerbang Transendensi? Apa berani menistakan tubuh hewani dan bertransformasi jadi tumbuhan yang hanya punya metabolisme biokimia? Berapa milyar tahun untuk mencapai level cuma nafas bisa tercapai? Bisakah nafas tanpa kesadaran, keinginan, angan-angan dan kenangan itu jadi kekosongan dicapai dalam lima milyar tahun? Dalam berapa milyar tahun lagi bisa jadi kemurnian yang siap diserap Yang Maha Kosong di balik Gerbang Transendensi?

Dan, kata Buku Pegangan Mati, semua itu tergantung dari kehendak Yang Maha Kosong. Semua tergantung Dia, meski pengosongan diri dan pemurnian jiwa itu tetap harus diusahakan. Sekaligus instink merapat kepada-Nya tergantung dari kebiasaan si bersangkutan saat masih riil di konteks ruang dan waktu ragawi. Nun. Entah seratus triliun tahun lalu, entah tujuh ratus milyar tahun lalu. Tapi apa makna waktu saat kita tidak memikirkan apa-apa, bahkan juga memikirkan ingin dan rindu akan kemurnian dalam siap diserap Yang Maha Kosong? Bukankah waktu itu diadakan dan dibermaknakan oleh kesadaran, oleh gejala ruang di sini, kini, dan sedang bergerak ke sana? Dalam serangkaian peristiwa mengadakan dalam terang kesadaran?

Apa waktu masih ada bila kita hanya sendiri dalam diri sendiri sambil menjauhi diri, ingatan dan kenangan? Apa waktu masih ada jika kita tidak dari mana dan tidak ingin menuju ke mana? Apa waktu masih memanggil bila kita merasa ada dalam diri kita–tak merasa diadakan dan ditiadakan dalam ruang? Bila diri bukan diri. Hanya ada. Hanya mengada tanpa menginginkan apa-apa. Hanya yang diadakan. Ya! Ya! Dan salah satu petugas front desk itu mendekat, merangkul dengan senyum tulus. Menarik aku ke tangga basemen. “Kamu telah menemukan peta ke arah pintu hakekat, kunci untuk memasuki Gerbang Transendensi. Jangan tanya apa-apa, karena kamu telah mendapat petunjuk. Ikuti secara naluriah. Bukankah semilyar tahun dan sedetik itu tak lagi ada bedanya? Selamat mengosongkan diri.”

Aku menarik nafas dan melupakan segalanya, meski tetap harus hati-hati ketika menuruni tangga dalam remang terowongan. Sesaat aku mendengar suara dari lobi. Setelah itu hanya keremangan dan kesunyian. Suara kesendirian yang penuh saat ada mulai berkhidmat menuju kabut semesta, sebelum kekal dalam ketunggalan. Nun.
***

*) Beni Setia tinggal di Caruban, Madiun, Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *