S.W. Teofani
http://www.lampungpost.com/
TERSEBAB kau memilih jalan yang lebih mendaki dari Puncak Huangshan, aku merasa malu berani menyuntingkan tunjung biru pada mahkotamu. Seharusnya kuberada pada ketinggian sanjung manjadi takdirmu. Kau terima dengan rela pelepah hati masaiku. Tapi, di malam yang telah dihalalkan kubuka cindai jinggamu, aku tak mampu menatap kejora jiwa itu.
Bibirmu yang tak seranum kuncup kenanga, meneteskan makna-makna melampaui sabda. Meski matamu tak secerlang kaca, kedalamannya menundukkan keangkuhan sahara. Seluruhku lumat pada keteduhan yang kau pungut dari belantara sukma.
Dalam keheningan malam yang dihentikan debar harap, aku mematung dengan sebab yang tak tertangkap. Menatap sosokmu pun aku luruh. Senyummu yang tak jeda menakhta pada pipimu nan merona, menahan setiap kehendak penuh bara. Apakah aku telah menikahi peri, ataukah bidadari?
Kulihat tapakmu berpijak di bumi, rautmu pun tak menabur kejelitaan purna, tapi apa yang membuatku mabuk dalam pana.
Seharusnya kubimbing kau pada sesiah mahamesra, atau kutunaskan cumbu paling rayu. Tapi aku seperti hamba menghadap ratu. Kau begitu agung dalam diam dan kulum. Bahkan aku tak tahu, apakah harus mengulurkan tangan untuk memulai atau menghaturkan seluruh khidmat umpama cantrik bertemu mahadewi.
Kucoba bersitatap, retinaku terantuk kilau pupilmu yang memaksa rela menumbuk permadani. Di pelaminan itu, kau melebihi Sinta yang menjaga kesucian. Tapi aku bukan Rama, ksatria bijaksana itu, pun Rahwana si durjana. Aku hanya menusia tanpa tanda untuk cinta juga citra.
Saat aku berani mengangkat pandang, tetap tak mampu bertaut dengan tatapmu. Apakah kau Robiah Agung yang tak terjamah nafsu. Tapi mengapa kau sedia dengan ikatan ini?
Aku tak mungkin menyalahkanmu. Bukan kau menolak inginku, tapi seluruhku luruh sebelum tunas hendak itu menjembul pada jasad mahawadak. Dan kita biarkan malam menyisakan mamang tanpa kenang.
***
Pada enam pergantian waktu, engkau tetap tak terjamah. Menatapmu aku tak ubah laron yang silau pada pijar dian. Seucap kata terbaik pun begitu sia-sia dibanding kedip matamu. Aku lebih suka terdiam mengeja seluruh kemungkinan tentangmu. Di hadapmu, kubiarkan diri tanpa rupa, luruh tak berasa.
“Mengapa kau memilihku sebagai takdirmu?”
Frasamu menjadi denting pertama dari ginonjing jiwa kita.
“Karena aku mencintaimu.”
“Karena cinta menangih pembuktian, salahkah jika aku mempertanyakannya?”
“Apa yang kau inginkan?”
“Temui Al Malik.” Suaramu tenang, penuh kelembutan, tanpa kehilangan rasa yakin.
“Maksudmu?”
“Temui Rajamu.”
Kau hanya membubuhkan sedikit penegasan.
“Bisakah dipertandas…?” Kucoba meyakinkan diri atas pinta itu.
“Tidakkah cukup jelas, temui Al Malik, Maharaja itu!” Suaramu meninggi. Pupilmu yang biasa redup, memijar. Aku terhentak meski tak gentar.
“Siapakah engkau? Mengapa pintamu begitu ganjil? Seorang Sulaiman bisa memindahkan singgasananya ke hadapan Bilqis dalam sekejap. Bandung Bondowoso mampu membangunkan seribu candi dalam semalam untuk membuktikan cintanya pada Roro Jonggrang, tapi aku? Aku bukan siapa-siapa. Aku tak punya ribuan tentara jin untuk melakukan semua. Kau telah menerima akadku, bisakah kau terima aku apa adanya?” Aku mengimbangi nada yang kau cipta, kecanggunganku sirna.
“Adakah aku meminta kemegahan yang diminta perempuan-perempuan itu? Aku meminta sesuatu yang mampu kau lakukan tanpa bantuan tentara kera milik Rama atau pasukan jinnya Raja Sulaiman. Adakah aku berlebihan?”
“Duhai…pilihan hatiku, tidakkah ini mulai bencana itu. Jika kau minta Taj Mahal, aku akan berguru ke negeri Syah Jehan, membangunkan mendiang Guru Isa. Tapi kau meminta yang tak mungkin dilakukan manusia biasa. Seorang Musa pun tak sanggup menatap Cahaya Al Malik di Gunung Sina, kau memintaku menemui-Nya. Ya muhyal qulub….adakah pilihan untukku?”
“Kau telah memilihku, aku meminta temui Al Malik, hanya itu.” Aku diam, mulai meragukan cinta yang kulafazkan, antara menyesal dan mengental. Tapi mundur tetap bukan pilihan.
“Berjalanlah ke arah matahari tenggelam. Ikuti jejak burung-burung yang tak bisa lagi mengepakkan sayap. Ke sebuah puncak yang lebih mulia dari Huangshan.” Suaramu sayup antara nyata dan ngiang.
***
Aku berada di tempat yang kau inginkan, Kekasih. Meski belum sampai pada pintamu. Aku meragukan diri bisa memenuhi yang kau mau. Tapi mencoba lebih agung dari meragu.
Aku tak sendiri. Sebelumku tak terhitung manusia yang mendaki tempat ini. Tapi tak ada yang mengabariku telah bertemu Al Malik. Kulihat kesah dan lelah di wajah mereka, merarasi maksud yang tak mewujud. Raut-rautnya lebih menyedihkan dari tentara kalah perang, dengan tubuh penuh kasusahan. Pemandangan itu menerbankan maksudku yang belum teguh.
Aku surut. Saat hendak kembali, tangan kukuh mencengkeram bahuku. Sosok itu tegak di sampingku. Matanya begitu elang, menembus ranyah kalbuku.
“Engkau menyerah sebelum memulai?” Suaranya setajam belati.
“Aku tak mau melakukan kesia-siaan.” Kuberanikan membalas kilaunya.
“Adakah yang sia-sia setiap tapak menuju Al Malik?”
“Kau lihat orang-orang itu pulang hampa, haruskah aku melakukan hal serupa?”
“Kita tak harus mengikuti orang-orang kalah, masih ada diksi kemenangan.”
“Aku manusia biasa, tak kan bermimpi bertemu Al Malik.”
“Kau tahu, para nabi pun manusia biasa. Adakah mereka disebut nabi tanpa cobaan? Adakah kau disebut beriman tanpa ujian? Benar kita manusia biasa, tapi kita adalah makhluk yang diciptakan Zat Luar Biasa. Dan kita diperintahkan untuk menemui-Nya.”
“Untuk apa?”
“Kau bertanya untuk apa? Tidakkah Al Malik tujuan tiap makhluk. Ke mana kita kembali kalau tidak kepada-Nya? Hidup hanya memilih dua hal; menuju Al Malik atau menghamba syaitan.”
Aku diam, dia bukan manusia biasa, pikirku. Hatiku mengeja halnya.
“Kau akan tetap pergi?”
“Lebih baik mati dalam perjalanan menuju Al Malik daripada hidup tanpa tujuan.”
Lalu dia meninggalkanku begitu saja. Aku terdiam dalam pana. Tersisa ngiang kata terakhirnya.
“Tunggu…” Dia tetap bergegas. Aku mengejarnya. Jalannya begitu cergas. Aku mempercepat langkah hingga manjajar diri.
“Aku ikut….”
“Mantapkan hatimu.”
Aku hanya diam, berharap dia menguatkanku jika rapuh. Kutemukan jawab di matanya.
***
Kami beriringan menuju tempat tanpa alamat. Menyisir jalan setapak yang penuh jejak juga bercak. Ada tilas pergi dan kembali. Ada bercak darah pun peluh lelah.
Aku meraba rasa yang tak berupa. Termasukah aku yang pergi untuk kembali? Atau yang pergi untuk kepergian itu sendiri.
Kami melintasi taman tanpa nama. Dengan rupa-rupa tawan di dalamnya. Ada sepasang angsa memadu cinta, juga kijang kencana bagus rupa. Aku ingin menangkapnya. Tidakkah rusa itu bisa menyenangkan kekasihku, hingga ia lupa mempertanyakan Al Malik. Aku mengedip pada teman perjalanan, berahap ia mengiyakan. Kulihat alis matanya beradu tanda marah padaku.
“Adakah rusa itu lebih membahagiakan dari pertemuan dengan Al Malik?”
“Rusa itu nyata, sedang Al Malik?”
“Maka manusia disebut beriman karena percaya pada yang gaib. Jika kau meragukannya, tak pernah ada jalan menuju Al Malik untukmu.”
Aku diam, termangu antara gamang dan bimbang.
“Jika kau menuju Al Malik karena yang lain, Al Malik tak akan memalingkan wajah padamu.” Suaranya semakin mantap.
“Kau seperti pernah bertemu Al Malik.”
“Karena aku belum bertemu Al Malik, kupelajari jalan-jalan menuju Al Malik.”
“Kau tahu banyak tentang jalan menuju Al Malik.”
“Yang kuketahui belum seberapa, tapi kucoba melintasinya. Kau sendiri?”
“Aku selalu tergoda dan tak tahu jalan ke sana.”
“Lalu, kau akan kembali?”
“Aku akan mengikutimu?”
“Kenapa?”
“Karena kau lebih mengerti.”
***
Kami meneruskan perjalanan. Mendaki ketinggian tanpa undakan. Menyisir tebing paling ngarai. Memanjat gigir yang lebih cadas dari stalaktit. Menjejak terjal paling koral. Menapaki magma paling batu yang menguras kesabaran juga kekuatan.
Sampai di sebuah lembah kami istirah. Mengeja yang nanti dan yang sudah.
Entah berapa waktu telah kami tatah. Pun berapa lagi yang akan terjamah. Kami tak tahu mula dan ujung, awal dan khatam. Aku menatap teman yang seorang, kudapati matanya memendam bimbang serupa.
“Apakah kita tetap menuju Al Malik?”
“Iya!” angguknya tandas. Meski kuyakin dia mengeja jalan-jalan buntu dengan letih paling kuyu.
“Al Malik….Al Malik…kami datang dengan seluruh ketidaktahuan. Terimalah langkah kecil kami yang begitu siput. Tuntun tapak lemah ini menuju Engkau. Tunjuki jalan yang Kau rahasiakan. Amiiin.”
Suara itu lebih dalam dari palung. Lebih getar dari gelombang. Aku terbawa magnitnya, meleburi kefanaan.
***
Sejurus aku tersadar pada dahaga yang paling lapar. Di sekelilingku rimbun pohon buah-buahan. Juga unggas yang siap jadi buruan. Kucari jawab pada matanya untuk menuntaskan hasrat.
“Jangan turuti kehendak nafsu. Kita bukan sedang mengembarakan keinginan raga. Biarkan jasadmu merana. Rasakan wisata jiwamu merindu Al Malik. Jika kau manjakan wadak itu, akan terpejam mata jiwamu dari Al Malik. Tahanlah…sampai Dia sendiri yang memberikannya.”
“Sampai kapan?”
“Sampai kita menemui-Nya.”
Aku diam, mengatur kehendak yang membuncah. Menjepit nafsu yang menggelagah. Bagai kabut dan asap saling mencegah. Seluruhku payah. Hingga kurasa sesesap jiwa bermandi cahaya.
Pada kali lain aku tergoda, teringat kekasihku, muasal segala cerita.
“Kekasih,…ikhlaskan jika aku tak lagi menemuimu. Kita yang saling ikat karena syahadah harus terpisah. Karena tebing yang kau ingin bukan Puncak Huangshan, gunung indah tempat bersenang.” Aku menggumam dalam kepasrahan.
“Lupakan dia. Al Malik tidak menyapa hati yang bertakhta sang lain di dalamnya.”
Kutatap sahabatku, dia lelah kuyu, tapi tak pernah disebutnya selain Al malik juga jalan-jalan selain jalan menuju Al Malik. Aku cemburu. Mungkin dia yang pantas bertemu Al Malik. Dan aku….
Bandar Lampung
Ramadan, 1431 Hijriah