M.D. Atmaja
Dhimas Gathuk menyandarkan tubuhnya di pematang sawah ketika iring-iringan mobil melaju kencang di jalan setapak yang menuju ke tengah pusat Kelurahan Luruh Indon.
“Pejabat lewat.” Ungkap Dhimas Gathuk tanpa mengangkat kepala. “Jalan kok seperti milik mereka sendiri. Wus-wus seenaknya sendiri.”
“Halah, Dhi, kok apa-apa kamu komentari. Dan gak ada yang bener buat kamu.” Sahut Kangmas Gothak sambil membersihkan lumpur dengan aliran sungai.
“Hehehehehe.. namanya juga komentator, Kang. Pasti, seenaknya sendiri.” Ungkap Dhimas Gathuk mengangkat kepala menyaksikan Kakangnya yang tengah membungkuk dan menggosok kaki.
Hitam lumpur yang menempel lama kelamaan tersapu air sungai. Warna yang tadinya jernih menjadi keruh. Hitam itu mengalir. Lama kelamaan memudar.
“Kang,” panggil Dhimas Gathuk namun Kakangnya tidak menyahuti atau mengangkat kepala. “sepertinya enak ya jadi pejabat.”
“Sepertinya, Dhi. Wang sinawang.”
“Lha, sudah gajinya besar, jalan dipakai sendiri, Kang. Semua orang suruh minggir.”
“Hehehehehe.. aku gak tahu, Dhi.” Kangmas Gothak naik dari sungai, “Semua itu kan sudah ada jatahnya sendiri.”
“Kok mereka tidak membuat jalan sendiri, Kang. Kan ada rumah dinas. Lha, tidak sekalian minta jalan dinas?”
“Halah, aneh-aneh.”
“Kamu punya banyak kenalan pejabat, Kang. Siapa tahu nanti Kakang bisa jadi pejabat.”
“Heh,”
“Berandai, Kang.” Sahut Dhimas Gathuk, “Dulu si Pak Miko itu juga temanmu di Serikat Rakyat Demokrat to, Kang?”
“Iya. Teman seperjuangan.”
“Nah, Pak Miko kan sudah menjabat. Kok Kakang belum?”
Kangmas Gothak langsung memfokuskan diri pada adiknya. Dhimas Gathuk cukup terkenal dengan sifat isengnya. Menggosipkan pejabat. Mencari seluk beluk kesalahan. Siang ini terlihat berbeda. Kangmas Gothak menyelidik. Saudara muda yang cerewet.
“Kamu ingin aku jadi pejabat, Dhi?”
“Bukan keinginan, Kang, siapa tahu dengan Kakang Gothak menjadi pejabat, nasib orang seperti adikmu ini bisa lebih baik.”
“Aku tidak berani berjanji, Dhi. Terlalu banyak godaan. Mendingan tetap seperti ini saja. Tidak beresiko.”
“Lho, memang resiko apa, Kang?” sahut Dhimas Gathuk sambil bangkit dari tidurannya.
“Kalau aku lupa bagaimana?”
“Lupa pada apa, Kang?”
“Lupa pada perjuangan yang sekarang.”
Dhimas Gathuk kini memfokuskan diri. Mencermati Kakangnya seseksama mungkin. Lalu menggelengkan kepala.
“Sistem itu akan melumatku habis, Dhi. Bau lumpur petani teramat sulit untuk tercium. Aku takut, Dhi, kalau justru lupa.”
Dhimas Gathuk mengedipkan mata dengan cepat. Menyaksikan Kakangnya yang menerawang. Ia melihat kepedihan di mata itu. Kepedihan yang terendam di dalam kalbu dan tak terungkapkan. Mata Kakangnya sudah seperti bola kaca yang berkilauan. Pada saat itu lah, Dhimas Gathuk sedih.
“Kalau tidak mau ya sudah, Kang. Jangan jadi pejabat. Jangan lupa pada perjuanganmu.” Dhimas Gathuk mencoba menarik kata-katanya.
Kangmas Gothak menggelengkan kepala. “Lebih baik seperti ini, Dhi. Tetap bisa berjuang sekuat tenaga. Mempertaruhkan apa pun yang ada. Jangan sampai, justru hilang ingatan akan perjuangan. Karena tidak ada mantan pejuang, Dhi.”
“Iya, Kang. Aku tahu.”
“Halah, sudah, Dhi. Lebih baik kita terus bertani. Menanam untuk memanen.” Ungkap Kangmas Gothak yang kemudian bangkit untuk turun ke sawah kembali.
Dhimas Gathuk masih memandangi Kakangnya. Air yang tadi ditumpahkan, masih utuh. Ketika saudara tua itu bangkit dan menghambur ke lumpur, Dhimas Gathuk merasakan bulu romanya berdiri, “Pejuang tidak boleh lupa dengan perjuangannya, sebab tidak ada mantan pejuang!” pikir Dhimas Gathuk sambil terus mengamati Kakangnya.
Bantul, Studio SDS Fictionbooks, 28 Agustus 2010.