M.D. Atmaja
Salah satu, yang telah mengakukalau dirinya adalah seorang anak emas, tangan kanan Pak Lurah, di KeluruhanLuruh Indon. Dia seorang yang berasal dari sudut Barat Keluruhan Luruh Indon. Entahapa dan bagaimana, seringkali dia disebut dengan Pak Tumpul. Entah kelucuan dankekoyolan dalam berpikir, sampai banyak anggota masyarakat mengatakan kalau PakTumpul ini memang benar-benar selalu tumpul. Namun, setumpul apa pun si PakTumpul, orang-orang di Kelurahan Barat memilihnya menjadi wakil mereka di PerwakilanKetoprak Kelurahan.
Baru saja, peringatanpendirian Kelurahan yang ke 65 di warnai berbagai macam permasalahan, PakTumpul akhirnya ikut-ikutan membonceng ketenaran. Entah dengan maksud apa,ketika mengadakan dialog dengan beberapa petani, Pak Tumpul sempat mengungkapkankegalauan dan impiannya. Beliau, Pak Tumpul ini seolah-olah sedang berdiri sebagaiseorang anggota masyarakat yang resah dan merindukan sosok pemimpin sepertiLurah Indon yang sekarang ini.
“Saya sering menemukan banyakorang besar. Di antara banyaknya orang besar yang pernah saya temui, sangatsedikit sekali yang berjiwa seorang pemimpin. Kelurahan kita tidak kalah banyakmemiliki orang-orang besar yang menganggumkan. Hanya saja, saya prihatin, didalamnya tidak melahirkan pemimpin yang bijak.”
“Tidak ada, Pak Tumpul?” sahutseorang Petani dari barisan belakang agak ke samping kanan.
“Ada. Itu pasti ada. Namunsedikit sekali!” jawab Pak Tumpul dalam kelakar yang biasanya pernah kitasaksikan sambil mengumbar logat yang tidak asing juga.
“Bagaimana kalau Pak Lurahkita yang sekarang?” tanya Petani seorang lagi yang namanya terdeteksi sebagaiDhimas Gathuk.
“Nah, saya kan bilang kalauKelurahan kita juga memiliki pemimpin yang bagus. Salah satunya adalah PakLurah kita yang sekarang itu. Dia seorang Bapak yang baik bagi keluarganya.Pernah belajar di Amerika yang gedungnya tinggi-tinggi itu. Dekat juga denganPresiden Amerika. Beliau, Pak Lurah itu juga seorang pencipta lagu yang jenius.Seorang seniman. Juga seorang tentara yang penuh dengan disiplin.”
“Tapi banyak juga yang bilangkalau kepemimpinan Pak Lurah kurang berhasil.” Sahut Dhimas Gathuk kembalisementara petani yang lain mengangguk-anggukkan kepala.
“Ada juga yang bilang bahwaPak Lurah telah gagal.” Sahut Kakang Gothak setelah mengangkat tangan kirinya.”Terlalu banyak mengeluh dan mengadu pada warga desa, Pak Tumpul. Kalau memangPak Lurah itu pemimpin yang baik, Beliau akan melindungi kepentingan rakyat,menjadi tempat mengeluh atas permasalahan rakyat. Bukan justru mengeluhkan ketakutannyapada rakyat.”
“Permasalahan hukum jugabanyak yang timpang, Pak Tumpul. Kasus Century sampai hari ini masih saja tidakjelas.” Sahut Dhimas Gathuk sebelum Pak Tumpul sempat menanggapi kata-kata KakangGothak.
“Juga, kenapa Pak Lurahmembiarkan masalah sengketa lahan yang tidak kunjung selesai?” Kakang Gothakmenyahutinya dengan cepat.
“Permasalahan lumpur diSidoarjo juga sepertinya belum selesai, lho, Kang!” ucap Dhimas Gathuk pada KakangGothak.
“Apa iya, Dhimas? Lalu yangsengketa di Makam Mbah Priok bagaimana? Juga belum selesai?”
“Ehm, kurang tahu juga, Kang.Terlalu banyak permasalahan sampai bingung mana yang musti diikuti.”
“Iya, aku juga bingung, Dhi. Banyakmasalah yang silih berganti. Yang satu baru mau diurus, eh, ada masalah lain. Apa memang ini jalan yang sedang ditempuh. Karena sudah susah untuk diselesaikan, dimunculkankasus baru. Biar yang kemarin-kemarin tertelan dan dilupakan.”
“Iyo, Kang. Masak film pornomengalahkan isu pengusutan BLBI jilid II itu, Kang. Century tenggelam di bawah selangkangansang penyanyi.”
“Hahahahahaha…” KakangGothak tertawa lantang. Pak Tumpul sudah dilupakan. Warga desa Kelurahan LuruhIndon kini bercakap-cakap sendiri tentang berbagai isu yang telah hilang dariperedaran.
“Tapi bener lho, Kang. Filmporno bisa mengalahkan kasus perdata, pidana, dan politik yang lebih pentingdari itu.”
Kakang Gothak tiba-tiba diam.Dia merenung mengingat masalah yang sampai kini masih mengganjal di dalam dada.Kenangan akan kasus Guru mengaji yang ditangkap gara-gara berdakwah dan keterkaitan-keterkaitanyang tidak jelas. “Jangan-jangan,” pikir Kakang Gothak dalam keresahan yangmenjadi.
“Para warga desa yangterhormat, mohon perhatiannya.” Pak Tumpul mencoba mengambil alih fokus wargadesa namun gagal.
“Bagaimana kondisi kelurahankita bisa seperti ini, Pak Tumpul, sedangkan kita memiliki pemimpin semacam PakLurah kita itu?” pertanyaan Dhimas Gathuk melengking menjadi fokus perhatian.
“Iya, kok bisa?” tanya petaniyang lainnya.
“Harga pupuk mahal.”
“Harga di petani sangatrendah.”
“Ya, itu karena sistem yangberjalan di Kelurahan kita tidak bisa menerima pemikiran besar Pak Lurah. Kekacauansistem dan kurangnya pengetahuan warga desa mengenai demokrasi liberal, ehdemokrasi kerakyatan yang bersih dari korupsi. Warga desa kurang cerdasmelaksanakan sistem ekonomi kapitalisme yang di datangkan, eh maksud sayasistem ekonomi kerakyatan yang sebenarnya.”
“Jadi yang bodoh itu wargadesa, Pak Tumpul? Bukan Pak Lurah?”
“Bukan bodoh, saya tadi salahmenggunakan istilah. Namun karena belum mampu.”
Bantul ? Studio SDSFictionbooks, 19 Agustsu 2010