Rumah dan Pulang dalam Sajak

Asarpin
lampungpost.com

Puisi-puisi lepas dengan riwayat dan sejarahnya masing-masing, tak mudah disusun menjadi satu “rumah” pemaknaan. Mirip dengan potongan-potongan jigsaw yang mesti saya susun dengan teliti, sejumlah sajak lepas yang bertema rumah dan pulang di bawah ini akan coba saya bangun untuk menemukan pemuasan diri saya pribadi.

Rumah ibarat sepetak nostalgia yang ingin ditengok selalu. Tak puas rasanya kalau tak mengingatnya, jika perlu mendatanginya sekadar untuk melihat, syukur kalau bisa menginap sehari dua hari. Tapi rumah juga bisa membuat orang tak bebas bepergian jauh. Pancangan kenangan selalu akan terngiang, memanggilnya untuk kembali.

Kita tak sepenuhnya bisa menjadi warga dunia, dan mampu menjadikan setiap tempat milik kita karena memori akan selalu mengingat asal kita. Dan kalau sudah punya rumah, panggilan untuk pulang menjadi semacam keniscayaan sejarah, atau tradisi, layaknya mudik setiap Lebaran: ia telah dianggap bagian dari pengalaman wajib untuk memperkaya hidup orang zaman sekarang.

Rumah erat kaitannya dengan lokalitas. Rumah yang apak sekalipun tak akan pernah terkikis dan terbuang dalam ingatan para penyair kita. Sebab, “tiada pengembara yang tak merindukan sebuah rumah”, kata Joko Pinurbo yang mengaku terus-terang dalam sajak Tiada.

Tapi di situ pula soalnya. Kalau Tuan masih tak takut kehilangan rumah, tidakkah Tuan lihat: begitu banyak orang merindukan rumah yang ditinggalkan, dan berduyun-duyun mudik dengan segala risiko yang mengadang di perjalanan. Di sana mahia menjadi sesuatu yang mustahak. Dan rumah tidak selalu merupakan kehadiran yang mengungkung.

Jalaluddin Rumi punya seuntai kisah tentang seekor burung yang mengalami banyak rintangan saat terbang. Burung itu terperangkap oleh seorang perempuan tua yang kaya raya, dan hampir saja melupakan rumahnya. Tapi perlahan-lahan dia mulai ingat asalnya, dan akhirnya ia mendengar suara beduk yang menyerunya supaya kembali. Sejak itu ia terbang meninggalkan negeri asing.

Mengomentari kisah itu, Rumi berkata: “Mana mungkin burung cantik itu tidak terbang pulang ketika diseru suara beduk dengan kata-kata irji’i (Kembalilah!). Setelah mengalami banyak kesulitan, burung cantik itu setidak-tidaknya menjadi lambang nafs muthma ‘innah (jiwa yang damai) yang dipanggil supaya pulang oleh Penciptanya.”

Dengan cara yang mengharukan Maulana Rumi mengingatkan makna orang-orang mudik dari kota ke desa agar mendapatkan kembali jiwa yang damai. Itulah mengapa rumah menjadi perlu, karena ia bagian dari degup hidup, menjadi tempat kelahiran kembali, bahkan menjadi remedi bagi mereka yang senantiasa resah dan gelisah.

Pemaknaan rumah semacam itu pula yang banyak kita temukan dalam sajak penyair kita. Iwan Nurdaya Djafar, misalnya, menjadikan tema pulang sebagai judul himpunan sajaknya. Akhirnya aku pun paham, bahwa hidup adalah perjalanan pulang setelah terusir pada masa silam (Pulang). Sementara Isbedy Stiawan harus kembali ke asal sebagai pengobat rindu: kususuri masalalu, di sini matahari telah lesap, hingga sulit nemukan jejakku kembali- daun-daun luruh/menghapus arah, mengatup rumah/bagiku pulang (Kususuri Masalalu).

Iswadi Pratama sama sekali tak ingin jadi pendurhaka dengan melupakan rumah, sampai-sampai aku tak mau kehilangan bau keringatku (Pulang). Sementara Ari Pahala mengajak membangun kembali rumah yang telah runtuh karena ia tempat bagi bakal anak dan istrimu , bahkan tempat bagi nuranimu berlabuh (Membangun Rumah). Dina Oktaviani membayangkan Tanjungkarang ditinggalkan sebagai bangkai yang kadang menjelma hari kemarin, memberi semacam sakit dan ingatan (Bangkai Tanjungkarang). Jimmy Maruli berseru: Pulanglah, atau kau sudah nemu rumah baru yang suwung/seperti tempat tinggal kita dahulu di kampung (Ayat Hikayat).

Mengapa penyair kita begitu cepat memutuskan pulang? Secuil jawaban kita temukan dalam sajak Jimmy: karena kota ini angkuh bagi pendatang, karena kita kadang dibaptis sebagai perantau, diberi indeks-indeks, rumah dengan kamar sempit, dimana kata tak menjamin segalanya rampung.

Kalau sudah begitu, yang jadi soal bukan mengapa pulang, tapi bagaimana rumah dan pulang itu dihadirkan. Sebagian besar penyair kita ternyata takut kehilangan rumah. Hal ini bisa dimaklumi, karena kita semua akan selalu kehilangan rumah.

Di sinilah konflik dan ketegangan itu bermain.

Bagi penyair yang gandrung pada mitologi Yunani, mereka mengambil teladan dari beberapa tokoh. Chairil Anwar berusaha memecahkan ketegangan dengan memutuskan jadi manusia pengembara selamanya bagaikan Ahasveros yang dikutuk Dewi Eros. Karena dia penyair, rumah yang dibayangkan bukan seperti penyair kebanyakan, tapi Rumahku dari unggun-timbun sajak/Di sini aku berbini dan beranak (Rumahku).

Sementara itu, sebagian besar penyair kita mengambil teladan dari sosok Odysseus, sekan-akan itulah dewa yang ideal. Padahal tokoh ini, kata Emmanuel Levinas, masih merindukan pulang, dan akhirnya memang memutuskan pulang. Sitor Situmorang tipikal penyair model ini ketika mengatakan: Rinduku/Pulang dalam Rumah dalam Seni/Angin manis meniup pasir benua Afrika/Di Eropa kutahu masih salju/Sampai ke padang-padang Siberia/Aku harus ke Moskow, tapi/Memenuhi harapan yang kusayang/Untuk kumpul di akhir Ramadhan/Aku pulang malam terbang garuda rindu (sajak Panggilan).

Sementara Toto Sudarto Bachtiar dalam sajak Rumah bilang: Terkadang terasa perlunya ke rumah/Atau terasa perlunya tak pulang rumah. Sutardji Calzoum Bachri: terpaut nyeri dalam guratan kicau Riau parah yang dalam, riwayat lengah tak sampai paham, meski pulang selama pulang, tak hilang kau dari ingatan (Buat Idrus Tintin). Pencarian akan Tuhan juga harus diakhiri dengan bertobat: Ya, Tuhan, jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoar, tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia, kini biarkan aku menenggak marak cahaya-Mu, di ujung sisa usia (Idulfitri).

Begitulah sekelumit kegelisahan para penyair kita dalam menentukan tempatnya berpijak. Persoalan rumah dan pulang akan terus mengikuti ke mana mereka pergi. Dan apa boleh buat, kota memang bukan dunia yang cocok bagi daya khayal kebanyakan penyair kita yang memang berasal dari desa. Mereka tak lagi mempertanyakan apakah sebaiknya penyair memang tak memiliki rumah. Atau karena memang mereka takut kehilangan rumah. Atau saya yang justru takut kehilangan rumah?
***

*) Asarpin, Pembaca sastra.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *