Budiman Hakim
umum.kompasiana.com
Sejak kecil saya suka banget sama puisi, dan cukup banyak puisi yang tercipta. Bahkan beberapa yang diri anggap bagus saya kirim ke berbagai majalah dan Koran. Hasilnya? Luar biasa! Ga ada satupun yang pernah dimuat. Akhirnya diri ini menyimpulkan, bahwa kecintaan terhadap puisi ternyata cuma bertepuk sebelah tangan.
Sayangnya ketika kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, saya ketemu seorang dosen yang seorang penyair juga. Namanya Sapardi Djoko Damono. Gara-gara ketemu dia, kecintaan saya pada puisi yang sempat padam tiba-tiba kembali membara. Apalagi Bapak Sapardi ini sangat dekat dengan mahasiswanya. Satu-satunya guru/dosen yang saya masih bisa bertemen setelah sarjana ya cuma sama Bapak Sapardi ini.
Sejak kecil saya sering membaca puisi-puisinya. Berbeda dengan puisi-puisi penyair lain yang susah dimengerti, karya-karya SDD (panggilan sayang mahasiswa-mahasiswanya) lebih membumi. Simbol-simbulnya juga ga terlalu banyak. Paling satu atau dua simbol. Topik yang dipilih pun juga simple-simpel aja. Saya ga pernah bosan baca puisi-puisi beliau, padahal udah hapal di luar kepala. Ini salah satu puisi SDD yang saya suka:
Berjalan ke barat di waktu pagi hari
Waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi
Matahari mengikutiku di belakang
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri
Yang memanjang di depan
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
Yang telah menciptakan bayang-bayang
Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
Yang harus berjalan di depan
***
Bagus banget ya? Setiap kali berangkat kuliah saya selalu ‘ngeliat’ bayang-bayang saya di trotoar yang memanjang di depan, tapi sama sekali ga memicu ruang kreatif di benak saya. Tapi untuk SDD ternyata lain. Begawan puisi ini langsung merekam adegan itu dalam bentuk puisi dan terciptalah karya yang sarat makna ini.
Ada lagi satu puisinya yang juga saya suka banget. Kelebihan dari puisi ini adalah bagaimana SDD menyentuh insight pembacanya. Puisi ini dikemas dengan sederhana, dan kita dapat memahaminya tanpa mengerutkan dahi:
MAKA PADA SUATU PAGI HARI
Maka pada suatu pagi hari dia ingin sekali
menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu
Dia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik
dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja
sambil menangis dan tak ada orang bertanya “Kenapa?”
Dia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin, membakar tempat tidur
dia hanya ingin menangis lirih saja
sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi.
Pada suatu pagi.
***
Puisi ini membuktikan bahwa sebuah puisi ga harus ribet. Kan ada sementara orang yang menganggap bahwa semakin susah dimengerti, maka semakin baguslah puisi itu. Lihatlah puisi SDD di atas. Sederhana banget tapi mengena. Kenapa mengena? Siapakah manusia di dunia ini yang ga pernah mendadak moodnya berubah mellow kayak tokoh di atas? Pasti semuanya pernah mengalami kan? Nah SDD mengabadikannya untuk bahan renungan buat kita semua.
Walaupun keliatannya cuek? Diam-diam SDD sangat memperhatikan mantan-mantan mahasiswanya. Dia keheranan mengapa banyak mahasiswanya yang terjun ke periklanan. Udah capek-capek belajar sastra kok malah terjun ke bidang lain? Mungkin gitu kali yang ada di otaknya. Keheranan Sapardi menjadi-jadi ketika ngeliat orang-orang iklan selalu ngomongin iklan melulu. Segala macam topik selalu dihubungkan sama iklan. Keheranan yang membukit ditumpahkannya juga dalam puisi di bawah ini:
IKLAN
Ia penggemar berat iklan. “Iklan itu sebenar-benar hiburan,” kata lelaki itu.
“Siaran berita dan cerita itu sekedar selingan”
Ia tahan seharian di depan televisi. Istrinya suka menyediakan kopi
dan kadang-kadang kacang atau kentang goreng
untuk menemaninya mengunyah iklan
Anak perempuannya suka menatapnya aneh jika ia
menirukan lagu iklan Supermi – kepalanya bergoyang-goyang
dan matanya berbinar-binar
Anak lelakinya sering memandangnya curiga jika ia tertawa
melihat badut itu mengiklankan sepatu sandal – kakinya
digerak-gerakkannya ke kanan-kiri
Dan istrinya suka tidak paham jika ia mendadak terbahak-bahak
ketika menyaksikan iklan tentang kepedulian sosial itu – dua tangannya
terkepal dan dihentak-hentakkannya
Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu; konon kata yang
terakhir diucapkannya sebelum “Allahuakbar” adalah “Hidup Iklan!”
Sejak itu isterinya gemar duduk di depan televisi,
bersama anak-anaknya, menebak-nebak iklan mana gerangan
yang menurut dokter itu telah menyebabkannya begitu
bersemangat sehingga jantungnya mendadak berhenti.
***
SDD juga menulis puisi tentang cinta. Judulnya “Aku ingin.” Mungkin puisi ini yang paling dikenal oleh orang. Saya sering liat puisi ini dicetak di undangan-undangan perkawinan. Puisi ini juga telah dijadikan lagu oleh seorang sahabat saya namanya AGS Arya Dipayana. Begitu bagusnya puisi dan lagu ini, sehingga dijadikan soundtrack film “Cinta dalam sepotong roti.”
AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat
disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada
***
Ada cerita lucu sekaligus miris seputar puisi ini. Saya dapet cerita ini dari sahabat saya perempuan, namanya Reda L Gaudiamo. Reda cerita bahwa ada pasangan yang sedang menikah di gereja. Mereka mengutip puisi “Aku ingin” karya SDD ini di kartu undangannya. Masalahnya yang tercetak di undangan itu penulisnya bukan Sapardi Djoko Damono. Tebak siapa coba? Percaya atau tidak di sana tercetak penulisnya adalah Khalil Gibran.
Pas lagi acara pemberkatan, pasturnya ngomong ke kedua mempelai.
“Puisi ‘Aku ingin’ ini memang bagus, tapi kalian salah menulis penyairnya. Yang benar adalah Bapak Sapardi Djoko Damono. Bukan Khalil Gibran.” kata Si Pastor yang kebetulan mengenal SDD.
Anehnya si mempelai perempuan ngeyel banget orangnya. Dia nyaut dengan penuh kepercayaan diri, “Bukan Bapak. Saya yakin sekali kalo puisi itu karya Khalil Gibran.”
“Oh kamu keliru. Saya tau benar ini karya Bapak Sapardi.” kata Pastor dengan suara sabar.
“Mungkin Sapardi cuma menerjemahkan saja Bapak. Tulisan aslinya pasti Khalil Gibran.” sahut mempelai perempuan.
“Kenapa kamu sangat yakin kalau ini karya Khalil Gibran?” tanya sang Pastor penasaran.
“Ya mana mungkinlah orang Indonesia bisa bikin tulisan sebagus itu.” sahut mempelai perempuan itu.
Ya Allah maafkanlah perempuan itu, sesungguhnya dia tidak mengerti apa yang sedang dikatakannya.
Tulisan ini saya dedikasikan khusus untuk Sapardi Djoko Damono. Dosen sekaligus teman saya. I love you Pak SDD. Semoga Bapak selalu dalam keadaan sehat. Amin3X.
***