Akhmad Saefudin
http://www.suaramerdeka.com/
TERUS terang, sebetulnya saya kurang tertarik dengan perdebatan kritik akademik dan kritik non-akademik, atau theoritical criticism dan applied criticism, seperti yang dilontarkan oleh Amien Wangsitalaja dalam sebuah harian yang terbit di Yogya beberapa waktu lalu. Dalam hal itu, saya memiliki perbedaan pandang dengan Amien Wangsitalaja mengenai kritik sastra.
Dalam membicarakan kritik sastra, barangkali saja Amien terjebak pada kategori antara pure science (ilmu murni) dan applied science (ilmu terapan). Secara tegas saya katakan, tak perlu dikaburkan antara ”teori kritik sastra” dengan ”kritik sastra” itu sendiri. Sekadar pembanding, tidak boleh dikacaukan antara ”teori penerjemahan” dengan ”penerjemahan” itu sendiri.
Namun demikian, perlu dicatat bahwa untuk melakukan kritik sastra secara baik, idealnya kritikus berlandaskan pada teori kritik sastra; seperti halnya menjadi penerjemah yang baik, penerjemah harus berbekal teori penerjemahan. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang disebut kritik sastra secara otomatis adalah kritik terapan (applied criticism). Persoalan yang muncul kemudian adalah: ”Apakah setiap karya sastra membutuhkan kritik?”
Menurut pandangan saya, tidak setiap karya sastra membutuhkan kritik. Dari keempat jenis kritik sastra yang ada (mimetik, pragmatik, ekspresif, dan objektif) tidak semuanya applicable bagi setiap karya sastra, khususnya cerpen.
Untuk memberikan kritik pada cerpen-cerpen Gus Mus (KH A Mutofa Bisri), misalnya, saya tak dapat melakukan secara serta merta; melainkan mau tidak mau harus terlebih dahulu menelaah puisi-puisi, artikel-artikel, maupun mencermati ceramah-ceramah Gus Mus dalam berbagai kesempatan.
Sampai tulisan ini dibuat, setidak-tidaknya saya telah menelaah lima buah cerpen Gus Mus yang termuat di media cetak sepanjang awal 2002 hingga awal 2003. Kelima cerpen tersebut, masing-masing berjudul ”Gus Jakfar” (di muat Kompas, ?), ”Kiai Sidiq” (Suara Merdeka, ?), ”Lukisan Kaligrafi” (Kompas, 24 November 2002); ”Suami” (Wawasan, 20 Desember 2002) dan ”Gus Muslih” (Suara Merdeka, 5 januari 2003).
* * *
SECARA jujur, saya katakan bahwa tak semua cerpen Gus Mus membutuhkan kritik sastra. Minimal, ada dua alasan kenapa karya sastra tidak membutuhkan kritik. Pertama, karya sastra tersebut memang cukup mudah dipahami oleh pembaca. Kedua, karya tersebut merupakan portret kehidupan yang tak banyak memerlukan penafsiran pembaca.
Dibanding dengan keempat cerpen yang lain, cerpen ”Suami” relatif lebih pendek atau bahkan paling pendek (31 paragraf, 112 kalimat). Namun demikian, justru cerpen itulah yang paling debatable, untuk tak menyebut multiinterpretable.
Dalam hal seperti itu, saya kira kehadiran seorang kritikus dibutuhkan untuk memberikan ”kritik” berdasarkan teori yang berlaku dalam kritik sastra. Dilihat dari sudut pandang kritik mimetik, sebagai contoh, cerpen ”Suami” merupakan imitasi atau gambaran hidup dan kehidupan manusia. Dalam konteks itu, ”Suami” adalah kisah yang bertutur tentang kehidupan seorang wanita bernama Tiah dan suaminya (Kaspo) dengan segenap suka-duka yang dialami.
Secara eksplisit, cerpen ”Suami” adalah sebuah kisah memilukan tentang seorang istri bernama Tiah yang sangat memelas. Sosok wanita Tiah dalam cerpen itu, digambarkan sebagai wanita yang lugu, narimo, pasrah, dan bahkan tak berdaya. Sebaliknya, suaminya, Kaspo, digambarkan sebagai seorang yang menyebalkan dan memuakkan. Ringkas kata, Kaspo adalah sosok laki-laki yang tidak bertanggung jawab!
Dilihat dari sudut kritik ekspresif, cerpen ”Suami” akan menampakkan sisi yang berbeda, tak sekadar cerita pasutri Kaspo-Tiah. Dalam kehidupan nyata, suami adalah figur kepala keluarga, sosok pengayom dan pelindung bagi istri dan anak-anak. Sebaliknya, istri merupakan representasi anggota keluarga yang harus dilindungi dan diayomi.
Tatkala saya coba baca ulang ”Suami” dengan sedikit jeli, justru yang muncul adalah sesuatu yang sama sekali lain, yakni sosok suami (pemimpin) yang pongah dan menyebalkan di satu sisi; serta di sisi lain, sosok-sosok isteri (rakyat jelata) yang tidak berdaya. Itukah representasi fenomena yang tengah terjadi di negeri ini?
Waba’du. Bagaimana format ideal kritik sastra, panjang ataukah pendek, dan sebagainya, tidaklah perlu diributkan. Yang penting untuk dicatat adalah, kehadiran kritik tersebut memang dibutuhkan. Lebih baik munculkan saja kritik, sepanjang hal itu memungkinkan, apa pun kemasannya.
Akhmad Saefudin, peminat sastra dan karyawan Humas Setda Kabupaten Banyumas