Maman S Mahayana *
Achdiat Karta Mihardja (AKM), lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911 dan meninggal di Canberra, Australia, 8 Juli 2010. Ia pergi meninggalkan kita, tetapi karyanya tetap hidup sebagai monumen bagi perjalanan kesusastraan Indonesia. Pada tahun 2005, ia menerbitkan novel Manifesto Khalifatullah (MK). Dengan begitu, AKM satu-satunya sastrawan di dunia yang masih berkarya dalam usia lebih 94 tahun. Dalam sastra dunia, Sophocles (496-406 sebelum Masehi, dramawan Yunani klasik) menerbitkan karyanya lima tahun setelah kematiannya, dan George Bernard Shaw (1856?1950, dramawan Inggris) menerbitkan karya terakhirnya dalam usia 93 tahun.
Secara tematik, MK mengingatkan kita pada gagasan Mohammad Iqbal dalam magnum opus-nya: Javid Namah. Namun, kita kehilangan tokoh Hasan yang peragu (Atheis) atau tokoh Rivai dalam Debu Cinta Bertebaran (DCB) yang diterjang godaan cinta. Dalam MK, sikapnya lebih tegas dan lugas. Itulah estetika yang diusung AKM. Itulah representasi perkembangan pemikirannya. Melihat tarikh penerbitan ketiga novel itu (1949, 1973, 2005), kita dapat menempatkannya dalam tiga fase perkembangan pemikiran AKM, yaitu Atheis (fase pertama), DCB (fase kedua), dan MK (fase ketiga). Dari sana, dapat pula terungkap pandangannya dalam menyikapi problem bangsa ini.
***
Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga Islam tradisional yang taat, AKM berhadapan dengan kebudayaan Barat melalui pendidikan Belanda. Ia menyerap suasana religius kehidupan pesantren dan menerima kebudayaan Barat lewat bahasa sumbernya. Jadi, ke belakang, ia tak dapat lepas dari dogma agama, ke depan terbentang harapan tentang manusia Indonesia yang tak dapat menghindar pengaruh Barat.
Tarik-menarik antara masa lalu yang religius?dogmatis dan masa depan yang profan-liberal lalu dianggap sebagai pergulatan Timur-Barat. Puncaknya terjadi zaman Pujangga Baru. Itulah Polemik Kebudayaan, meski AKM tak terlibat langsung. Sambil menyitir gagasan Sutan Sjahrir (Pengantar Polemik Kebudayaan, 1948) sikap AKM tegas: “kini tak usah pilih-pilih antara Timur (yang feodalistik) dan Barat (yang kapitalistik), sebab kedua-duanya akan silam dan sekarang ini sedang tenggelam ke masa silam.” AKM diterjang kegelisahan. Ia harus bersikap. Atheis (1949) itulah saluran kegelisahannya.
Atheis laksana potret zaman ketika bangsa ini berada dalam masa transisi. Tokoh-tokohnya representasi berbagai golongan masyarakat dalam menyikapi problem Timur-Barat yang belum selesai diperdebatan Polemik Kebudayaan. AKM menolak feodalisme (kebudayaan Timur yang lapuk) dan menerima modernisme dengan catatan kritis. Sikap ini berbeda dengan Sutan Takdir Alisjahbana yang tegas menerima dan berorientasi ke Barat. Ada tiga hal yang menurut AKM perlu diselidiki: (1) pengaruh Barat, (2) kultur sendiri, (3) dogma agama. Bagaimanakah gagasan itu diselusupkan ke dalam Atheis.
Dengan kesadaran ideologinya, tokoh Rusli berhasil memanfaatkan pengaruh Barat untuk kepentingan perjuangan politik. Ia ateistik, tetapi menolak kapitalisme. Jadi, Rusli mewakili kelompok masyarakat yang menentukan pilihan atas dasar kesadaran. Rusli terpelajar, propagandis, dan konsekuen. Gambaran itu berbeda dengan tokoh Anwar yang anarkis, individualis, dan tak konsekuen. Anwar dicitrakan sebagai sok kebarat-baratan.
Mengapa kedua tokoh itu dibiarkan tetap hidup, tidak seperti diri Hasan “yang TBC, ditangkap Kempetai, dan mati” dan ayahnya, Raden Wiradikarta yang kecewa atas perubahan sikap Hasan? Itulah bentuk “penghukuman” pada Hasan yang pembeo, peragu, dan taklid. Raden Wiradikarta juga mati sebagai korban keragu-raguan Hasan.
AKM menyoroti persoalan tahayul, dogma agama, dan kisah neraka yang menempatkan agama jadi menakutkan. Itulah yang terjadi di sebagian besar masyarakat Indonesia. Beribadat bukan lantaran kesadaran keimanan, melainkan karena ketakutan masuk neraka atau agar kelak bisa masuk surga. Tampak di sana, AKM menyikapi problem kemasyarakatan masa itu. Bukankah tahayul dan pengajaran agama yang kerap dihiasai kisah surga dan neraka sampai kini masih banyak kita jumpai.
***
Dalam DCB, AKM mengangkat konsep cinta yang sering dimaknai keliru. Jika perkara teisme?ateisme menyangkut keyakinan manusia tentang Tuhan, maka persoalan cinta menyangkut hubungan dua ?atau lebih?manusia yang berbeda jenis atau sejenis. Dengan latar waktu tahun 1960-an sampai awal Orde Baru dan latar tempat Australia, AKM leluasa memasukkan pandangannya. Melalui tokoh Rivai, wartawan, pemikiran dan gagasannya lebih bebas dibandingkan penggunaan pencerita ?Aku? seperti dalam Atheis.
Persoalan cinta tidaklah sederhana. Cinta Rivai pada istrinya, Fatimah, yang gila, berubah menjadi belas kasihan. Cinta Frieda pada suaminya, Ulf yang didera penyakit, memaksanya agar dilakukan euthanasia atau mercy killing melepaskan derita pasien dengan menyegerakan kematiannya. Pasangan kumpul kebo Janet dan Peter Thomas lain lagi. Keduanya menghargai kebebasan individu, tak perlu ikatan perkawinan, dan bebas berhubungan seks dengan siapa pun. Sedangkan bagi Judy dan Hermanus, cinta berkaitan dengan kehadiran dan hubungan badani. Cinta dimaknai dari berbagai sudut kepentingan. Tidak ada sekat suku bangsa, agama, usia. Rivai akhirnya jatuh cinta kepada Deanne Jorgensen, dan pada saat tertentu, kalah oleh hasrat seksnya pada Janet atau Frieda.
AKM hendak menekankan ekses seks bebas. Banyak tokoh dalam novel ini cenderung memilih seks bebas. Tokoh Dr. Ingrid Fry, misalnya, tidak mementingkan makna kegadisan dan perlu memahami seks pranikah (sex premarital), seks di luar nikah (sex extramarital). Janet dan Peter Thomas, bisa seenaknya gonta-ganti pasangan, atau Christine yang akhirnya bunuh diri. Dalam konteks ini, AKM memotret fenomena sosial yang terjadi di Australia ?yang juga banyak dilakukan orang-orang Indonesia di sana. Ia hendak mengingatkan bahaya kebebasan seks.
***
Dalam novel MK, AKM menegaskan sikap keseluruhan perjalanan hidupnya. Di bagian akhir Prolog, dikatakan, “setelah banyak merenung” khayal kreatif saya berhasillah menciptakan sebuah kispan ?? Pola yang mengingatkan pada tokoh “saya” yang menerima naskah otobiografi tokoh Hasan (Atheis) dan tokoh Rivai yang berniat menulis novel (DCB). Batas tipis antara fakta dan fiksi seperti sengaja dihadirkan di sana.
Berawal pada penentangan tokoh saya atas ideologi kapitalisme dan sekularisme. Ia bertemu pengusaha Amerika yang menganggap Tuhan tidaklah penting. Tokoh saya lalu jumpa Rosy Brisley yang menganggap: “Manusia ciptaan alam, tidak ada yang Maha Pencipta, kecuali alam sendiri?.” Dari sana cerita mulai menyinggung kapitalisme dan sekularisme. Tokoh-tokoh dunia pun bermunculan, mulai dari pemikir Indonesia, seperti STA, Chairil Anwar, Sjahrir, Bung Karno sampai ke Nietzshe, Goethe, Siddharta, Pastor Calvinus, ekonom Adam Smith, Karl Marx, Friedrich Engels, dan Lenin. Muaranya: tokoh Abah Arifin, Manusia Biasa Saja. Tokoh inilah yang memproklamasikan manifestonya.
Kunjungan ekonom Adam Smith, Karl Marx, Engels, dan Lenin ke tempat Abah menciptakan dialog. Mereka kemudian dibekali amplop berisi cerita yang secara simbolik menunjukkan pentingnya kapitalisme dan komunisme diisi spiritualitas agama-agama dan ilmu pengetahuan harus bersatu berbimbingan tangan. Jika tidak, agama maupun ilmu pengetahuan bisa acak-acakan. “Agama kehilangan akal sehatnya, ketinggalan zaman, bahkan antikemajuan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan tanpa iman kepada Yang Maha Esa lebih acak-acakan lagi?” (hlm. 144). Ujar Einstein: science without religion is blind; religion without science is lame. (Ilmu tanpa agama, buta; agama tanpa ilmu, pincang).
Kehadiran Pastor Calvinus dan Manifesto Khalifatullah tokoh Manusia Biasa Saja, Abah Arifin, menegaskan kembali pentingnya makna kerja. Slogan Ora et Labora (berdoalah dan bekerjalah) menunjukkan pentingnya kesadaran akan tugas dan kewajiban manusia di muka bumi, yaitu menjaga keseimbangan urusan dunia dan akhirat. Keduanya penting, saling melengkapi. Yang satu baru bermakna jika yang lainnya tidak diabaikan.
Demikianlah, sebagai novel gagasan, MK menegaskan keseluruhan sikap hidup AKM dalam memandang Indonesia dan hubungannya dengan berbagai ideologi dunia. Ia memberi begitu banyak “PR” kepada generasi bangsa ini, bahwa tantangan global tidak dapat dianggap enteng. Itu berkaitan dengan usaha berbagai pihak menyelusupkan ideloginya agar bangsa ini masuk ke dalam barisannya.
*) Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI, kini menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea.