Sastra dan Pembelajaran Humanistik

Nandang Darana

Sastra atau kesusastraan banyak diartikan sebagai hasil kerja kreatif dan pergumulan reflektif seseorang dengan realitas kesehariannya yang diwujudkan lewat medium bahasa. Lewat bahasa, sastrawan mengekspresikan ziarah atau penjelajahannya atas seluruh realitas. Dalam wilayah ini terjadi proses dialektis antara pandangan-dunia seorang sastrawan dengan realitas sosial yang menjadi lingkungannya. Dengan ungkapan lain, sebuah karya (mestinya) muncul sebagai akibat ketegangan atau tarik-menarik antara dunia ideal seorang sastrawan dengan kondisi obyektif di lingkungannya. Sehingga, tidak mustahil, lewat karya sastra bisa muncul ide-ide tentang pembangunan atau perubahan masyarakat. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena sastra berkemampuan menjelaskan gagasan abstrak sekalipun secara lebih komunikatif, segar, dan hidup. Barangkali, karena inilah, Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, menerbitkan Grotta Azzura, roman yang dikritik Teeuw sebagai terlalu dikuasai perfilsafatan kebudayaan pada 1970.

Selanjutnya, publik, sebagai penikmat karya sastra, tidak semata-mata menempatkan karya sastra sebagai bacaan “penghibur” yang bersifat instan. Namun, lebih dari itu, karya sastra dijadikan sebagai mitra dialog untuk sama-sama merepresentasikan segi-segi sosial dan budaya masyarakat yang tengah menggejala. Sebab, membaca karya sastra berarti juga membaca pikiran dan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat yang menjadi latar belakang munculnya sebuah karya. Pada titik ini, kritik sastra yang muncul juga menekankan perhatian pada ide atau gagasan yang terkandung dalam suatu karya sastra.

Untuk itu, perlu diupayakan terciptanya suatu masyarakat sastra yang memungkinkan terjadinya keintiman dalam proses pertukaran gagasan lewat karya sastra. Dengan cara ini, sastrawan dan publiknya ditempatkan dalam suatu pola hubungan interaktif: sastrawan dan publiknya melakukan tawar-menawar tentang konstruk tertentu bentuk transformasi sosial. Diharapkan, dari situ bisa muncul suatu dialektika yang, secara evolutif atau pun revolutif, membangun ruang bagi tumbuh-suburnya dinamika sastra dalam suatu kontek tradisi, sosial, dan budaya. Oleh sebab itu, peran sastrawan dan masyarakat bagi munculnya gagasan tersebut perlu ditegaskan kembali.

Pertama, sebagai seorang kreator, sastrawan berada dalam pergulatan proses kreatif melalui upaya perumusan wilayah estetik dan tematik dalam karyanya. Pada wilayah estetik, sastrawan dituntut untuk mengeksplorasi bakat, kecerdasan, dan keseriusannya untuk memunculkan temuan baru dalam wilayah kerjanya. Sehingga, sekalipun seorang sastrawan masuk pada arus estetika tertentu, ia tidak sekaligus kehilangan kediriannya sebagai seorang kreator. Misalnya, estetika yang sempat dikembangkan Chairil Anwar pada 1945-an, yang mendobrak puitika Amir Hamzah, muncul pada karya-karya Goenawan Mohamad, Abdul Hadi W.M., Sapardi Djoko Damono, dan Subagyo Sostrowardoyo. Tetapi toh, masing-masing memiliki kekuatan tersendiri yang merupakan ciri kedirian mereka sekaligus dalam batas-batas tertentu menjadi penegas mazhab mereka secara eksistensial.

Pada wilayah tematik, bakat dan kecerdasan saja tidak cukup. Wilayah ini lebih meminta “ruh”, ketulusan, dan empati yang besar pada sastrawan. Karya sastra lahir dari kehadiran diri secara total dari seorang sastrawan dalam realitas yang dibicarakannya; sesuatu yang oleh Goenawan Mohamad dan Arief Budiman disebut sebagai ganzheit. Tuntutan ini amat penting, agar sastrawan tidak melakukan distorsi antara teks-teks yang terdapat dalam karyanya dengan perilaku kesehariannya. Maka, kejujuran dan kesetiaan atas pesan-pesan tertinggi dalam karya sastra mesti ditempatkan secara istimewa dalam kerja kesusastraannya. Jika tidak, maka sastrawan tak ubahnya seperti zombi-zombi yang berlumuran gincu kata-kata dan kearifan: sastrawan sejajar dengan rezim yang telah mengantarkan negeri ini pada lubang kebangkrutan sendi-sendi kehidupan yang luar biasa di republik ini.

Kedua, tentang peran masyarakat. Sesungguhnya masyarakat, yang merupakan society dan bukan sekedar community, memiliki peran sejajar dengan sastrawan sendiri. Sebab, masyarakat dengan segala fenomenanya adalah sumber inspirasi bagi sastrawan. Dinamika sosial yang terjadi di masyarakat kerap menjadi tema yang muncul dalam karya. Selanjutnya, sampai batas-batas tertentu, masyarakat merupakan “pasar” bagi kemasan estetik dan tematik kerja kreatif sastrawan. Bisa jadi juga, masyarakat akan menetapkan apakah suatu karya berhak mendapat acungan jempol atau dimasukan ke dalam keranjang sampah. Jadi, apresiasi masyarakat tidak lain merupakan respon atas stimulus yang diberikan sastrawan lewat karyanya. Dalam hal ini, masyarakat akhirnya berposisi sebagai mitra dialog para sastrawan. Secara makro, proses dialog yang berlangsung kemudian menjadi dialog internal masyarakat, mengingat bahwa sastrawan sendiri merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat. Pada titik ini, tanda-tanda tegaknya bangunan masyarakat sastra dapat ditengarai.
***

Membangun masyarakat sastra, hakekatnya adalah menempatkan sastra sebagai disiplin umum secara fungsional dalam kehidupan. Maksudnya, pembelajaran sastra mesti lebih diarahkan sebagai kebutuhan setiap individu, sejajar dengan kebutuhan pembelajaran moral dan pengetahuan agama. Dengan kata lain, ada tuntutan yang bersifat humanistik dalam proses pembelajaran sastra. Konsekuensinya, tiap-tiap warga masyarakat hendaknya mendapatkan -paling tidak- dasar-dasar pengetahuan sastra. Inilah sebabnya, perpustakan umum dan upaya peningkatan apresiasi sastra melalui media massa mesti digalakkan dan dijadikan tanggung-jawab bersama sebagai syarat utama munculnya masyarakat sastra.

Selain itu, pada masyarakat sastra, sastra menjadi sarana untuk mengaca diri dan model latihan untuk mengasah kepekaan intuitif serta keberpihakan pada nurani. Dengan demikian, sastra akan menempatkan bahasa lebih dari seni komunikasi meminjam istilah Eka Budianta (Republika, 5/7/1998). Tetapi, ia merupakan bagian dari pembelajaran kehidupan dan proses pendewasaan manusia. Pada titik ini, sastra akan muncul sebagai wilayah yang menyentuh dan mewakili sendi-sendi kehidupan manusia.

Dalam kerangka tersebut, masyarakat dapat dipahami sebagai “tubuh” bagi sastra, sekaligus memaknai sastra sebagai representasi dari “ruh” masyarakat: masyarakat tanpa sastra bagaikan sosok tubuh tanpa ruh dan jiwa; sebaliknya, sastra tanpa masyarakat tiada lain dari jiwa-jiwa atau ruh yang tidak memiliki “badan” bagi kehidupannya di dunia. Dengan demikian, sastrawan merupakan perwujudan dari jiwa masyarakat yang melakukan pewartaan tentang gejolak dan ghirah yang mengendap dalam sanubari masyarakat. Maka wajar, bila rintihan dan nubuwwat sastrawan menjadi ekpresi dari harapan dan hikmat ilahiyah bagi masyarakatnya.

Pengetahuan dan penghayatan sastra seperti itulah yang kemudian dapat menjadikan tiap-tiap individu dalam masyarakat memahami jati dirinya sebagai manusia, sekaligus berpeluang untuk terus-menerus melakukan pembebasan dari segala macam hegemoni. Sastra, pada titik ini, selanjutnya, menjadi wahana libertarian. Kekuatan sastra sudah bukan lagi milik elit sastrawan belaka, tetapi telah menjadi milik bersama: sastrawan dan masyarakat muncul sebagai moral-force. (dari Kompasiana.com)
***

Leave a Reply

Bahasa ยป