BI Purwantari
Kompas, 16 Sep 2006
Selain memiliki industri perbukuan yang merambah pasar dunia, India dikenal mempunyai banyak penulis dunia. Karya-karya mereka, selain dianggap turut mewarnai perkembangan kesusastraan atau pun bidang keilmuan lainnya, juga dilihat sebagai produk kebudayaan yang ikut mengubah dunia.
Para penulis ini, baik laki-laki dan perempuan berkarya di berbagai bidang, mulai dari sastra, ekonomi-politik, feminisme, sejarah, maupun lingkungan hidup. Mereka juga tidak berasal dari satu wilayah saja di India, tetapi dari berbagai negara bagian, baik dari wilayah barat, tengah, maupun timur India. Menariknya, kerja-kerja mereka menulis buku dibarengi juga dengan karya-karya lain di bidang sosial, ekonomi, maupun politik yang ikut memperkuat perubahan yang hendak mereka lakukan.
Terbukti, India melahirkan pemenang Nobel di bidang sastra dan ekonomi. Rabindranath Tagore, orang India sekaligus warga Benua Asia pertama yang menerima Nobel sastra tahun 1913. Lahir sebagai keturunan kasta Brahmana di Calcutta pada 7 Mei 1861, Tagore dikenal sebagai penyair, filsuf, pelukis, komposer, maupun novelis Bengali. Beberapa karya utamanya, Gitanjali (Song Offerings), Gora (Fair-Faced), dan Ghare-Baire (The Home and the World) mendapat pujian publik dunia.
Kiprah Tagore memang tak terbatas pada syair-syairnya. Selain aktif terlibat dalam gerakan kemerdekaan nasionalis India, Tagore juga membangun sekolah eksperimental di Santiniketan yang dinamakan Visva-Bharati University. Pada tahun 1921, Tagore dan seorang ekonom pertanian, Leonard Elmhirst, mempersiapkan institusi pendidikan itu untuk rekonstruksi pedesaan. Ia juga menumbuhkan perhatian terhadap kesadaran akan adanya diskriminasi kasta.
Masih di seputar Nobel, Amartya Sen, intelektual India berikutnya yang menerima The Bank of Sweden Prize in Economic Sciences pada tahun 1998. Amartya Sen Zahir di Santiniketan, West Bengal, pada 3 November 1933. Penghargaan Nobel jatuh kepadanya atas kerja kerasnya meneliti masalah-masalah utama dalam ekonomi kesejahteraan. Sumbangannya terentang dari studi empiris tentang kelaparan yar g meluas, teori pembangunan manusia, ekonomi kesejahteraan, mekanisme terjadinya kemiskinan, serta liberalisme politik. Karya-karyanya, seperti Collective Choice and Social Welfare, On Economic Inequality, Poverty and Famines, telah memberikan sumbangan besar terhadap riset tentang masalah-masalah mendasar dalam ekonomi kesejahteraan. Dalam Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation, misalnya, Prof Sen menggugat pemikiran umum sebelumnya yang menganggap habisnya persediaan bahan makanan sebagai satu-satunya faktor yang menyebabkan terjadinya kelaparan yang meluas. Sebaliknya, ia melihat bahwa ketimpangan dan ketidakadilan dalam mekanisme distribusi bahan makanan merupakan faktor penting yang memengaruhi terjadinya kelaparan.
Dalam ruang lain, para perempuan India juga berhasil menelurkan karya-karya yang bukan saja menyabet penghargaan, tetapi juga mengubah wajah dunia sebagai wilayah yang memberi tempat sejajar bagi kelompok yang terpinggirkan. Paling tidak empat nama patut disebutkan di sini, Vandana Shiva, Gayatri Spivak, Urvashi Butalia, dan Arundhati Roy. Vandana Shiva adalah seorang ahli fisika, aktivis lingkungan hidup, ecofeminist, dan penulis. Perempuan kelahiran Dehra Dun, di negara bagian Uttaranchal, ini telah lama memperjuangkan perubahan dalam hal praktik dan paradigma pertanian dan makanan. Bukunya yang berjudul The Violence of Green Revolution: Ecological Degradation and Political Conflict in Punjab dan Monocultures of the Mind: Biodiversity, Biotechnology and Agriculture menggugat paradigma dominan pertanian yang tidak berkelanjutan dan revolusi hijau yang sepihak. Karya lainnya, Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India, mendefinisikan kembali persepsi tentang perempuan di negara dunia ketiga. Ia juga terlibat di dalam gerakan akar rumput di Afrika, Asia, Amerika Latin, Irlandia, Swiss, maupun Austria dengan kampanye menentang rekayasa genetik, hak atas kekayaan intelektual, biodiversity, dan biotechnology. Ia mendapat berbagai penghargaan kaliber dunia seperti Right Livelihood Award yang juga dikenal sebagai Alternative Nobel Prize, atas usahanya menempatkan perempuan di jantung perdebatan tentang pembangunan modern.
Di bidang sastra, Gayatri Chakravorty Spivak memberi sumbangan besar bagi pemikiran post-kolonialisme. Artikelnya yang terkenal, Can the Subaltern Speak? dianggap sebagai teks yang mendasari pemikiran post-kolonialisme. Sementara itu, karya terjemahannya atas pemikiran Derrida Of Grammatology membuatnya dikenal dunia setelah ia terlibat dalam seri diskusi kajian sejarah dan kritik sastra atas imperialisme dan feminisme internasional. Karya mutakhirnya, A Critique of Postcolonial Reason: Towards a History of Vanishing Present, mengungkap bagaimana para filsuf Eropa seperti Kant dan Hegel tidak hanya menyisihkan pemikiran-pemikiran kritis ke wilayah yang terpinggirkan, tetapi juga secara aktif mencegah para pemikir non-Eropa menempati posisi sebagai subyek yang utuh.
Urvashi Butalia adalah seorang feminis, sejarawan, dan penulis. Perempuan kelahiran Ambala ini, bersama-sama dengan rekannya Ritu Menon, mendirikan Kali for Women, penerbit feminis pertama di India. Kali for Women terutama bekerja menerbitkan karya-karya tentang perempuan dari dunia ketiga. Penerbit ini juga menyediakan forum bagi para penulis, pekerja kreatif, maupun akademisi perempuan. Bukunya, The Other Side of Silence, merupakan karya yang sangat berpengaruh dalam studi tentang Asia Selatan selama dekade lalu.
Karya ini didasarkan pada fakta yang terjadi selama Partition, pemisahan India dan Pakistan pada tahun 1947. Tidak kurang dari satu juta orang mati akibat peristiwa tersebut. Buku ini berisi lebih dari 70 wawancara terhadap para survivor dan memfokuskan pengungkapan adanya kekerasan terhadap perempuan sebagai pengalaman kolektif. Karya Butalia ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Sisi Balik Senyap, dan menjadi referensi bagi para sejarawan yang menganggap penting metode sejarah lisan, maupun bagi para aktivis yang berupaya mengungkap tragedi kemanusiaan di masa lalu.
Lahir di wilayah Assam, Arundhati Roy adalah seorang novelis, aktivis, dan warga dunia. Ia memenangkan Booker Prize di tahun 1997 untuk novelnya yang terkenal, The God of Small Things. Novel ini menceritakan kisah cinta seorang perempuan dari keluarga berada dengan laki-laki yang berasal dari kasta rendah dari yang paling rendah. Di dalam jalinan kisah ini juga terungkap tentang ketidakadilan, kesewenang-wenangan yang terjadi dalam hubungan antaragama, kelas, ras, kasta maupun sepak terjang pemimpin komunis yang menjadi penguasa wilayah Kerala. Penerbitan novel ini mengundang kontroversi, baik di India maupun di luar negeri.
Setelah memenangkan Booker Prize, Roy memfokuskan tulisannya pada isu-isu politik, di antaranya kasus Waduk Narmada di negara bagian Gujarat dan Rajashtan. Roy in juga dikenal sebagai aktivis gerakan anti-globalisasi/ alter-globalisasi dan pengkritik pedas neo-imperialisme.
Berbagai karya dan aktivitas para penulis India yang turut menjadikan wajah dunia lebih manusiawi dan adil menunjukkan bahwa dua kerja itu bukanlah dua entitas yang terpisahkan.
***