Pornografi Dalam Karya Sastra

I Nyoman Suaka
http://www.balipost.com/

Sastra sebagai karya seni memiliki peluang yang hampir sama dengan bidang seni lainnya dalam hal pornografi. Namun unsur porno, erotis dan seks dalam karya sastra tidak seperti goyang dangdut Inul Darastita, yang sangat heboh belakangan ini, walaupun sama-sama seni. Selain penyanyi Inul, unsur pornografi sering juga ditunjukkan dalam seni lukis, foto, film dan patung, yang mudah dipelototi. Sehingga muncul polemik di masyarakat antara seni dan pornografi. Bagaimanakah pengarang menampilkan unsur seks dalam karyanya?

DALAM karya sastra, pengarang tidak ada jalan lain, hanya dengan bahasa. Pengarang merangkai kata-kata untuk menghasilkan karya sastra atau karangan. Maka dari itu, dalam pengertian yang amat sederhana muncul istilah karangan bunga dan karangan buah. Dalam karangan buah, seseorang merangkai buah dan dalam karangan bunga, seseorang merangkai bunga. Mengarang adalah seni dalam merangkai kata-kata dan bahasa. Makanya, menampilkan unsur seks dalam karya sastra, tidak terlepas dari kemampuan pengarang memilih kata-kata untuk mengundang hasrat seks bagi pembacanya.

Mendifinisikan pornografi dalam karya sastra, sangat diak mudah. Hal ini sangat relatif tergantung kepada penikmat karya itu, dalam konteks ini adalah pembaca. Demikian juga dalam seni lainnya, sehingga unsur seks dalam seni selalu menimbulkan pendapat pro dan kontra di masyarakat. Walau begitu, sastrawan dan budayawan Umar Kayam (almarhum) dalam hidupnya pernah memberikan sumbangan pemikiran tentang seks dalam karya sastra, sebagai berikut.

Pertama, pembaca agar tidak tergesa-gesa menjatuhkan vonis, cabul atau melanggar nilai-nilai kesusilaan terhadap buku-buku kesusastraan yang di dalamnya menyangkut tentang kehidupan seks, sebelum mencoba mengerti tentang motif dan kedudukan penulisnya. Kedua, soal seks adalah soal kemanusiaan yang terbesar yang selalu “mengganggu” kehidupan manusia, yang karenanya akan selalu dijumpai dalam kesusastraan kapan saja.

Ketiga, karya sastra yang menyangkut soal seks tidak mungkin dianggap sebagai hasil sastra yang melanggar nilai-nilai kesusastraan. Apabila karya itu didukung oleh satu ide yang baik, dipersiapkan dengan matang dan mendalam serta memberi pengertian yang baik tentang kehidupan dan kemanusiaan. Keempat, cerita yang menyangkut soal seks bisa dikatakan melanggar nilai-nilai kesusilaan atau cabul, selama didukung oleh ide-ide yang jelek, persiapan dan pengolahan yang gegabah dan murah. Pada akhirnya karya itu tidak mampu memberikan apa-apa kepada pembacanya. Pengertian seks dalam karya sastra seperti yang diberikan Umar Kayam itu terasa agak longgar. Diperlukan kajian yang lebih mendalam lagi menyangkut motif dan keberadaan pengarangnya. Kalau karya itu didukung ide yang baik dan dapat memberi pengertian yang agung tentang kehidupan, maka unsur pornografi dalam karya itu seakan-akan dapat diampuni, bahwa karya sastra itu mengandung nilai-nilai kesusastraan.

Bacaan Cabul

Sejak sastra zaman klasik sampai modern, masalah seks dan pornografi selalu diperdebatkan, walau tak seheboh goyang ngebor penyanyi dangdut Inul. Pada awal kesusastraan Indonesia modern, misalnya, pemerintah kelonialisme Belanda melarang peredaran buku-buku sastra dan non-sastra yang berbau cabul. Larangan ini tidak saja sekadar imbauan dari pejabat Belanda, tetapi juga secara resmi melalui pendirian sebuah lembaga yang diberi nama Volksleectuur, yang kemuidan berganti nama menjadi Balai Pustaka.

Salah satu tujuan Volkslectuur adalah ikut mencerdaskan masyarakat pribumi dengan menerbitkan buku-buku bacaan. Dengan penerbitan ini berarti pemerintah Belanda turut menyeleksi agar buku-buku yang diterbitkan buku bermutu, sedangkan buku sastra yang berbau cabul tidak lulus sensor redaksi. Di luar penerbitan Volkslectuur, buku-buku yang beredar diistilahkan buku liar. Penerbitan buku liar ini ketika itu sangat ramai dan banyak dijumpai buku-buku sastra yang bersifat mengundang nafsu birahi bagi pembacanya. Ternyata buku bacaan seperti itu sangat laris.

Mungkin saja pengarang tidak dengan sengaja melukiskan unsur kecabulan, tetapi penceritaannya yang terlalu naturalistis akhirnya cenderung mengarah ke seksualitas. Novel “Pengakuan Pariyem” karya Linus Suryadi memberikan gambaran yang berani dan terbuka mengenai persoalan hubungan seksual, seperti terungkap dalam kutipan berikut. “…Saya diborongnya, diambunginya. Saya dibaringkan di atas amben: tempat tidur saya bila malam, tempat ngaso saya bila siang. Dalam keriut-keriut diseling bunyi, saya digulatinya habis-habisan. Tak malam, tak siang, tak sore. Waktu hilang di atas bale-bale. Dalam dahaga saya reguk air murni. Jagad merasuk ke dalam sanubari. Oh, ampun, ya, ampun, anunya gede banget, lho. Saya merem meladeninya.” (Suryadi, 1981:39).

Cerita Pendek
Di bidang cerita pendek (cerpen), unsur seks lebih semarak lagi. Malahan unsur seks ini ada yang mengambil latar cerita pada zaman revolusi fisik. Cerpen itu, misalnya “Kejantanan Disumbing” karya Subagio Sastrowardoyo dan cerpen “Di Medan Perang” karya Trisnojuwono. Unsur pornografi itu ternyata cukup menghibur karena dikisahkan dengan menarik, dan dapat mengendurkan syaraf yang tegang ketika pembaca diajak berperang dalam cerpen itu. Hal ini sangat ditunjang oleh latar belakang biografis pengarangnya yang memang keduanya — Trisnojuwono dan Subagio Sastrowardoyo — pernah aktif mengangkat senjata, ketika perang kemerdekaan. Hal seperti inilah yang dimaksud almarhum Umar Kayam sebagai motif dan keberadaan pengarang yang mendukung cerpen itu. Dengan demikian, pembaca tak bisa gegabah untuk menilai kedua cerpen tersebut sebagai bacaan porno. Justru sebaliknya, dua cerpen tersebut, dalam khazanah kesusastraan Indonesia, dikategorikan sebagai cerpen sastra yang bermutu.

Dalam cerpen “Kejantanan Disumbing” dilukiskan, suatu malam yang amat dingin, maklum udara pegunungan, suatu ketaksengajaan membuat tokoh “Aku” menjatuhkan lampu minyak dari meja di dalam sebuah kamar sempit, di suatu rumah desa, tempat mereka mengaso. Dan terjadilah peristiwa itu, “Aku” yang sudah keranjingan membunuh saja tawanannya, ternyata timbul lagi sifat kejantanannya. Kelaki-lakiannya. Birahinya. Pengarang Subagio Sastrowardoyo menulisnya sebagai berikut.

“Aku seperti terpesona. Kesuburan tubuh yang memeluk aku serta hawa kulitnya yang membara, memabokkan napasku. Aku merasa diberi hajat hidup yang melimpah dan nikmat. Aku lalu lupa kepada kengerian mati sendiri. Aku akan lepas dari pusaran hidup yang tak berujung pangkal. Lalu aku menangkap tubuh perempuan itu selaku harimau menerkam mangsanya dan mengerkahi mulutnya yang kacau berbisik-bisik sehingga diam terkecup….”

Cuplikan itu, tidak melukiskan secara mendetail unsur pornografi sepertin halnya tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah-majalah hiburan. Majalah-majalah hiburan yang sering membuat cerpen mempergunakan segi pornografi sebagai alat sensasi. Untuk melukiskan sesuatu yang behubungan dengan hubungan yang sangat intim, menyangkut pasangan berbeda jenis kelamin, tidak perlu diungkapkan sampai kepada hal-hal yang mendetail yang sebenarnya masih dapat dirahasiakan. Pengungkapan samar-samar tetapi sugestif sifatnya sudah cukup mengantarkan pembaca untuk mengetahui maksud pengarang. Dengan pelukisan yang hanya tahap pengantar rangsangan seks, berarti sudah memberi kesempatan kepada pembaca untuk menerawang jauh berimajinasi.

Persoalan seks dan pornografi dalam novel dan cerpen hanya bersifat “titipan” dan bukan hal yang utama, sehingga tidak perlu diobral. Hal-hal yang porno dan cabul yang diobral dalam karya sastra atau karya seni lainnya dapat mengurangi keindahan karya itu. Bahkan dapat dikatakan merusak karya itu sendiri karena dicap karya murahan.

* I Nyoman Suaka, IKIP Saraswati Tabanan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *