Judul : Teori Feminisme dan Cultural Studies
Penulis : Sue Thornham
Penerbit : Jalasutra
Tahun : 1, 2010
Tebal : 296
Harga : Rp. 57.000
Peresensi : Ecep Heryadi*
http://oase.kompas.com/
Charles Fourier, seorang aktifis sosialis-utopis, tahun 1837 bergejolak menangkap realitas kolonialitas yang dipraktikkan kaum pria terhadap perempuan, maka keluarlah kata ?feminisme?. Transformasi gerakan feminisme secara besar-besaran terjadi dan berhasil pindah ?susu-an? ke Amerika dan mengalami perkembangan pesat sejak diterbitkannya the Subjection of Women yang ditulis John Stuart Mill, di tahun 1869.
Awal mulanya, adalah pemerkosaan hak-hak dan penjagalan kaum feminis dalam segala aneka rupa aktivisme kehidupan. Segala potensi dan perilaku kaum feminis ini disandera dan terus-terusan terjadi pereduksian hingga eksistensinya tak ubahnya kembali ke sebelum pertengahan abad ke-6 dimana kenabian Muhammad masih hidup. Pembelahan jender menjadi afirmasi karena bukan hanya dilegalkan, terlebih telah mengalami pemaksaan. Perempuan (feminis) ibarat ?manusia zonder? yang tak mengandung ?zat hidup? dirahimnya, yang secara hakikat keturunan yang dihasilkannya sebagai penerus peradaban.
Zaman mulai menandakan kebaikannya tatkala kisah kelam kaum feminisme ini merangkak mampu mengubah sejarahnya. Praktik liberalisme di Eropa dan Revolusi Prancis di abad ke-XVIII yang secara perlahan bergerak merambah Amerika Serikat, dan akhirnya ke seluruh dunia telah merusak bangunan kokoh ihwal pemenjaraan kaum feminis dalam berbagai aspeknya. Rupanya, perempuan sedunia patut berterimakasih kepada dua heronya, Marquis de Concorcet dan Lady Mary Wortley Montagu sebagai pelopor zaman renaissance itu.
Seiring perkembangannya, gerakan feminisme bermetamorfosa menjadi gerakan-gerakan akademis dan mencipta teori-teori (create of theories). Buku renyah namun menantang berjudul: teori-teori feminisme dan cultural studies menarik untuk disimak karena ternyata feminisme dianggap sebagai teori yang ?muncul belakangan? sehingga merubah tatanan cultural studies yang sudah mapan. Makanya, saya mengamini Sue Thornham, si penulis, bahwa ?perdamaian? diantara keduanya?teori feminisme dan cultural studies?perlu diwujudkan dengan eksplorasi pendekatan metodologis dan tinjauan teoritis dalam bingkai cultural studies-feminis: wilayah studi etnografi, pendekatan psiko-analisa, dan perdebatan teoretis yang melingkupi wilayah kajian mengenai konsumsi budaya dan tubuh dalam ranah budaya.
Akhirnya, buku ini menjadi wajib dihidangkan tatkala kita hendak memahami sumbangsih feminisme dalam melengkapi panel-panel cultural studies sehingga berupa kajian (baca: ilmu) yang cakupannya menjadi lebih komprehensif.
*) Penulis adalah Analis Politik UIN Jakarta, Intelektual Muda Muhammadiyah.