Gola Gong, Jangan Ditiru!

Makmur Dimila *
blog.harian-aceh.com

Ketika berusia 41 tahun, Gola Gong yang mulai bertangan satu sejak berusia 10 tahun menulis autobiografinya. Ia merasa setengah hati menulisnya, namun hati lelaki bernama asli Heri Hendrayana H itu berteriak terus.

Tangan kanannya tak kuasa menahan gejolak jiwa. Kelima jarinya tak mau diam. “Aku ingin dibaca! Aku ingin dibaca!” Begitu batinnya saat itu, mengenang sebuah nama idamannya: Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker, pengarang novel hebat Max Havelaar. Di mana di pengantar novel itu, Multatuli menggoreskan kata sakti, “Ya, aku bakal dibaca!”.

Meski bertangan satu, Gol A Gong sangat percaya diri menjalani hidupnya hingga ia menjadi seorang penulis hebat. Semula, ia bercita-cita ingin menjagi guru. Karena menurutnya guru adalah pekerjaan mulia. Hanya saja saat rezim Soeharto, banyak peraturan yang memojokkan orang cacat. “Jadi guru tidak boleh cacat,” kata Soeharto.

Namun karena kedua orang tuanya guru, maka ia lebih memilih bertualang, di mana setiap hasil pertualangan fisik, batin, dan otaknya akan dituangkan ke dalam tulisan. Hingga ia menghasilkan banyak karya, terutama novel. Balada Si Roy, adalah novel serial remajanya yang sangat diburu saat itu. Ia berkisah kehidupan seorang petualang dengan kelelakiannya yang amat kuat, sehingga banyak anak muda terinspirasi oleh karyanya. Gola Gong mengetik naskah novel yang diterbitkan 10 jilid pada 1989-1994 oleh Gramedia Pustaka Utama itu dengan menggunakan mesin tik hadiah ayahnya.

Pada 1986, saat usianya masih 23 tahun, Gola Gong meninggalkan kuliahnya di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran hanya untuk menggenggam dunia, menjelajahi Nusantara. Ia jenuh dengan teori melulu. Ia pun berhasil mengunjungi suku Dani di Pegunungan Jayawijaya, Lembah Belien, Papua. Pada suku itu ia banyak belajar tentang kesederhanaan dan kebijaksanaan bahwa alam adalah bagian dari dirinya.

Dan suatu pagi di pertengahan 1986, ia terdampar di Kota Manise, Ambon ketika melanjutkan pertualangannya jelajahi Nusantara. Lalu dari Tolehu ia menyebrang ke Amahai sampai ke Pulau Geser. Ia sempat mampir di suku terasing, Nowaulu. Dari Pulau Geser ia naik kapal perintis ke Fakfak, Irian. Kemudian menyusuri pantai Pulau Seram dengan berjalan kaki selama sebulan. Dari pertualangan itu, ia banyak menemukan hal baru, rasa kesetiakawanan yang tinggi dari penduduk Pulau Seram.

Setiap kemalaman ia mengetuk pintu mereka yang terbuat darin pohon sagu. Lalu mereka membuka puntu dan menjamunya dengan bubur sagu dan kari ikan. Padahal secara suku dan agama Gola Gong dengan mereka berbeda, namun ia diterima dengan baik.

Pada 1990, Gola Gong bersepeda dari Kuala Lumpur-Malacca-Bangkok. Dia membeli sepeda di Kuala Lumpur dengan uang pembekalan ayahnya. Dan menjual lagi ketik tiba di Khao San, Bangkok, karena sulit menyusuri Myanmar dengan bersepeda. Ia mengayuh sepeda dengan tangan satu, melalui kelok-kelokan, tanjakan, dan turunan. Tidur di masjid-masjid sepanjang Malaysia dan di wat-wat perjalanan menuju Thailand.

Setelah puas mengelilingi Nusantara, pada 1990-1991 Gola Gong melakukan perjalanan jurnalistik menyusuri beberapa negara Asia: Serawak, Singapura, Malaysia, Thailand, Laos, Myanmar, Bangladesh, India, Nepal, dan Paikistan. Setiap melewati negara-negara itu, ia menuliskan catatan perjalanan. Kemudian dikirim ke pemimpin redaksi majalah Anita Cemerlang (sudah tutup sekarang) melalui jasa pos. Catatannya itu dimuat bersambung di majalah tersebut hinggga pada 1992 dibukukan dan diterbitkan Puspa Swara dengan judul Perjalanan Asia. Dari hasil pertualangan itu semua, ia menuliskan pengalamannya dalam beragam jenis karya sastra.

Puncak hidup Gola Gong digapai pada 3 Maret 2002, saat ia meresmikan Rumah Dunia, yaitu pusat belajar yang berlokasi di halaman belakang rumahnya, seluas 1.000 meter persegi. Rumah Dunia itu diperuntukkan bagi anak-anak, pelajar, dan mahasiswa. Gratis. Mereka bisa belajar sastra, jurnalistik, seni rupa, dan teater. Adalah visi Rumah Dunia itu untuk mencerdaskan dan membentuk generasi baru yang cerdas dan kritis.

Ternyata, pengarang bertangan satu itu juga lihai bermain bulu tangkis. Saat masih di SMP dan SMA, Gola Gong dikenal sebagai pebulutangkis handal di Banten. Ia menjadi tim utusan sekolah mewakili kota Serang di tingkat Jawa Barat. Bahkan ia mengumpulkan banyak prestasi pada 1986. Ia mengikuti Fespic Games (Far East South and Pasific Games), pestanya olahraga cacat se-Asia Pasifik. Ia meraih juara single, double, dan beregu putra. Dan pada 1990, ia menyabet emas double dan beregu putra di kejuaraan Fespic Games, Kobe, Jepang.

Masa SMA (1980-1982), Gola Gong membuat majalah kumpulan cerpen (kumcer) seperti Anita Cemerlang, Aneka Yess dan Annida. Cerpenis dan ilustratornya adalah dia sendiri. Ia menggunakan nama samaran, Aris H.R. dan Gino Fhikalqees sebagai nama cerpenis. Di halaman pertama majalah itu, ia bubuhi kata pengantar dari pengarang hebat saat itu, Edi D. Iskandar serta tanda tangannya. Majalah yang disebearkan di sekolahnya SMAN 1 Serang langsung mendapat jempol manis dari kawan-kawannya ketika membaca kata penagantar “palsu” itu.

Hobinya ketika SMP (1977-1979) lain lagi, ia membuat komik silat. Ia menggabar tokoh-tokoh silat favoritnya dengan cat air, seperti Bruce Lee, Fu Shen, Chen Kuan Tai, dan Yasuaki Kurata. Cerita dan dialognya dia bikin sendiri. Di samping itu, jika teman kecilnya belajar dan mengerjakan PR, ia malah menonton bioskop hampir setiap malam.

Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, Gola Gong sudah gemar membaca buku dan alam semesta. Ia juga suka menonton film. Selain koran dan majalah, ia suka membaca komik-komik semisal Pangeran Kodok, Kisah 1001 Malam, dongeng pewayangan dan lain-lain, berdasarkan anjuran orangtuanya. Dia juga gemar menonton film TV favorit seperti Tarzan, Zorro, Batman dan Robin, Superman, The Lone Ranger hingga Jendral Kancil yang diperankan Ahmad Albar.

“Membaca itu seperti tenaga dalam yang dimiliki oleh para jagoan kungfu di flim-film silat. Semakin tinggi tenaga dalamnya, semakin hebat ilmu yang dimiliki. Marahimin menulis, membaca adalah sarana utama menuju ke keterampilan menulis.” Tulis Gola Gong dalam buku memoarnya, Menggenggam Dunia, Bukuku, Hatiku.

Usai membaca dan menonton itu semua, pikirannya merangasang. Ia pun ingin menjadi seperti tokoh pahlawan dalam cerita-cerita itu. Tak hanya itu, ia juga merasakan dirinya pada setiap apa yang dilihat di kehidupan. Gola Gong pun ingin bertualang, ingin mengelilingi dan menggenggam dunia.

Pada 5 Oktober 1973 di Serang, Gola Gong kecil menikmati prajurit merayakan Hari ABRI yang melakukan atraksi terjun payung. Mereka berjatuhan di alun-alun. Ada juga yang nyangkut di pohon asam. Dipicu oleh atraksi itu dan sedang mewabahnya film Jendral Kancil, maka Gola Gong beserta kawan-kawan sekompleksnya mulai merebut pengaruh. Harus ada pemimpin di antara mereka, karena semua ingin menjadi Jendral Kancil. Lalu mereka bersepakat, harus ada “casting”. Siapa yang berani naik pohon pete Cina dan melompat dari ketinggian, dan siapa yang paling tinggi dialah yang berhak menyabet gelar Jendral Kancil. Dan yang berani melakukannya saat itu hanyalah Gola Gong dan seorang kawannya.

Hingga dua kali lompatan, setinggi 2 meter, belum ada yang gugur di antara keduanya. Kemudian Gola Gong mencoba pada ketinggian 3 meter. Namun ia terpeleset akibat ketakutan yang ditimbulkan oleh hadirnya angin kencang, sehingga ia jatuh kurang tepat. Alhasil, sikut kirinya lepas dari engselnya. Dia merasakan sakit yang luar biasa. Beberapa hari setelah insiden itu, tangan kirinya harus diamputasi. Sejak itu lah ia bertangan satu. Hop! Yang satu ini, “jangan ditiru!”
***

*) Mahasiswa KPI-Jurnalistik Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry.

2 Replies to “Gola Gong, Jangan Ditiru!”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *