Kepengurusan Kebudayaan

Nunus Supardi
suaramerdeka.com

Tidak tepat jika lembaga kebudayaan di pemerintahan diusulkan untuk dihapus. Juga tidak tepat apabila keberadaan lembaga kebudayaan di masyarakat dibiarkan atau malahan dimusuhi. Lembaga ini diperlukan karena menjadi wadah aktivitas pemilik kebudayaan. Lembaga itu menjadi kantong yang potensial dan sumber kekuatan dalam memajukan kebudayaan bangsa. Lembaga semi pemerintah juga perlu dipertahankan keberadaannya karena tidak semua lembaga kebudayaan memiliki kemampuan untuk mandiri.

MENJELANG diselenggarakannya Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV di Semarang 10/9/2006, sejumlah sastrawan Jawa menyelenggarakan Kongres Sastra Jawa (KSJ) II. Kongres yang ditutup 3/9/2006 yang lalu menyepakati untuk menghidupkan lagi Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) yang pernah hidup dan berkembang pada tahun 70-an.

Dapat diduga kesepakatan itu lahir setelah peserta kongres menyadari peranan OPSJ sebagai lembaga di masyarakat dalam mengembangkan sastra Jawa. Kehadiran lembaga ini diharapkan akan menjadi wadah pertemuan para sastrawan Jawa, bersama Pemerintah Daerah mengembangkan sastra Jawa yang kini sedang banyak menghadapi banyak tantangan.

Masyarakat Jawa patut “iri” pada masyarakat Sunda yang memiliki Yayasan Kebudayaan Sunda “Rancage” yang berdiri 1989, dan hingga kini secara rutin dapat memberikan penghargaan kepada para sastrawan Sunda.

Mulai tahun 1994, hadiah sastra “Rancage” juga diberikan kepada sastrawan Jawa, dan mulai tahun 1998 diperluas hingga satrawan yang menggunakan bahasa Bali. Masyarakat Sunda juga memiliki kebanggaan lain, dengan keberadaan “Lembaga Basa Sunda Jeung Sastra Sunda” (LBSS) yang berdiri sejak 31 Desember 1952.

Hingga kini lembaga ini masih tetap aktif dan berhasil menyelenggarakan Kongres Bahasa Sunda delapan kali.

Kuda Troya

Berbicara tentang organisasi atau lembaga kebudayaan yang berkembang di masyarakat (semacam OPSJ), tidak dapat lepas dari keberadaan lembaga yang mengurus kebudayaan di pemerintahan. Kita masih ingat ketika memasuki masa reformasi telah terjadi koreksi terhadap kinerja pemerintah Orde Baru yang dinilai terlalu dominan dalam pengurusan kebudayaan.

Akibatnya masyarakat termasuk lembaga yang ada merasa tidak terlibat dalam kegiatan kebudayaan. Lembaga di pemerintahan dinilai telah bertindak secara represif dalam mengurus kebudayaan.

Banyaknya larangan terhadap kegiatan kebudayaan dinilai telah menjadi “kuda troya” untuk mengekalkan kekuasaan. Sampai-sampai ada yang mengusulkan agar pemerintah sebaiknya tidak ikut campur dalam mengurus kebudayaan. Lembaga yang ada dibubarkan saja, karena merugikan bagi perkembangan kebudayaan.

Masalah kebudayaan sebaiknya diserahkan saja kepada masyarakat pemiliknya agar kebudayaan dapat berkembang secara lebih bebas.

Kejadian ini menunjukkan masih ada ganjalan mengenai pembagian kewenangan antara keduanya. Kalau mau adil antara keduanya sebenarnya pernah sama-sama mengecewakan dunia kebudayaan. Jika benar langkah pemerintah terlalu dominan itu merugikan perkembangan kebudayaan, lembaga kebudayaan di masyarakat pun pernah terjebak dalam langkah yang sama.

Ketika lembaga kebudayaan (LEKRA dan kroninya) habis-habisan mengabdi pada kepentingan ideologi politik, dan menyerang kubu lain yang tidak sepaham. Lahir kelompok kiri dan kelompok kanan, yang keduanya berseberangan sehingga terjadilah “gontok-gontokan” untuk mempertahankan kebenaran pandangannya.

Kebudayaan menjadi “kuda troya” untuk kepentingan ideologi politik tertentu, dan pertengkaran itu juga dinilai tidak memberikan manfaat bagi kemajuan kebudayaan.

Tiga Model

Masalah peranan lembaga kebudayaan baik di masyarakat maupun di pemerintah telah diperdebatkan dalam Kongres Kebudayaan 1951 di Bandung. Dalam makalahnya, Yamin menampilkan 3 model. Pertama, model pengurusan kebudayaan yang diterapkan di negara-negara demokrasi totaliter (komunis) seperti yang berlaku di Rusia. Urusan pemeliharaan kebudayaan dan ilmu pengetahuan dominan ditangani oleh pemerintah. Hasilnya seperti dapat disaksikan, kebudayaan Rusia mengagumkan banyak bangsa. Model kedua, yang diterapkan di negara-negara nasional-demokratis (liberal) seperti di Eropa Barat, Amerika Serikat, dan Canada, urusan pemeliharan kebudayaan dan ilmu pengetahuan dipecah menjadi dua, yaitu oleh pemerintah dan sebagian besar ditangani oleh lembaga di masyarakat. Hasilnya, semua bangsa juga mengakui sebagai karya budaya yang mengagumkan.

Model ketiga, pengurusan kebudayaan yang dilaksanakan oleh 3 elemen, yaitu oleh lembaga pemerintah; oleh lembaga di masyarakat, dan oleh lembaga campuran antara masyarakat dan pemerintah atau semi pemerintah.

Setelah memperhatikan kondisi bangsa Indonesia yang pluralis, multikultur, beranekaragam agama, menurut Yamin pengurusan kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam negara RI dilaksanakan oleh ketiga lembaga itu dengan mengadakan kerja sama yang sebaik-baiknya.

Bertolak dari pendapat Yamin di atas, ketiga elemen itu pada hakikatnya harus ada. Oleh karena itu tidak tepat jika lembaga kebudayaan di pemerintahan diusulkan untuk dihapus. Juga tidak tepat apabila keberadaan lembaga kebudayaan di masyarakat dibiarkan atau malahan dimusuhi. Lembaga ini diperlukan karena menjadi wadah aktivitas pemilik kebudayaan. Lembaga itu menjadi kantong-kantong yang potensial dan sumber kekuatan dalam memajukan kebudayaan bangsa. Sementara itu, lembaga semi pemerintah juga perlu dipertahankan keberadaannya karena tidak semua lembaga kebudayaan memiliki kemampuan untuk mandiri.

Kepada lembaga jenis ini perlu diberikan bantuan oleh pemerintah dengan catatan tidak ada ikatan apapun kecuali untuk kepentingan kebudayaan.

Batas Kewenangan

Dua pengalaman yang sama-sama menjadikan kebudayaan sebagai ?kuda troya? kepentingan di luar kebudayaan, sama-sama mengecewakan. Untuk ke depan perlu dibangun kesepakatan mengenai batas kewenangan antara keduanya, sehingga peran masing-masing jelas.

Yang diperlukan masyarakat adalah tersedianya ruang yang cukup bagi anggota masyarakat untuk berfikir dan bertindak secara kreatif serta bertanggung jawab. Sementara pemerintah diharapkan tidak mengambil alih wilayah itu sehingga menjadi berat sebelah. Peran negara seharusnya dalam bentuk penyediaan fasilitas dan kebijakan yang memberikan ruang dan kondisi yang memungkinkan kebudayaan dapat berkembang secara alami.

Proses kebudayaan dalam masyarakatlah yang akan menentukan isi dan warna-warna kebudayaan bangsa.

Belakangan santer dihembuskan konsep kemitraan antara pemerintah dan masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menutup Kongres Dewan Kesenian di Papua Barat, 25-8-2005 yang lalu mengatakan “perlu dibangun kemitraan antara pemerintah dengan organisasi kesenian yang berkembang di masyarakat”.

Menurut Presiden, dalam penanganan suatu masalah tidak mungkin pemerintah bekerja sendiri dan berjalan sendiri, tanpa menjalin kebersamaan dengan berbagai elemen yang ada di masyarakat. Yang dimaksud elemen yang ada di masyarakat itu tentunya adalah organisasi atau lembaga tau paguyuban yang berkembang di masyarakat.

Misi utama lembaga kebudayaan di pemerintahan adalah sebagai fasilitator, dinamisator dan motivator. Pertanyaannya, bagaimana wujud konkret dari misi utama pemerintah seperti di atas? Mungkinkah pertanyaan ini dapat dijawab melalui Kongres Bahasa Jawa VI, karena dalam kongres itu terselip topik “Peranan Paguyuban Jawa dalam Pembinaan Bahasa dan Sastra Jawa”? Mudah-mudahan.

*) Sekretaris umum Badan Kerja Sama Kesenian Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *