Masa Depan Bangsa di Mata Budayawan

Antara Pesimisme, Harapan, dan Tindakan

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Refleksi dan perenungan tentang kemerdekaan buat masa depan bangsa ini memang sangat kompleks. Fenomena ini ditangkap oleh para budayawan antara lain Ajip Rosidi, Franz Magnis Suseno, Pramoedya Ananta Toer dan Sapardi Djoko Damono yang ditemui oleh SH dalam sebuah perbincangan yang terpisah.

Setiap manusia Indonesia harus mau merenungkan kembali tentang tujuan kemerdekaannya. Tujuan kemerdekaan, menurut budayawan Ajip Rosidi, adalah membentuk masyarakat Indonesia yang menjadi satu bangsa yang berposisi sebagai subjek. ?Tapi selama ini tampaknya kita lebih suka menjadi objek atau dijadikan objek. Kita jadi objek dan kita diam saja. Kita tidak sadar bahwa menjadi objek, berarti menjadi permainan orang,? ujarnya.

Menurut Ajip, untuk menjadi subjek, tiap orang harus berani menentukan keinginan. Tiap orang jangan mau ditentukan nasibnya oleh orang lain. Ironisnya, tegas Ajip, pemerintah kita selama ini selalu menyerahkan nasib masyarakat kepada orang lain. Dia mencontohkan bahwa di masa Orde Baru, rakyat sampai berutang ke lembaga asing dan bangsa ini diwajibkan untuk selalu menghadap dan melaporkan secara kontinu pada lembaga itu.

Manusia Indonesia baginya sudah tidak mandiri sejak masa demokrasi terpimpin Soekarno dan masa Orde Baru. Indoktrinasi terhadap rakyat Indonesia telah terjadi dan berlangsung dari rezim ke rezim. ?Dulu zaman Soekarno Usdek dan lain-lain, pada zaman Orde Baru yaitu Pancasila dan lain-lain. Materinya dan indoktrinasinya berbeda, tetapi hakikat indoktrinasi itu sama,? tegas Ajip.

Pada kenyataannya, indoktrinasi sama sekali tidak memberikan kebebasan bagi seseorang untuk berpikir. Tak ada kehendak lain selain keinginan penguasa. Tiap individu di masyarakat pun kehilangan hati nurani. Karena itu, tambah Ajip, yang dipupuk adalah orang-orang yang munafik. ?Ini bangsa kita ini, pemimpin kita ini kan munafik semua. Mereka mengatakan macam-macam tapi yang dilakukan lain lagi,? katanya.

Walau sekarang kebebasan lebih dapat dirasakan, dalam pandangan Ajip, orang-orang yang memimpin adalah orang-orang hasil indoktrinasi. Jadi, tetap saja pikirannya totaliter, ingin benar sendiri dan tidak mau mendengar orang lain. Para pemimpin bahkan menganggap kekayaan negara adalah sebagai barang ghonimah (rampasan perang, red), yang harus mereka bagi-bagi.

?Saya tidak tahu solusinya, tapi ini membutuhkan suatu kesadaran secara rasional, secara umum,? ujarnya. Dalam tataran ini, seorang Ajip mengaku tak tahu hingga kapan fase ini harus dilewati. Dia bahkan merasa pesimistis karena dia melihat bangsa ini sudah terjerumus pada kondisi yang semua tak tahu bagaimana supaya dapat keluar dari semua problem ini.

Pramoedya Ananta Toer bahkan mengatakan bahwa bangsa ini sudah dalam proses pembusukan. Dia kemudian menyebutkan beberapa alasan yang menjelaskan tentang proses pembusukan itu. ?Hukum nggak jalan. Ini negara maritim, nggak ada politik maritim. Ini negeri pertanian nggak ada politik pertanian. Tadinya kita mengekspor gula dan beras terbesar di dunia, sekarang impor. Bagaimana itu? Memalukan,? ucapnya lantang.

Untuk perbaikan, bagi Pram tak ada jalan lain. Dia mempercayakan semua langkah itu hanya bisa dilakukan oleh Angkatan Muda. Dia percaya bahwa hanya generasi muda yang dapat menyelesaikan semua persoalan. Sebab, selama ini dia melihat semua masalah adalah kesalahan yang dilakukan oleh Angkatan Tua.

Karena itu,. dia mengharap generasi muda agar lebih berani, melatih diri. Sebab, keberanian, bagi Pram adalah modal. ?Angkatan muda bisa menjatuhkan seorang diktator, Harto. Tapi tidak bisa melahirkan pemimpin dan membangun masa depan negara. Kenapa? Itu persoalan yang harus dijawab,? katanya.

Jangan Pesimistis

Agak berbeda dari pandangan dua budayawan tersebut, Franz Magnis ? sekalipun tidak mengucapkan kata optimistis ? mengajak masyarakat agar jangan pesimistis. Berbagai fenomena dari krisis ekonomi, problem demokrasi, terorisme hingga korupsi menurutnya tidak membuat setiap individu di masyarakat harus merasa pesimistis.

Franz melihat 40 tahun kematian demokrasi sampai kehidupan dan budaya demokrasi. Jadi tanggung jawab demokrasi itu di-install kembali. ?Ada juga beberapa kemajuan, konflik-konflik berkurang, atau tidak meluas ke perekonomian, jelek-jelek bertambah juga. Kemiskinan mulai berkurang. Kita dapat mengkritik, tapi kita jangan hanya melihat yang negatif-negatif,? katanya.

Sapardi Djoko Damono juga melihat bahwa semua fenomena saat ini justru merupakan sebuah proses di dalam bernegara. Dia merasa negara Indonesia memang sudah merdeka, tinggal persoalannya apakah kemerdekaan itu sudah sesuai dengan harapan orang banyak. Setiap proses memang sangat memerlukan pengorbanan dan bangsa ini sekarang sedang melakukan pengorbanan yang besar di semua bidang termasuk politik, ekonomi dan kebudayaan. ?Itu memang harus terjadi agar kita dapat menjadi sebuah bangsa yang lebih matang lagi,? tegas penyair yang juga akademisi di Universitas Indonesia ini.

Kemerdekaan itu sebenarnya dapat dirasakan dalam diri masing-masing. Karena itu, Sapardi mengatakan bahwa kemerdekaan yang berlimpah sekali pun tak menjamin apa pun, justru yang penting bagaimana kita menggunakan kemerdekaan itu dengan sebaik-baiknya, untuk orang banyak maupun untuk individu. Tiap individu punya hak untuk merumuskan apakah mereka itu manusia yang merdeka atau tidak, tanpa tekanan dari pihak lembaga atau pemerintah sekalipun.

Impor dan Korupsi

Soal pembenahan, yang paling krusial bagi Franz adalah permasalahan korupsi. Itu bukan berarti dia meremehkan fenomena terorisme yang meruyak belakangan. Tentu saja masalah itu harus disesali semua pihak. Namun bagaimana pun, fenomena teroris, kalau pun pernah ada, mereka hanya beberapa gelintir dibanding rakyat secara keseluruhan.

Bagi Franz justru yang paling krusial harus dilakukan saat ini adalah kesadaran baik dari pemerintah maupun legislatif untuk memerangi korupsi. Karena korupsi baginya adalah akar dari banyak masalah termasuk ketidakadilan.

Korupsi itu, tegas Franz, penyakit seluruh masyarakat. Sebab, secara struktural kenegaraan yang berbahaya baginya adalah korupsi. Membangun suatu negara yang bersih harus dilakukan, juga perubahan gaya hidup mulai dari struktur atas. ?Harus mulai dari atas karena masalahnya itu bukan di bawah. Di bawah dapat diatasi kalau di atas itu beres,? ujarnya.

Dalam pandangan, Pram, masalah impor barang lah yang justru harus jadi perhatian utama untuk perbaikan bangsa Indonesia ke depan. Pram menyarankan agar pemerintah bisa mengerem impor barang dari luar negeri sebab selama ini dia melihat laju impor barang sangat besar. ?Semua barang yang diimpor di Indonesia itu merampas kerja buruh kita. Karena itu kampanyekan pengurangan impor, apa saja, sampai lima puluh persen. Anjurkan kepada masyarakat,? kata lelaki yang karya-karyanya sangat menghebohkan ini.

Leave a Reply

Bahasa ยป