Judul Buku : Jalan Panjang Memupus Kedukaan
Judul Asli : The Year of Magical Thinking
Penulis : Joan Didion
Penerbit : Ramala Books, Jakarta
Edisi : Cet. II, Mei 2008
Peresensi : Muhammad Syafiq
kendaripos.co.id
Hanya beberapa hari setelah menjenguk putri mereka yang sedang koma di rumah sakit, sang suami tersungkur karena serangan jantung. Saat itu mereka sedang makan malam. Beberapa bulan kemudian sang istri memulai memoarnya dengan tulisan: ??Kau duduk menyantap makan malam, lalu hidup yang biasa kau jalani pun berakhir.?? Setahun kemudian memoar itu selesai, disusul kematian sang putri.
Maka lahirlah sebuah memoar tentang duka cita, cinta, dan kematian dalam latar masyarakat urban Amerika. Bertentangan dengan kebiasaan di sana, yang lebih memberikan tempat pada tema-tema populer seperti cinta dan seks atau kerja dan cara pengasuhan anak, buku ini mendapat sambutan luar biasa. Dua bulan sejak penerbitannya, buku ini telah terjual 200.000 copy. Sementara berbagai artikel surat kabar dan majalah bahkan program TV berlomba-lomba mengulasnya.
Tak perlu menunggu lama, memoar ini akhirnya mendapat penghargaan The National Book Award dan The National Book Foundation Medal tahun 2005. Karena buku memoar ini pula tahun ini, sang penulis, Joan Didion, diganjar penghargaan prestisius dari Prancis, The Prix de Medicis Award 2008. Tak banyak penulis yang berhasil mendapatkan penghargaan ini. Hanya penulis-penulis dunia yang dipandang brilian seperti Umberto Eco, Milan Kundera, dan Orhan Pamuk yang pernah menerimanya.
Menimbang apresiasi yang luar biasa terhadap buku memoar ini tidaklah aneh jika muncul pertanyaan tentang apa arti pentingnya. Dalam latar superioritas masyarakat Amerika dan Eropa yang berkelimpahan dan nyaris sempurna saat ini, kematian menjadi sesuatu yang terpencil. Kematian menjadi fakta yang hanya dibicarakan diam-diam untuk kemudian dilupakan. Berbagai tawaran produk dan jasa antipenuaan (anti-aging) yang laku keras di kedua belahan dunia itu hanyalah salah satu contoh betapa kematian menjadi suatu yang ingin ditolak bahkan dilawan.
Dalam latar masyarakat semacam itu, buku ini berhasil memberi kejutan dengan menampilkan secara vulgar dan blak-blakan proses sebuah kematian berlangsung. Buku ini juga berhasil memanggil kembali kesadaran yang coba diabaikan tentang kerentanan manusia di hadapan maut yang bisa datang kapan saja tanpa mampu dicegah.
Kematian dan duka cita memang telah melahirkan begitu banyak ekspresi. Mulai ekspresi artistik seperti drama, musik, nyanyian, puisi, roman, dan film hingga ritual kultural seperti selamatan dan upacara-upacara tradisional lainnya. Bahkan ekspresi terhadap kematian bisa menjadi ritual spiritual seperti aksi umat Syi?ah yang memukuli punggungnya sendiri dengan cemeti berduri memperingati Tragedi Karbala hingga umat Yesus yang memaku dirinya di salib memperingati Hari Penyaliban.
Ekspresi kolektif atas kedukaan personal dan komunal dalam bentuk seni, ritual kultural, dan spiritual semacam ini barangkali berguna sebagai saluran pelepas beban duka. Namun, yang terpenting, ritual-ritual ini menunjukkan bahwa kematian perlu dirayakan dan diperingati. Hal semacam ini sangatlah lumrah dalam masyarakat yang masih memegang tradisi.
Namun, masyarakat modern yang individualis sangatlah asing dengan cara menghadapi kematian dan pengalaman pelepasan beban semacam itu. Buku ini menjadi penting karena mampu mengangkat pengalaman yang amat intim dan personal dari seorang perempuan paro baya Amerika dalam menghadapi kedukaan karena kematian suami dan ketidakberdayaan putrinya yang mengidap sakit parah ke dalam ranah publik.
Dalam latar masyarakat Amerika, kedukaan Didion tampak terasa sunyi dan dingin. Ekspresi kedukaan bukan gelora kesedihan yang meluap-luap melalui tangisan dan ratapan pada momen-momen kematian, tetapi rasa kehampaan yang membuat dunia menjadi tak lagi berarti dan bersenang-senang menjadi sebuah dosa yang tercela.
Dalam perkabungannya, ia terdorong untuk menyendiri. Ia cemas dan bingung bersikap atas simpati keluarga dekat dan teman-temannya. Ia sulit mempercayai kematian suaminya sekadar sebagai jasad yang berhenti berfungsi seperti ditulis dalam berkas-berkas medis yang kaku tanpa emosi. Ia mengandaikan terjadi keajaiban bahwa laporan medis itu salah dan suaminya hanya sedang koma untuk kemudian bangun kembali.
Begitu intim dan dalamnya gambaran Didion atas rasa dukanya hingga pembaca bisa turut merasakan tanpa terpaku pada deretan kalimat-kalimat yang ditulisnya. Bukan makna harafiah tulisannya yang menderas kita dengan cerita kesedihan, tetapi suasana halus yang suram yang berhasil ditancapkan tulisan itu.
Tulisan Didion memang tidak dinarasikan secara mengalir kronologis tapi penuh flashback tajam hingga menyerupai fragmen-fragmen prosa. Namun alur narasi semacam ini justru berhasil menggambarkan gejolak perasaan sedih dan nyeri yang selalu muncul menyertai berbagai potongan kenangan yang datang dan pergi silih berganti bersama mendiang semasa hidup. Kenangan-kenangan bersama mendiang inilah yang membuat rasa duka tidak benar-benar bisa lenyap.
Perjalanan waktu barangkali bisa membuat rasa duka tidak lagi bergejolak, tetapi rasa duka itu tetap tinggal. Didion menulis: ??Dalam periode yang disebut masa berkabung yang lamanya tak pasti itu, kita seolah-olah berada dalam kapal selam, sunyi di dasar samudera, waspada dengan tekanan air, kadang dekat dan kadang jauh, menyapu-nyapu kita dengan kenangan?? (hlm.31).
Dalam masyarakat modern di mana ekspresi kedukaan secara kolektif jarang muncul, karya literer seperti buku ini bisa menjadi saluran alternatif pelepas beban. Baik penulis maupun pembaca yang mengalami duka serupa, akan merasa disatukan oleh pengalaman yang sama. Selain itu, buku ini menegaskan sebuah kesadaran yang sudah sangat tua bahwa ingatan akan kematian tidak perlu dipendam diam-diam. Kematian layak diperbincangkan dan dirayakan sebagai bagian sah dari kehidupan.
*) Staf Pengajar Psikologi Universitas Negeri Surabaya