Olan

Donny Anggoro
sinarharapan.co.id

Namanya Olan, temanku sewaktu di SMA. Badannya kurus pendek, terkesan tidak berbahaya. Wajahnya selalu cerah seperti piring baru dicuci sehingga sering disangka banyak rezeki. ‘Anaknya’ pintar, selalu dapat rangking, populer dalam pergaulan. Pendek kata tidak ada yang tidak mengenal Olan. Setelah lulus SMA praktis aku tidak pernah bertemu dengannya. Bahkan sampai aku kuliah, lulus, bekerja, berkeluarga dan mengontrak rumah. Sesungguhnya apa yang membuatku tiba-tiba hendak bercerita tentang Olan?

Tentu saja ada yang ingin aku ceritakan kepadamu. Kejadian ini bermula pada suatu malam yang cerah. Ketika aku sedang mengantre karcis di bioskop Megaria bersama istriku. Tiba-tiba seorang lelaki tersenyum kepadaku. Tepat di baris antrean loket sebelah dia menyapa. Mau tak mau kubalas juga senyumannya meski dalam hati aku bertanya: siapa orang ini?

“Mas, siapa sih?” bisik istriku di sebelah. Belum sempat aku menjawab lelaki itu menepuk pundakku.

“Lupa ya? Saya Olan, temanmu SMA.”

“O,” jawabku.

Aku pura-pura ingat. Sekedar basa-basi dan tentu saja tidak ingin mengecewakannya. Namanya juga basa-basi.

“Istrimu?” tanyanya.

“Ya,”

“Kau?”

“Sendirian.”

“Pulang kerja?”

“He-eh,”

Pembicaraan terputus. Di depanku loket karcis sudah dibuka. Dengan segera segenap perhatian beralih ke loket. Seperti dikomando masing-masing segera mengeluarkan dompet dari dalam tas atau saku celananya. Aku sudah tak menghiraukan Olan lagi sampai aku mendapatkan karcis, menonton film dan pulang ke rumah.

Perjumpaanku yang kedua dengan Olan terjadi di sebuah restoran. Kala itu aku hendak makan siang di restoran seberang kantor. Aku sengaja makan di sini karena bosan dengan menu kantin. Selain itu aku juga sedang ingin menyendiri. Cari suasana baru. Restoran ini sepi. Kakiku segera melangkah di pojok. Sekali-kali merasakan makanan mewah, pikirku. Bagiku ini termasuk hiburan. Bisa melupakan sejenak pekerjaan membaca laporan-laporan yang memualkan. Sayang, kesendirianku segera sirna. Seseorang menyapa. Dalam hati aku mengeluh, ada saja yang mengenalku.

“Hai! Ketemu lagi kita!”

Aku bengong. Tentu saja aku tidak ingat kapan pernah bertemu. Dia langsung mendekati diriku. Ia mengulurkan tangannya. Aku menjabat tangannya dengan gaya seorang Walikota berjabatan dengan Sultan, asal sentuh. Sebaliknya, lelaki ini menjabat tanganku dengan erat sekali, meremukkan dan mengguncang-guncang.

“Wah, senangnya. Aku bangga dapat mentraktir seorang seniman!”

Seniman? Apakah potonganku seperti seorang seniman? Orang ini siapa sih? Mati-matian aku berusaha mengingat-ingat.

“Bekerja di mana sekarang?” tanyanya.

“Di situ.” jawabku seraya menunjuk ke arah ruko yang letaknya berseberangan dengan restoran ini.
“Wah, hebat! Gajinya besar dong? Terakhir kita ketemu di bioskop kamu nonton dengan istrimu ya? Kapan menikah?” berondongnya.

Satu-satu aku menjawabnya meski dalam hati terus bertanya-tanya: siapa dia. Untung pertanyaan itu segera terjawab terutama ketika dia menyebut nama SMA-ku. Perlahan aku ingat, dialah Olan. Manusia paling populer di sekolah. Meski bukan termasuk teman dekatnya tapi siapa dulu nggak kenal Olan?

“Meski bekerja masih tetap menulis cerpen kan?”

Aku terkejut. Orang seperti Olan baca juga tulisan saya.

“Masih, masih.”

“Ada rencana membuat buku?”

“Ada. Tapi ditunda dululah. Biaya cetak sekarang mahal. Bukankah penulisnya sendiri juga harus punya duit? Ngomong-ngomong Olan sekarang kerja di mana?”

Olan terdiam sejenak. Ekspresinya berubah. Pertanyaan ini tampaknya kurang mengenakkan hatinya.

“Masih yang dulu…”

“Yang dulu apa? Kita kan sudah lama tidak ketemu…”

“Masak lupa? Waktu SMA…”

“O, jadi kamu pemain band? Musisi?”

Olan mengangguk. Aku segera teringat. Ya, ya. Olan dahulu membentuk band. Dia main gitar. Aku ingat bandnya sering memenangkan penghargaan festival musik sekolah dan tak pernah absen mengisi acara perayaan di sekolah kami.

“Sekarang aku main di Salsa Club setiap malam Minggu.”

“Baguslah. Kapan-kapan aku mampir.”

“Bagus apa? Aku bosan! Main memang rutin tiap malam Minggu tapi hari-hari lain kan sama saja seperti orang menganggur!”

“Bosan?”

“Niatku dulu kan masuk studio, rekaman, masuk tipi. Eh, nyatanya begini-begini terus.”

“Ya, sabarlah…”

“Sabar bagaimana? Aku kan sudah tua?”

“Kan bisa kerja lain? Katamu dulu sempat kerja di periklanan?”

“Iya, sih. Tapi aku masih nggak bisa melupakan obsesiku itu…”

Kami makan sambil ngobrol. Lumayan, katanya Olan yang traktir. Aku bersyukur. Barangkali memang Tuhan sengaja mengutus Olan datang kepadaku. Olan masih seperti dulu. Suka bergurau. Memang kebanyakan gurauan zaman dulu, basi. Tak apalah. Namanya juga ditraktir. Sekarang Olan tampil trendy, rambut disisir mengkilat, handphone tersangkut di pinggang.

“Eh, aku mau beli koran sebentar.” kata Olan.

Olan ngeloyor. Sebentar kemudian dia kembali lagi.

“Penjual koran nggak ada uang kecil. Pinjam dulu ya? Nanti habis makan aku kembalikan!”
Aku menyerahkan dua lembar ribuan.

“Wah, baca koran sekarang harus lebih dari satu, kawan. Sekarang biar kejadiannya sama, wawancaranya sama, beritanya beda!”

Aku menyodorkan selembar ribuan. Olan menghabiskan sisa makanannya sebelum mengambil uang yang kutaruh di depannya. Setelah menggenggam uang Olan menuju kasir. Entah dia bicara apa. Setelah itu dia keluar. Tapi setelah sekian lama Olan belum juga kembali. Aku gelisah. Makanan dan minuman di depanku sudah licin tandas. Aku bangkit dan berjalan ke pintu, celingak-celinguk, lihat kiri-kanan. Olan masih tetap tak kelihatan batang hidungnya.

Penjual koran yang kebetulan sedang mangkal dekat situ segera kutanya apa tadi ada orang kurus pendek membeli koran. Yang ditanya mengangkat bahu. Tapi ia melihat orang keluar dari restoran ini langsung naik metromini. Ha!?

Aku menuju kasir. Belum sempat ngomong kasir menyodorkan rekening.

“Engg…teman saya yang tadi itu ke mana ya?”

Dengan polosnya aku bertanya. Syukur-syukur dijawab.

“Sudah pulang. Katanya buru-buru ada urusan penting di rumah.”

“Lho?”

“O, ya dia juga pesan katanya Bapak yang bayar…”

“Sialan!” umpatku. Kepalang basah aku keluarkan uang dari dompetku.
***

Semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan Olan. Kalau diingat-ingat sungguh menyebalkan. Sial! Aku berpikir teganya dia berbuat begitu? Apa karena iri? Bisa jadi. Bukankah Olan pernah cerita pekerjaannya sekarang membosankan? Tidak sesuai dengan angan-angannya? Aku bersumpah tidak akan bertemu lagi dengannya.

Sebulan kemudian aku ketemu dengan Olan lagi. Kali ini di dalam bis yang penuh sesak. Olan melambaikan tangan memanggilku. Aku tak bisa menghindar. Apalagi Olan berbaik hati menyerahkan tempat duduknya kepadaku. Aku menolak. Olan memaksa. Aku mengalah. Aku duduk. Olan berdiri. Olan memulai pertemuan kali ini dengan guyonannya. Aku menyambutnya dengan tawa dipaksakan demi menghormati lawan bicara. Wajar saja aku merasa hambar. Humor-humornya sudah basi. Yang diceritakan selalu zaman dulu, zaman masih SMA. Memang masih lucu. Tapi bagiku sekarang hambar. Apalagi yang bisa diceritakan Olan selain masa lalu?

Tak disinggungnya pertemuan dulu di restoran. Aku toh sudah melupakannya. Yeah, buat apa diiingat-ingat? Tidak baik di zaman susah begini punya musuh, sekecil apa pun. Lagipula aku ini termasuk pencinta damai. Aku jadi ingat kata seorang teman: “Teman adalah tabungan berharga. Ia bisa bertambah, tapi bisa juga hilang tak berbekas”.

Kali ini Olan tidak menipuku. Dia turun lebih dulu. Aku bersyukur dan berharap tidak akan pernah bertemu dengannya. Tapi seminggu kemudian aku ketemu lagi. Sekarang di TIM, ketika aku sedang menghadiri acara diskusi dan peluncuran buku kawanku seorang penulis. Aku heran. Tumben Olan datang ke acara beginian. Meski aku bukan teman dekatnya aku tahu orang seperti Olan lebih suka nonton film, pergi ke mal, pub atau diskotik. Apalagi kerjaannya main band di pub.

“Wah, hebat ya temanmu? Bukumu kapan?” tanyanya sembari bergurau. Aku cuma nyengir kuda meski dalam hati rada tersindir juga. Memangnya gampang membuat buku? Aku hanya tersenyum, bersalaman dan buru-buru menjauh. Aku tidak mau terjebak dalam obrolan-obrolan hambar. Pokoknya aku harus segera menghindarinya!

Tampaknya Tuhan punya rencana lain. Entah kenapa hari-hari belakangan ini aku “ditakdirkan” selalu bertemu dengan Olan. Di bus, kelokan jalan, di gang, halte, telepon umum, kompleks perumahan, warung, supermarket, toko buku, mal, bioskop, gedung pertemuan, stasiun kereta, hotel, restoran, wese umum… Dalam setiap pertemuan aku selalu menghindar. Kadang berhasil seperti pertemuanku di TIM tempo hari. Jika gagal terpaksa aku meladeninya seperti ketika bertemu di bus dulu. Begitulah pertemuan-pertemuan kami. Olan memang selalu mampir tidak diundang, tanpa permisi.

Meski akhirnya jadi sering ketemu Olan aku bersyukur selama ini aku belum pernah bertemu dengannya di rumah atau gang menuju rumahku. Memang pernah dia bertanya alamatku. Demi sopan santun aku memberikannya. Aku perhatikan setiap ketemu Olan selalu beralasan “kebetulan mampir” atau “diajak teman” (dan temannya sendiri aku pasti selalu tidak pernah melihatnya). Olan selalu sendirian. Tidak pernah kelihatan dia bersama orang lain, meski ia mengaku kepadaku sudah beristri dan beranak satu. Satu hal yang kuingat Olan selalu berpenampilan trendy persis seperti waktu aku ditipunya.

Aku heran. Batinku terus bertanya-tanya kenapa aku selalu bertemu dengan Olan. Seakan dia menguntitku terus. Meski sudah sering terjadi (diam-diam aku menghitung ternyata setiap satu bulan sekali aku ketemu Olan di mana saja!), aku berpikir apa maksudnya Tuhan mengirimkan Olan kepadaku? Apakah dengan bertemu Olan Tuhan berharap aku menjalin persahabatan? Aku pernah ingat sebuah tulisan “persahabatan terkadang bisa membunuh”. Tetapi tentu saja pertemuanku dengan Olan sama sekali bukan persahabatan. Jadi tidak mungkin ada “pembunuhan”. Bukankah selama ini kami cuma bertegur sapa? Olan memang sahabatku dulu di SMA. Tidak dekat malah. Hubungan kami dulu juga hanya sekedar “say hello” saja. Tapi kenapa sekarang setelah aku selalu berjumpa dengannya juga hanya sekedar “say hello?” Memang kehadirannya tidak seberapa mengganggu tapi kenapa selalu hadir tanpa permisi? Entahlah. Bagiku ini benar-benar peristiwa ajaib. Pernah kuceritakan hal ini kepada istriku. E-eh, dia malah tertawa. Dan pembicaraan tentang Olan segera tergeser topik-topik lain…

Pernah aku iseng-iseng menelepon Olan. Suara di sana selalu bilang “Nomor telepon yang anda tuju tidak dapat dihubungi atas permintaan pemiliknya.” Lho? Handphonenya? Tidak aktif.
***

Sore ini aku berjumpa lagi dengan Olan. Kali ini di dalam bus. Bus penuh sesak, maklum jam orang pulang kantor. Aku terdesak sampai ke pintu belakang bus karena penuhnya. Dan, ketika aku bergelayutan di tiang dekat pintu bus yang berjubel dengan banyaknya penumpang aku berjumpa dengan Olan. Seperti biasa dia terlebih dahulu menyapa dan mengajakku berguyon. Guyonan hambar yang lagi-lagi membuatku terpaksa menarik urat wajah untuk tersenyum, pura-pura menanggapi.

Dia juga bergantung dekat pintu. Posisi Olan sebenarnya sangat membahayakan. Jika ia lengah dan terlepas dari pegangannya di tiang pintu, dengan mudah ia bisa terjatuh. Sore ini entah kenapa sopir bus yang kutumpangi berinisiatif membawa busnya memasuki jalan tol. Ketika bus memasuki bibir pintu tol kondektur dengan sigap menutup pintu. Dengan susah payah dan dipaksa pintu bus hanya setengahnya tertutup karena penuh sesaknya orang berdiri berjubel di bibir pintu, termasuk aku dan Olan.

Bis melaju kencang. Tiba-tiba terbesit di pikiranku sebuah gagasan ajaib: misalnya bagaimana sekiranya aku mendorong Olan keluar dari bus. Dengan sigap lalu lintas segera mengganyangnya. Aku membayangkan kepalanya yang pecah. Mulutnya yang sedang tak henti berceloteh itu tentu tidak mampu ngoceh lagi selama-lamanya. Olan akan menggeletak di tengah jalan, gepeng seperti dendeng. Semua orang nanti akan memusatkan perhatian, merubung seperti semut. Semua orang tentunya berpihak kepada Olan yang dianggap sebagai korban.

Selanjutnya aku tak akan pernah terganggu. Tak akan pernah lagi terpaksa tersenyum menyambut dirinya, pura-pura senang dengan guyonannya, dengan kehadirannya yang selalu tidak diundang. Selamanya. Ya, selamanya. Tanpa banyak cing-cong lagi aku segera bertindak. Kusentuh pundaknya. Seluruh berat badan dan tenagaku kutumpahkan mendorong Olan. Sial. Di luar dugaan ternyata dia begitu kukuh. Aku tidak berhasil melemparkannya keluar bus! Dia malah berhenti ngoceh dan memandangku dengan heran. Aku jadi panik.

Tapi tekadku sudah bulat. Apapun yang terjadi aku harus mendorongnya! Lagipula di tengah bus yang melaju kencang itu aku yakin benar masing-masing penumpang sibuk dengan pikirannya sendiri sambil bergelayutan atau memegang erat-erat tas serta bawaannya. Ini kesempatan emas. Maka, sebelum kedokku copot dengan cepat seluruh berat badanku kutumpahkan mendorong Olan sekuat-kuatnya! Ya, sekuat-kuatnya! Tubuh Olan mendadak terlempar keluar seiring dengan ributnya bunyi klakson dan ban mobil memekik, berdecit-decit.
***

Setelah kejadian itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan Olan. Tentu saja dia sudah pergi selama-lamanya. Aku bersyukur. Biasanya setiap bulan Olan pasti nongol. Menyapa dan mengangguku dengan lawakan-lawakan membosankan. Pikiran tentang Olan segera kugeser urusan-urusan yang lebih penting.

Malam ini setelah menghadiri resepsi pernikahan teman sejawat di hotel aku pulang dengan istriku. “Hati-hati, jangan sembarangan naik taksi.” pesannya. Aku mencegat taksi. Tentu saja taksi pilihan istriku. Aku segera naik, menjejal ke sudut.

“Mau ke mana Pak?”

Sopir itu menoleh ke arahku. Senyumnya hangat menyapa. Tapi, dengan segera aku terpekik ketika tahu siapa yang duduk di bangku sopir. Olan! Dia berada di depanku sambil mengenakan seragam sopir taksi! Astagfirullah, bukankah dia sudah mati? Bukankah dia sudah menemui ajalnya jatuh dari bis? Tubuhku lunglai. Sayup-sayup masih kudengar suara istriku di sebelah. Dia kebingungan melihatku mendadak pingsan.

Rawamangun, Februari 2001.

Donny Anggoro lahir di Jakarta, November 1975. Menulis puisi, cerpen, ulasan buku, penyunting sejumlah buku dan wartawan. Dia termasuk salah satu pendiri Cybersastra.net, situs sastra internet pertama di Indonesia bersama kawannya, penyair Nanang Suryadi dan Yono Wardito pada tahun 1999. Karya-karyanya dipublikasikan di beberapa jurnal, majalah, dan surat kabar seperti Hai, Pantau, Aufklarung, Aksara, Genta Budaya, Tradisi, Koran Tempo, Kompas, Lamin Sastra Balikpapan, dan Sinar Harapan. Selain sastra, tulisannya tentang komik dipublikasikan di sejumlah media massa penting seperti The Jakarta Post, Matabaca, dan Kompas. Dia juga menulis kritik film, minat lain yang disukainya di majalah film Movieland, F, situs internet Layarperak.com. dan Layarkata.com.
Pada Agustus 2002 ia diundang sebagai peserta dalam The International Society of Poet’s Convention and Symposium, Washington DC setelah puisi bahasa Inggrisnya termasuk dalam antologi Letters from The Soul yang diterbitkan The International Library of Poetry, 2002. Menjadi juri penghargaan sastra Khatulistiwa Award pada September 2002. Agustus 2005 memenangkan lomba penulisan esei Mata dan Dunia yang diselenggarakan situs budaya internet Rayakultura dan obat tetes mata Rohto dengan Sides Sudyarto DS dan Naning Pranoto sebagai jurinya. Sempat menjadi editor lepas di Tabloid SENIOR (November 2003-Maret 2004).
Naskah dramanya Halo? yang ditulis tahun 1999 diolah menjadi film pendek pada September 2004 oleh siswa SMUN9 Pekanbaru dan dipentaskan untuk acara wisuda mahasiswa KBRI Indonesia di Bangkok, Thailand, Juni 2006. Sekarang dia tinggal di Jakarta bergiat sebagai penulis, editor dan penerjemah lepas.

Leave a Reply

Bahasa ยป