Sebagian Buku Mengenai Gus Dur

Arwan
http://www.kr.co.id/

KETIKA Gus Dur naik menjadi presiden, banyak kita baca buku mengenai Gus Dur. Atau buku-buku yang memuat sejumlah tulisan Gus Dur. Seakan, momentum naiknya Gus Dur ini mesti disambut dengan penerbitan buku. Satu atau dua buku, memang ada yang sama. Tetapi, ada pula yang perlu direnungkan mengenai sosok Gus Dur itu. Di antara berbagai buku mengenai Gus Dur atau yang memuat tulisan Gus Dur, kita bicarakan dua buku ini. Pertama, Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman (disunting Frans M Parera, Penerbit Harian Kompas, Jakarta, 1999, 181 halaman). Kedua, buku yang ditulis Zainal Arifin Thoha, Kenyelenehan Gus Dur (Gama Media, Yogyakarta, Juni 2001, 275 halaman).

Sebagai presiden, Gus Dur memang banyak melontarkan gagasan. Tetapi juga muncul banyak kontroversial. Tetapi, usia kepresidenannya hanya sekitar 21 bulan sebelum akhirnya digantikan Mbak Mega. Buku yang ditulis Zainal Arifin Thoha ini memang tak semuanya membicarakan Gus Dur. Sebab, ia mengupas juga soal NU yang dikaitkan dengan berbagai hal seperti pemberdayaan masyarakat, prahara, tradisi, perubahan sosial, demokratisasi. Sedang mengenai kenyelenehan Gus Dur dibicarakan dalam bab khusus.

Bicara soal Gus Dur rasanya sulit untuk tidak menghubungkannya dengan NU. Gus Dur sering disebut sebagai tokoh oposan. Kritis dan vokal terhadap kaum status quo. Terkenal pula dengan julukan setengah Wali. Kenapa? Mungkin karena kenyelenehannya. Ada pula julukan sebagai juru selamat pada Gus Dur, terutama bagi golongan non Islam, sebab mereka merasa kalau tidak ada Gus Dur akan terancam oleh suasana baru dalam Islam, terutama ketika Islam mendapat angin segar. Begitulah suara-suara mengenai Gus Dur, sebelum naik jadi presiden. Tulisan yang dibuat Zainal ini, tampaknya persepsi sebelum Gus Dur jadi presiden.

Membaca buku Zainal ini menjadi lain dengan buku suntingan Frans M Parera. Sebab, lebih banyak merupakan pemikiran-pemikiran Gus Dur. Yakni bagaimana Gus Dur menjawab tantangan dan perubahan zaman itu. Buku ini diberi kata pengantar Jakob Oetama dan epilog oleh AS Hikam. Untuk memahami Gus Dur, yang nyeleneh, memang bisa melalui tulisan-tulisannya. Tetapi, sesungguhnya Gus Dur itu polos dan spontan. Karena itu acap ceplas-ceplos. Berhumor. Banyak pengalamannya. Ia melihat persoalan dengan jarak dan karena itu bersikap kritis.

Tulisan-tulisan Gus Dur dalam buku tersebut, tampaknya dibuat ketika masih Ketua Umum PBNU. Setelah menjadi presiden, tampaknya produktivitasnya menjadi tersedot oleh perhatiannya pada negara. Pandangan Gus Dur, kita akui cukup luas. Bagaimana ia mengupas soal hukum agama, hubungan antarumat beragama. bagaimana ia melihat sosok kepemimpinan, moral spiritual, dan tradisi politik serta demokrasi. Tercermin di sini, dan kita sangat bisa memahami.

Tetapi, apakah Gus Dur gagal sebagai presiden? Konon ada cara bagaimana mengritik imam. Bukan dengan kekerasan, manipulasi, tetapi dengan mengucapkan subhanallah. Kalau ukuran kesuksesan seorang pemimpin itu dilihat dari utuhnya dalam satu periode dan diangkat kembali untuk periode kedua, maka Gus Dur menjadi presiden tak sampai 2004. Betapa pun, kita tahu, bagaimana Gus Dur memahami demokrasi dalam memimpin.